Jumat, 05 Oktober 2012

Jatuhnya Sang Imam


JATUHNYA SANG IMAM
Nawal el Saadawi
Yayasan Obor Indonesia
Edisi Pertama, Mei 2003
xiv + 266 Halaman

Dan dalam sejarah, seorang raja yang paling besar tidak pernah jatuh kecuali dijatuhkan oleh seorang perempuan.
(halaman 38)

Jujur saja, sudah dua kali aku membaca buku ini, tetapi aku masih juga bingung untuk menceritakannya kembali. Membaca buku ini membuatku teringat pada salah satu karya seorang penulis yang juga berasal dari Mesir, bernama Orhan Pamuk. Gaya bercerita Orhan Pamuk dalam bukunya yang berjudul “Namaku Merah Kirmizi” sekilas hampir mirip dengan “Jatuhnya Sang Imam”. Dan setiap tokoh dalam buku ini dapat menjadi narator dari sebuah cerita. Keduanya sama-sama membuat kening berkerut.

Buku ini merupakan potret sosial yang sering terjadi ditengah-tengah masyarakat konservatif yang terkadang menggunakan agama serta budaya sebagai alibi untuk mencapai kepuasan sebagian individu atau golongan. Bila dicermati masalah yang diangkat oleh Nawal el Saadawi dalam buku ini sangat rumit untuk diuraikan. Masalah seputar harta, tahta, wanita, kekuasaan dan nafsu semua saling membelit menjadi satu adonan yang sulit untuk dicari solusinya.

Tersebutlah seorang anak perempuan bernama Bintullah  yang sangat gigih berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari ayahnya yang (ternyata) seorang imam, agar dirinya bisa eksis di tengah masyarakat. Sejak dilahirkan Bintullah dititipkan di “rumah kebahagiaan”, sebuah yayasan anak-anak terlantar. Sang ibu meninggal setelah melahirkannya sedangkan ayahnya terlalu pengecut untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatannya.

… pengkhianatan seorang lelaki itu diperbolehkan berdasarkan perintah Tuhan, tetapi pengkhianatan seorang perempuan itu berasal dari setan …
(halaman 81)

Sungguh, menyedihkan sekali nasib anak-anak seperti Bintullah dan kedua saudara “sesusuannya” yaitu Ni’matullah dan  Fadlullah yang tak pernah mengenal keluarganya. Jadi tak heran jika kita bisa merasakan kemarahan, kesedihan, kehampaan, ketidakadilan dan ketidak berdayaan anak manusia ketika putaran roda nasib tidak membahagiakan mereka.

Ada satu hal yang aku cermati sejak awal membaca buku ini dan aku bingung untuk menentukannya. Aku rasa yang bercerita di buku ini bukanlah Bintullah, isteri sah, kepala keamanan, bodyguard, sang filosof, penulis besar atau yang lainnya, melainkan Sang Imam itu sendiri. Seperti yang pernah aku dengar dan pelajari dari guru-guru agamaku, bahwa setiap orang ketika sakaratul maut datang, maka semua amal ibadah dan perbuatan yang pernah dikerjakan di dunia pasti akan diperlihatkan kembali secara visual (lengkap) kepada kita. Dan hal itulah yang dialami oleh sang Imam setelah dirinya tertembus peluru kemudian tersungkur dan meregang nyawa. Semua perjalanan hidup Sang Imam diputar ulang dan diperlihatkan kembali oleh Allah SWT.

Subhanallah…
Allahu Akbar…
Allahumma hawwin alaina fi sakaratil maut
(Ya… Allah mudahkan saya dalam menghadapi sakaratul maut itu)
Aamiin…



~* Rienz *~

0 komentar: