Selasa, 19 Oktober 2010

TRILOGI WARNA ( 2 )

WARNA  AIR
Penulis          : Kim Dong Hwa
Alih Bahasa  : Rosi L. Simamora
Penerbit        : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan         : Agustus, 2010
Tebal              : 320 Halaman


Jika sekuntum bunga berada di dalam pagar,
Dapatkah kupu-kupu di luar menahan godaan untuk masuk ke dalam ?

***
Aku ingin menjadi bara api yang menarik kupu-kupu api,
 dan ketika mati aku ingin mati sambil saling berpelukan.
 Aku ingin menemukan laki-laki seperti itu

***

Warna Air adalah sekuel kedua dari Trilogi Warna karya Kim Dong Hwa. Sekuel kedua ini didominasi oleh cinta, bunga dan wanita. Air merupakan sumber kehidupan yang yang dapat membangkitkan, menyuburkan dan menyegarkan cinta, bunga serta wanita. Bunga sangat identik dengan wanita karena wanita itu jelita dan harum seperti bunga. Dan dengan kekuatan air bunga akan selalu berganti, segar, indah dan harum.

Perlahan tetapi pasti Ehwa kini beranjak dewasa. Ia bukan lagi kuncup bunga karena kini kelopaknya sedikit demi sedikit merekah dan siap menebar pesona dan keharuman bagi siapa saja yang memandangnya, tidak terkecuali bagi ibunya sendiri. Kekaguman ibu Ehwa akan pertumbuhan putri lambat laun menimbulkan kekhawatiran. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat wajar dialami oleh setiap orang tua karena orang tua manapun tidak ingin harta nya yang sangat berharga itu cacat atau hilang. Ibu Ehwa berhati-hati sekali dalam membimbing putrinya agar menjadi wanita sempurna. Hal ini bisa diketahui ketika Ehwa dimarahi ibunya karena menyukai aroma Bunga Kastanye. Karena menurut adat di Korea aroma Bunga Kastanye seperti aroma cairan sperma laki-laki.

Selain bertambah dewasa secara fisik, Ehwa sekarang mulai mengerti arti cinta sebenarnya. Jika di sekuel pertama dia hanya sekedar naksir atau hasrat sesaat saja tetapi sekarang Ehwa belajar cinta yang sesungguhnya melalui Duk Sam, seorang pegulat muda. Sementara itu hubungan Ibu Ehwa dengan si Tukang Gambar juga semakin serius. Dan hal itu ditandai dari jumlah pena si Tukang Gambar yang menghiasi dinding rumah tempat tinggal Ehwa dan Ibunya.

Hubungan keseharian Ehwa dengan ibunya juga harmonis, mereka sering bertukar pikiran dan berbagi tentang banyak hal terutama yang berhubungan dengan masalah perempuan dan cinta. Meski terlihat flat tetapi sesungguhnya ada sedikit riak diantara mereka. Ehwa sedikit menyembunyikan hatinya dari sang ibu karena sekarang ada Duk Sam dihatinya dan ia kurang yakin dengan pilihannya itu. Ibu Ehwa terkadang kurang mengerti arah pikiran Ehwa apalagi ketika anaknya itu dengan terang-terangan mengejek kekasihnya, si Tukang Gambar. Tingkah Ibu Ehwa yang seperti anak perawan baru mengenal cinta itu membuatnya sedikit kehilangan perhatian atas perubahan pada diri Ehwa. Tetapi hal itu tak menjadi masalah karena komunikasi mereka sangat baik. Dan Ibu Ehwa senang sekali ketika anaknya menghadiahkan kekasihnya sebuah ikat pinggang. Dan hal itu membuat Ibu Ehwa dan Tukang Gambar memikirkan masa depan mereka.

Meskipun pemikiran Ehwa sering bertolak belakang dengan Bong Soon tetapi mereka masih bersahabat. Boong selalu menilai Ehwa sebagai gadis kecil yang lugu padahal agresifitas seks-nya yang dilakukan dengan Dong Chul sangatlah tidak bertanggung jawab. Dan Ehwa tidak ingin mendapatkan cinta seperti yang dilakukan Bong Soon dan Dong Chul. Sepertinya Ehwa tidak ingin proses pendewasaan dirinya seperti kebayakan teman sebayanya. Ia menginginkan ingin yang terbaik.

