Jumat, 14 Maret 2008

Monolog Sabtu 08 Maret 2008 (Part II)

Aq tiba di rumah sekitar jam 05.30 sore n surprise...surprice... Ada Heru ternyata. Kata mama dia juga baru aja datang dari Solo, sekitar setengah jam lebih awal dari kedatanganku. Heru adikku yang tinggal di Solo n dia bilang datang ke Jakarta karena ada temennya yang nawarin kerjaan, yah...gak da salahnya dicoba sapa tau dewa keberuntungan berpihak pada Heru kan aq jg kecipratan untung juga, he..he..he..he... paling tidak dia gak ngeribetn isi dompet aq lagi... (bagian ini unconditional).

Setelah bersih2 dan wangi2 lantas mematut diri secukupnya di depan cermin akhirnya aq melenggang senang menuju gelanggang monolog di TIM. Sebelumya aq sudah janjian dengan kedua kawanku M'Ilenk dan Nissa bahwa qta akan ketemuan sekitar jam 07.00 di depan BBJ (Bentara Budaya Jakarta). Tidak sampai setengah jam aq sudah sampai depan BBJ-TIM. Qta sempat pula makan bareng sama Mbak Olin Apsas dan Mbak Lulu Film sebelum monolog. Oh ya da sedikit info kalo Tahu Pong di TIM rasanya biasa aja, gak seenak Tahu Pong Harmoni.

Dan monologpun dimulai setelah terlebih dulu persiapan ritual alam. Monolog Perempuan menuntut malam bercerita tentang rumah, cinta, seks, politik dan kekuasaan yang terdiri dari empat babak ; babak pertama berjudul sepiring nasi goreng, babak kedua berjudul perempuan dan politik, babak ketiga perempuan dan seks dan babak keempat tetntang perempuan dan kekuasaan. Semuanya cukup mengapresiasikan tentang kondisi dunia perempuan saat ini terutama perempuan di Indonesia.

Babak pertama dibuka oleh penampilan Niniek L Kariem yang berperan sebagai Ranti seorang ibu rumah tangga yang telah bercerai dan mempunyai seorang putri dan seorang putra. Ranti mendapati kenyataan bahwa anak perempuannya mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Sejarah seakan berulang karena anaknya juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena tindakan yang semena2 dari suaminya. Dialog antara ibu dan anak tentang cinta, rumah tangga dan suami membuka babak kesadaran baru bagi keduanya. Walu pada akhirnya Ranti merasa sedikit kecewa karena tenyata pendirian anaknya tidak setegar dan sekuat dirinya dalam memutuskan masa depannya. Sayang sekali tema ini kurang diangkat dan di eksplor oleh para pekerja seni itu padahal kekerasan dalam rumah tangga itu menjadi isu sentral yang sering mengganjal perkembangan dinamika perempuan Indonesia.

Pada babak kedua ada Ibu Ani yg diperankan dengan sangat taktis dan humoris oleh Rieke Diah Pitaloka, seorang politisi yang juga istri dan ibu buat keluarganya. Sepak terjang Ibu ani dalam percaturan politik sudah tidak diragukan lagi oleh khalayak. Meskipun demikian sebagai perempuan politisi Ibu Ani kerap mendapatkan perlakuan yang bias dari media dan masyarakat umum bahkan juga dari sesama anggota parlemen. Budaya timur yang kerap memposisikan perempuan hanya sebagi pelengkap dalam rumah tangga membuat ego Ibu Ani terluka karena pada kenyataannya sekarang zaman telah berubah dan perempuan manapun di belahan pada dasarnya punya hak untuk bisa menentukan masa depannya. Curhat-an Ibu Ani seakan mengajak qta, perempuan Indonesia supaya bisa lebih menghargai dirinya sendiri terlepas dari kodratnya sebagi wanita. Pada bagian akhir dari adegan monolg ini (saat Ibu Ani di ikat dan disekap) sebenarnya saya agak kurang "nge-klik" dengan dialognya, terlalu banyak pengulangan kalimat. Mungkin pengulangn kalimat utu dimaksudkan sebagai suatu ungkapan putus asa Ibu Ani ttng identitas dan keberadaan penyekapnya yang dianggapnya sangat pengecut.

Ada juga Khadijah, seorang pekerja seks mangkal yang dibawakan dengan sangat menggoda oleh Ria Irawan. Khadijah kerap di tangkap oleh petugas asusila saat sedang "bekerja". Pernah suatu hari dalam penggerebekan Khadijah tertangkap ketika sedang melayani pelanggannya. Seketika pelanggannya itu dengan segala tipu dayanya menyamar dan akhirnya bergabung dengan gerombolan petugas asusila menangkap dirinya dan pelacur2 lainnya. Dari curhat-an Khadijah ttng hidupnya qta dapat menarik kesimpulan betapa munafiknya sistem masyarakat Indonesia yang umumnya berpaham patriarkis. Saya tiba2 teringat pada novelnya Nawal El- Saadawi "Perempuan di Titik Nol" yang juga menceritakan ttng bagaimana perjuangan perempuan di tengah carut marutnya kekuasaan sistem patriarki yang sangat munafik.

Secara keseluruhan Monolog Perempuan Menuntut Malam menyajikan dialog cerdas yang menggambarkan kondisi perempuan Indonesia sekarang ini. Saya pribadi merasa ada yg kurang dari monolog itu ttng gambaran perempuan Indonesia, karena jauh melintas batas negara ada banyak perempuan Indonesia berjuang untuk meggapai masa depannya. Saya rasa perempuan2 yg sering disebut "Pahlawan Devisa" layak sekali untuk dijadikan tema monolog perempuan menuntut malam. Mungkin di lain kesempatan ada pekerja seni yang bisa memberikan sedikit penghargaan bagi para pahlawan devisa tersebut. Siapa ya.... kapan ya...


~* Rienz *~

0 komentar: