Rabu, 24 November 2010

Cerita Dari Papua



TANAH  TABU
Penulis          : Anindita S. Thyaf
Penerbit        : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan         : Jakarta, Mei 2009
Tebal              : 240 Halaman


Di ujung sabar, ada perlawanan.
Di batas nafsu, ada kehancuran.
Dan air mata hanyalah untuk yang lemah.

Hhmmm… pantas saja jika novel ini  menjadi pemenang pertama pada Sayembara Novel DKJ pada tahun 2008 karena ternyata isi dan pesan yang ingin disampaikan melalui novel ini bobotnya jauh melebihi jumlah halamannya. Aku memang terlambat menikmati novel yang satu ini tetapi aku pikir “ taste “ nya  masih relevan dengan situasi yang ( mungkin ) masih terjadi di Bumi Cendrawasih saat ini.

Melalui novel ini Anindita S. Thayf mengajak kita untuk bertamasya menikmati eloknya  alam di Papua sekaligus berkenalan dengan sosok perempuan tua yang hebat bernama Mabel. Sepertinya memang agak jarang penulis yang mengeksplor budaya di Papua. Seingatku baru dua penulis saja yang berkisah tentang Papua, pertama Pramoedya Ananta Toer  dengan KumCer - Sejarahnya “ Cerita Dari Digul “ dan Ani Sekarningsih dengan roman Antropologisnya “ Namaku Teweraut “. Tidak seperti Ani Sekarningsih yang yang bercerita tentang Papua berdasarkan perspektif etik, Anindita mengeksplorasi Papua berdasarkan perpektif emik sehingga klimaksnya lebih “ greget “. 

Mengapa judulnya Tanah Tabu ? Apa maksudnya ? Mungkin Tanah Tabu disini sama dengan Tanah Ulayat yaitu bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu ( dalam hal ini Papua ). Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Tanah Tabu ini seharusnya dijaga kelestariannya oleh semua pihak yang mendiami suatu daerah dan digunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran penduduknya. Tetapi ketika kaum kapitalis yang mengatasnamakan modernisasi dan pembangunan datang, segala aspek kehidupan umumnya menjadi tidak atau kurang seimbang.  Hal ini pula yang terjadi di wilayah paling Timur Indonesia itu, banyak cerita kelam mewarnai kehidupan rakyat Papua setelah perusahaan tambang asing datang dan mengeruk keuntungan dari sumber daya yang ada di Bumi Cendrawasih itu. Bumi Cendrawasih memang kaya tetapi  ironisnya sebagian penduduknya masuk dalam kategori golongan marjinal yang terpinggirkan. 

“ Kalau anjing setia pada tuanny dan kucing kepada rumahnya, perusahaan di ujung jalan itu hanya setia kepada emas kita. Tidak peduli apakah tanah air, dan orang-orang kita jadi rusak karenanya, yang penting semua emas punya mereka. Mereka jadi kaya, kita ditinggal miskin. Miskin di tanah sendiri! ” (hal 133 dan 134)

Tanah Tabu adalah potret tiga generasi perempuan suku Dani yang diwakili oleh Mabel, Mace Lisbeth ( menantu Mabel ) dan Leksi ( cucu Mabel ). Novel ini selain menyuarakan tentang ketimpangan sosial juga membicarakan budaya masyarakatnya. Seperti umumnya masyarakat di Indonesia, masyarakat Papua juga menganut sistem patriarki. Mungkin awalnya sistim patriarki ini dimaksudkan untuk melindungi kaum perempuan yang cenderung lemah tetapi pada kenyataannnya sistem ini sering digunakan secara semena-mena oleh kaum pria bahkan yang berasal dari keluarganya sendiri untuk memuaskan egonya, menindas bahkan membatasi gerak kaum wanita. 

 “ … kekuatan dan kegagahan selalu membuat mereka merasa sebagai penguasa. Lupa diri sebagai manusia. Tak ingat bahwa sebagian darah yang ditumpahkan demi kelahiran dan keringat yang mengucur saat mengurusnya adalah milik perempuan. “ ( halaman 194 )

Ketiga perempuan itu mempunyai masa lalu yang hampir sama. Ketiganya sama-sama mengalami penindasan dan kekerasan dalam rumahtangga ( keluarga ). Mabel adalah seorang wanita tua yang pernah mengalami kegagalan rumah tangga sebanyak dua kali. Suami Mabel yang pertama mencampakkannya karena ia menganggap Mabel pembawa aib dan sudah tidak suci lagi akibat penculikan yang tak terduga oleh suku lain. Sedangkan pada perkawinan kedua, Mabel memilih untuk meninggalkan suaminya yang mengalami depresi mental akibat kehilangan pekerjaan karena suaminya selalu mabuk-mabukan dan kerap memukulinya tanpa alasan yang jelas. Sedangkan Mace Lisbeth adalah menantu dari Mabel. Ia ditinggalkan begitu saja oleh suaminya, Johanis ( anak Mabel ) yang ternyata berjiwa pengecut karena tak sanggup menerima kenyataan ketika isterinya diperkosa secara biadab oleh tiga orang tentara. Kepergian Johanis otomatis membuat semua beban hidup keluarga kecil itu berpindah ke bahu Mace Lisbeth yang lemah. Puncak dari penderitaan Mace Lisbeth adalah ketika ia harus mengikhlaskan kepergian anak sulungnya, Lukas yang menderita penyakit gizi buruk.  Sedangkan Leksi anak kedua Mace Lisbeth lahir dan tumbuh besar tanpa pernah merasakan kasih sayang ayahnya.  Kehadiran Leksi inilah yang membuat Johanis pergi karena ia menganggap anak itu bukan darah dagingnya.

Selain mereka ada tokoh lain yang menjadi ada tetangga mereka yaitu Mama Helda dan anaknya Yosi serta Mama Kori.  Yosi adalah sahabat si kecil Leksi yang terpaksa tidak bersekolah karena kondisi keluarganya yang sangat miskin. Mama Helda dan anak-anak menderita karena suaminya yang gemar mabuk-mabukan dan melacur itu tidak bertanggung jawab pada kesejahteraan keluarganya bahkan ia juga tak segan-segan menyiksa isterinya jika keinginannya tidak dipenuhi. Padahal Mama Helda sudah mengalah dan patuh menuruti kehendak suaminya. 

Sebagian besar tokoh dalam novel ini adalah perempuan dan mereka selalu berada dalam penindasan secara fisik dan mental tetapi hanya satu yang bisa menyelamatkan dirinya dari pembodohan massal  dan kemiskinan pengetahuan yaitu; Mabel, Mama Anabel. Sejak kecil Mabel adalah sosok anak perempuan yang berbeda dari anak-anak perempuan lain dari sukunya. Ia mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan cerdas. Ia juga seorang pemberani dan tegas. Apalagi setelah ia menjadi bagian dari salah satu keluarga Belanda yang bertugas di Papua, pola pikirnya semakin terasah dan melompat jauh meninggalkan anak-anak disekitarnya. Pemikiran Mabel terbilang sudah modern dibandingkan dengan kaum wanita di daerahnya, ia sangat kritis dengan semua yang terjadi disekitarnya, dia tidak sungkan-sungkan menggugat dan menunjuk berbagai ketimpangan sosial yang terjadi disekelilingnya. Meski banyak tantangan, celaan bahkan siksaan Mabel tidak surut langkah, Ia terus melangkah maju, berjuang membuka mata hati masyarakat disekitarnya khususnya bagi kaum wanita agar mereka berani memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan hidupnya. 

“ … Sejak dulu hingga sekarang nasib perempuan tidak berubah. Mereka terlalu bodoh untuk melawan, dan terlalu takut untuk bersuara. Ya, jadilah seperti itu. Tertindas di bawah kaki suaminya sendiri. Seumur hidup menjadi budak, hingga kematian memisahkan mereka”. (hal 170)

Aneka peristiwa yang dialami Mabel dalam hidupnya membuat ia menjadi wanita yang bijak, mandiri, tegar, sabar dan berwawasan luas. Dengan semua kualitas yang dimilikinya itu menjadi Mabel sebagai satu-satunya perempuan yang disegani di daerahnya. Satu hal yang sudah disadarinya sejak lama adalah apa yang terjadi pada tanah kelahirannya adalah karena penduduknya telah terjerat oleh kebodohan yang telah mengakar. Karena itu Mabel tak henti-hentinya menggugah kesadaran Mace Lishbeth dan Leksi supaya ia menjadi pribadi yang tangguh dan berwawasan luas. Mabel juga tidak segan-segannya menasehati Leksi untuk selalu  rajin belajar dan sekolah supaya kelak cucunya itu mempunyai masa depan yang baik dan gemilang. Untuk mewujudkan impiannya itu Mabel dan Mace Lisbeth bahu-membahu mengumpulkan rupiah dengan berjualan sayuran dan pinang di pasar supaya kebutuhan hidupnya dapat dipenuhi dan yang lebih penting supaya mereka dapat membiayai pendidikan Leksi sampai tingkat tinggi.


“ … Takdir adalah peta buta kehidupan yang kau tentukan sendiri arah dan beloknya berdasarkan tujuan hidupmu. Takdir akan berakhir buruk jika kau tidak berhati-hati menjaga langkah. “ ( Halaman 170 )
 
Dalam novel itu diceritakan bahwa di papua ada banyak partai yang disaat-saat tertentu gencar beraksi untuk mendapatkan dukungan rakyat. Padahal kebanyakan partai-partaim itu hanya mengobral janji palsu yang pada akhirnya hanya akan memberikan keuntungan pada segelintir orang saja tanpa sedikitpun memperdulikan kepentingan rakyat. Mabel yang sudah bosan dengan kondisi masyarakat yang seperti itu memutuskan untuk “ bergerak “. Perjuangan Mabel yang awalnya bersifat tertutup perlahan-lahan menjadi lebih terbuka. Mabel tidak hanya ingin keluarganya saja yang maju tetapi masyarakat di lingkungannya juga terbebas dari belenggu kebodohan , ketidakadilan dan kemiskinan. Tetapi perjuangan Mabel dan teman-temannya yang terbilang masih prematur itu harus terhenti. Mabel ditangkap oleh pihak-pihak yang tidak menyukai semua sepakterjangnya tanpa ada hak untuk membela diri.

Membaca novel ini mengingatkan aku pada karya Orhan Pamuk berjudul “ My Name is Red ( Namaku Merah Kirmizi ) “ karena ada banyak narator disana. Jika pada “ My Name is Red “ setiap tokoh baik yang hidup maupun yang tidak  hidup menjadi Narator maka pada “ Tanah Tabu “ yang menjadi Narator ada tiga, yaitu ; Pum ( Anjing ), Kwee ( Babi ) dan Aku ( Leksi ). Cerita yang dibangun oleh ketiga narator itu sangat menarik, cerdas, sedikit na’if dengan bahasa yang tidak terlalu bertele-tele apalagi menggurui.

Aku suka membaca novel ini karena akhirnya aku jadi mengenal beberapa istilah dari negeri Papua, seperti; Paitua, Mace, noken, Komen. Tomi-tomi, gaba-gaba,  ot atau sebuah kalimat seperti ; Yosi ! ba lincah sudah ! atau ko cari masakkah ?

Terlintas pula dalam pemikiranku bahwa novel ini adalah sebuah sindiran untuk manusia karena narasi yang disampaikan oleh Pum dan Kwee terkesan cerdas dan manusiawi. Hampir sama atau bahkan lebih baik dari pada gaya Leksi bercerita. Mungkin ini adalah salah satu pesan tersembunyi penulis agar kita berprilaku lebih baik lagi.

Tetapi ada hal yang membuat aku sedikit bertanya-tanya dalam hati. Masa sih… ? Benarkah… ? Tiba-tiba aku jadi teringat dengan  novelnya Nawal El-Saadawi yang berjudul “ Jatuhnya Sang Imam “. Dan seperti di novel itu sebagian besar laki-laki di Tanah Tabu digambarkan sebagai pribadi yang kasar, temperamental. licik dan egois bahkan seorang anak laki-laki ( Karel ) juga berlaku demikian.  Benarkah keadaan di Papua demikian…. ??  
Selain itu seperti sinetron-sinetron Indonesia yang berseliweran di layar kaca, sepertinya semua tokoh perempuan disana selalu menderita bahkan disaat bahagiapun masih menderita. Benarkah keadaan masyarakat di Papua demikian…??

Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya menurutku novel ini layak sekali untuk dijadikan bahan bacaan, renungan juga diskusi karena isinya memang bagus, menghibur sekaligus sarat dengan pesan moral.

~* Rienz *~








3 komentar:

Anonim mengatakan...

makasih telah mengulas novel saya "tanah tabu". semoga memberikan manfaat.

salam,
anindita

Anonim mengatakan...

makasih telah mengulas novel saya "tanah tabu". semoga memberikan manfaat.


salam,
anindita

atik mengatakan...

Terima kasih mbak anindita sudah mampir ke blog saya