Apa yang ditakutkan Ibu Ehwa sepertinya menjadi kenyataan karena kecantikan Ehwa telah membuat mata laki-laki terhipnotis dan menginginkan Ehwa. Hal ini diketahui dari pembicaraan di kedai minum ibunya. Apa lagi ketika datang seorang Mak Comblang yang diutus oleh Master Cho, laki-laki tua yang ingin mempersunting Ehwa. Tentu saja permintaan Mak Comblang tidak mendapat sambutan baik dari Ibu Ehwa karena ia mengiginkan yang terbaik bagi putrinya. Ibu Ehwa percaya ( hal. 213 ) “ … jika kau berhati-hati memilah semua sampah maka kau akan menemukan bongkahan emas diantaranya …“

Seperti halnya bunga perempuan selalu ingin tampil cantik dan segar supaya bisa menarik kupu-kupu. Dan hal itu dijelaskan secara puitis oleh ibu Ehwa untuk membuka kesadaran  putrinya ( hal. 14 ) “… jika mereka kupu-kupu yang matanya terbuka sepenuhnya , mereka akan berbondong-bondong menghampirimu… atau mungkin mereka hanya ngengat, bukan kupu-kupu…”. Ketika sedang mengajarkan anaknya membuat api, Ibu Ehwa memberi nasihat kepada puterinya dengan menggunakan elegori kupu-kupu. Karena cintanya kepada Duk Sam sedang bersemi, secara gamblang Ehwa memilih kupu-kupu api karena kupu-kupu itu tidak langsung pergi setelah menyerap sarinya. “  Aku ingin menjadi bara api yang menarik kupu-kupu api, dan ketika mati aku ingin mati sambil saling berpelukan. Aku ingin menemukan laki-laki seperti itu “. ( hal. 292 )

Ibu Ehwa juga bercerita ketika mereka sedang mencuci bersama anaknya tentang cintanya kepada almarhum ayah Ehwa. Cinta ayah Ehwa yang begitu besar bahkan sampai meluap membuat ibunya Ehwa tidak mudah melupakan almarhum suaminya itu. Ibu Ehwa sangat bahagia ketika suaminya masih hidup. Karenanya ia menjadi sangat mabuk dan tidak siap ketika suaminya tiba-tiba dipanggil Tuhan apalagi dia harus membesarkan putrid tunggalnya seorang diri.  Meskipun Ibu Ehwa sekarang merasakan cinta yang baru bukan berarti ia melupakan cinta yang pernah singgah dihatinya.

Sepertinya Warna Air tidak selezat Warna Tanah tetapi disinilah sebenarnya kekuatan ceritanya. Karena di sekuel ini kekuatan cinta Ehwa dan ibunya sama-sama sedang diuji. Hadirnya Master Cho menjadi sandungan bagi hubungan Ehwa dengan Duk sam. Sedangkan Ibu Ehwa  tengah galau memikirkan pernikahan yang terbaik buat putrinya juga arah hubungannya dengan si Tukang Gambar. Secara bertahap Ehwa harus mengetahui semakin bertambahnya usia membuat hidup ini juga semakin berwarna.

Sekuel kedua ini ini juga masih diwarnai oleh pemandangan alam pedesaan Namwon yang menawan melalui goresan-goresan indah yang disajikan im Dong Hwa. Selain itu referensi kita tentang budaya Korea juga bertambah.  Aku suka dengan model pakaian tradisional Korea yang disebut  Hanbok, untuk wanita Hanbok-nya disebut Chima-Jeogori. Dalam bahasa korea, Chima berarti rok dan Jeogori berarti jaket. Hhmmm…. Jadi terinspirasi buat gamis muslimku selanjutnya…..hehehehe…. ^_^

ManHwa yang jelita seperti Ehwa…
Jadi gak sabar buat sekuel selanjutnya…
Tapi kok belum ada di Gramedia ya…
Mungkin dalam waktu dekat akan segara terbit….
Semoga…  ^_^



~*  Rienz  *~
     

0 komentar: