Jumat, 20 Mei 2011
DERAI-DERAI CEMARA
DERAI-DERAI CEMARA
Puisi dan Prosa
Chairil Anwar
Majalah Sastra Horison & PT. Cakrawala Budaya Indonesia
Cetakan ke-3, 2006
xxiv + 130 halaman
Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 26 Juli 1922. Beliau wafat pada tanggal 28 April 1949 di usia 26 tahun 9 bulan karena penyakit paru-paru. Warisan karyanya tidak banyak, yaitu 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan serta radio kecil merek Philips untuk puteri tunggalnya Evawani Alissa. Meski sekejap dan tak banyak Chairil Anwar telah mampu mengilhami kita untuk mengekspresikan pikiran, perasaan dan estetika dalam bahasa Indonesia yang penuh tenaga.
Berikut ini beberapa karya Beliau yang aku suka, dan sedikit bisa ku cerna termasuk “Krawang-Bekasi” yang fenomena itu.l Tetapi sayangnya Krawang-Bekasi adalah puisi saduran dari sajak “The Young Dead Soldiers” karya Archibald MacLeish.
NISAN
Untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak ku tahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan bertahta.
(1942)
***
PENGHIDUPAN
Lautan maha dalam
Mukul dentur selama
Nguji tenaga pematang kita
Mukul dentur selama
Hingga hancur remuk redam
Kurnia bahgia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindung, sia-sia ditumpuk.
(Desember 1942)
***
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bias kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Maret 1943)
***
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masi tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
(Maret 1943)
***
KESABARAN
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Disebelahnya api dan abu
Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! Tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa ambil peduli
Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi
Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba.
(Maret 1943)
***
DI MESJID
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kami pun bermuka-muka
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya.
Bersimpuh peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.
(29 Mei 1943)
***
MULUTMU MENCUBIT DI MULUTKU
Mulutmu mencubit di mulutku
Menggelegak benci sejenak itu
Mengapa merihmu tak kucekik pula
Ketika halus-perih kau meluka?
(12 Juli 1943)
***
KITA GUYAH LEMAH
Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian
Mari tegak merentak
Diri sekeliling kita bentak
Ini malam purnama akan menembus awan
(22 Juli 1943)
***
DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
dipintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
(13 November 1943)
***
CERITA BUAT DIEN TAMAELA
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
Beta Pattiradjawane
Kikisan Laut
Berdarah laut.
Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat.
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
(1946)
***
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
Gadis manis, sekarang sendiri iseng.
Perahu malancar, bulan memancar,
Dileher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
Di perasaan penghabisan segala melaju.
Ajal bertahta sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
(1946)
***
PEMBERIAN TAHU
Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyan masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Dimalam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!
(1946)
***
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
Kelam dan angina lalu mempesiang diriku,
Mengigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semakin tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
Dan kau bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
(1949)
***
DERAI-DERAI CEMARA
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
(1949)
***
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(1948)
***
Diposting oleh
atik
di
3:03:00 PM
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Cerita Buku,
Cerita Puisi,
Chairil Anwar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar