Selasa, 08 Januari 2013
Penakluk Kemustahilan
Prolog
Alhamdulillah di minggu yang sejuk, 30 Desember 2012, aku dan teman-teman
ta’lim (Mbak Surmi, Ero$, Kak Norma, Asih, Mbak Lita & kak Rodiyah)
berkesempatan untuk menghadiri Tabliq Akbar (Kajian Bulanan) di Masjid Istiqlal,
Jakarta Pusat. Tabliq akbar kali ini terbilang "spesial"
karena di hadiri para ahli ibadah dan ahli Al-Qur'an (para syeikh) dari Saudi
Arabia dan Yaman. Meskipun agak kecewa karena acaranya "molor"
hingga satu jam, tetapi perasaan itu
sirna setelah mendengarkan syahdunya lantunan Al-Qur'an dan tausyiah yang
sangat menyentuh qolbu dari empat "guru"; pertama Syeik
Ali Shaleh Ali Jaber, kedua Syeikh Ammar Bugis, ketiga
Syeikh Abdullah As-Syajaroh, dan keempat Ust. Yusuf Mansur.
Inti pelajaran pada hari itu adalah; yang pertama sebagai seorang
muslim hendaknya kita memahami hakikat
dari keberadaan manusia serta alam semesta beserta isi juga sistem yang
bekerja di dalamnyanya, kedua menghimbau agar seluruh jamaah yang
hadir berusaha keras untuk mempelajari, memahami, mengamalkan dan mensyiarkan Al-Qur'an:
ketiga memperbaiki dan meningkatkan amal ibadah ketaqwaan kepada
Allah Swt terutama ibadah sunah, keempat
memperbanyak sodaqoh jariah, dan kelima keutamaan
mempelajari ilmu agama.
Dari kesemuanya
"guru" yang hadir, aku sangat terkesan dengan tausyiah Syeikh
Ammar Bugis. Menurutku Beliau lah "bintang"
tabliq pagi itu.
“Bugis??? Apa
maksudnya suku Bugis yang di Makasar???” pemikiran itu spontan terlontar
ketika aku mendengar namanya. Ternyata dugaanku tak salah, Syeikh Ammar sendiri
yang menjelaskan bahwa buyutnya berasal dari Bugis – Indonesia yang bermigrasi ke Saudi Arabia. Karena itu
ketika diundang oleh Darul Qur’an, Beliau langsung menyetujuinya. Selain adanya
keterikatan darah, Beliau juga mempunyai tanggung jawab untuk membina umat
islam ke arah yang diridhoi Allah Swt. Dan lebih khususnya bagi mereka yang difable
(cacat atau berkebutuhan khusus).
Dengan tegas
dan cerdas beliau menghimbau kepada para jamaah untuk tidak menyia-nyiakan
waktu dan selalu mendekatkan diri pada Allah Swt melalui semua nikmat hidup dan
karunia yang telah diberikan-Nya. Sosok dan prestasi Syeikh Ammar Bugis
sangatlah berkesan bagiku, bahkan hingga detik ini pun aku merasa sangat malu swekaligus
iri hati dengan pesona non-fisik yang Beliau miliki. Jadi ketika aku tahu di
Bazaar Tabliq juga menjual buku biography Syeikh Ammar Bugis, maka kontan saja
aku langsung membelinya agar bisa mengenal lebih jauh lagi “sosok yang
hebat” itu.
Penakluk Kemustahilan
(Perjuangan Pemuda
Berkebutuhan Khusus Melampaui Keterbatasan)
Judul Arab : Qaahir al-Mustahiil
Penulis :
Ammar bin Haitsam bin Abdullah Bugis (Ammar Bugis)
Penerjemah : Fuad
Syaifudin Nur
Editor : Muhammad Iqbal Santosa
Penerbit : Daar al-Andalus al-Khandraa
bekerjasama dengan SEDCO dan Penerbit
republika
Terbit :
Cetakan I, Desember 2012
Tebal :
XL + 182 Halaman
Ammar bin Haitsam bin Abdullah Bugis lahir di Madison, Wisconsin-USA pada
tanggal 22 Oktober 1986. Ketika Ammar berusia dua bulan, baru diketahui bahwa
Beliau mengidap penyakit langka yang disebut “Werdnig Hoffman”.
Yaitu sejenis penyakit yang gejalanya berupa kelumpuhan total seluruh saraf
tubuh yang menyebabkan hilangnya kemampuan bergerak kecuali mata dan lidah.
Penyakit ini sungguh menakutkan karena umumnya si penderita tak berumur
panjang, kalaupun bisa hidup maka si penderita seumur hidup tak bisa mandiri
dan akan selalu bergantung sama orang lain.
Pada awalnya keluarga Ammar tak bisa menerima kenyataan pahit itu, tetapi
karena keluarga itu sungguh-sungguh bertawakkal pada Allah Swt., maka Allah Swt
– pun tak meninggalkan mereka. Ammar sangat beruntung lahir di tengah keluarga
yang mempunyai pemikiran terbuka, luas dan ikhlas. Meskipun terlahir tak
sempurna orang tua Ammar berusaha sekuat tenaga, tanpa kenal lelah apalagi
menyerah menjadikan anaknya seorang yang berguna dan mandiri. Sejak usia dini orang
tua Ammar mendidiknya agar menjadi seorang yang beriman, bertawakkal, berakal
dan penuh rasa percaya diri. Bahkan dengan keterbatasannya Ammar tidak ingin ”diistimewakan”
karena sesungguhnya setiap orang setara disisi Allah Azza Wa Jalla.
“Saya muslim.
Saya bukan
orang cacat”.
Di usia kesebelas Ammar mulai menghafal Al-Qur’an dengan bimbingan dari
Syaikh Muhammad Ismail al-Jamal. Dan menginjak usia 13 Ammar berhasil
menyelesaikan hafalannya Al-Qur’an. Subhanallah… prestasi ini sungguh sangat
patut dibanggakan apalagi dihadapan Allah Swt. karena kebanyakan muslim
(seperti saya) belum tentu mampu mewujudkannya. Tidak hanya itu Ammar juga
mempunyai prestasi gemilang di bidang akademik karena Beliau mampu bersaing dan
menunjukkan kepada dunia bahwa orang difable yang berkebutuhan khusus pun
ternyata mampu bersaing dan menyangi orang lain yang secara fisik normal.
Banyak orang, bahkan dari kaum kerabatnya
sendiri meragukan kemampuan Ammar dikarenakan kondisi fisik yang sangat
terbatas. Tetapi Ammar mampu membuktikan kepada semua orang dengan meyelesaikan
sekolah lanjutan atas dan berhasil mendapat nilai yang memuaskan, 96. Kemudian Ammar
melanjutkan pendidikannya di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah dan mengambil
jurusan Jurnalistik setelah melewati kuliah persiapan selama setahun. Pada masa
kuliah ini Ammar banyak beraktifitas di luar rumah dan berinteraksi dengan
orang-orang diluar keluarganya. Namun kepribadian kuat serta kejeniusannya
Beliau akhirnya juga bisa mengikis berbagai masalah yang menjadi penghalang
kemajuannya.
“Hakikat
yang banyak dilupakan orang adalah
bahwa kelumpuhan
yang sebenarnya bukanlah kelumpuhan secara fisik, melainkan kelumpuhan iman dan
akal”.
Sejujurnya aku agak kaget dengan cerita hidup
Ammar ketika menjadi mahasiswa. Aku sebel banget sama orang-orang modern yang
terlihat intelek tetapi pemikiran dan hatinya demikian “cetek”. Teringat pula dengan orang-orang “difable” yang hampir setiap hari
aku jumpai; di jembatan penyebrangan atau di pinggir jalan umum. Mereka
terlihat menyedihkan ditambah lagi stigma buruk dari masyarakat yang terlanjur menempel pada dirinya. Tetapi
aku juga mengenal ada orang difable yang “cerdas”
seperti tetanggaku Dian, penyandang tuna rungu yang mengajar di sekolah SLB.
Lalu ada Pak Min dan bu Min, keduanya adalah tuna netra yang berprofesi sebagai
tukang urut dan refleksi. Ketiga Bang Dul yang menjadi merbot di masjid atau
seseorang yang bekerja satu gedung denganku di Plasa Bapindo. Tetapi kebanyakan
orang cacat disekitarku menjadi peminta-minta dan keberadaannya diremehkan oleh mereka yang
normal. Kalau soal ini ada banyak faktor yang mempengaruhinya hingga membuat
kaum difable seakan-akan menjadi beban dan tak bisa mengembangkan diri di
masyarakat; contohnya saja faktor keluarga, lingkungan masyarakat dan negara.
Tetapi Ammar berbeda dengan orang-orang difable
disekelilingku, Beliau mengingatkan aku pada Stephen Hawking, seorang fisikawan
terkenal yang juga tak sempurna secara fisik namun luar biasa cerdasnya. Ammar
mempunyai minat yang besar dalam bidang jurnalistik, broadcasting dan olah
raga, jadi tidak salah jika Beliau memilih untuk memperdalam ilmu jurnalistik
di Universitas King Abdul Aziz. Setelah melalui serangkaian rintangan, tantangan
dan tekanan, Ammar berhasil lulus S1 dengan Cum Laude di Jurusan Jurnalistik dan dan mendapat penghargaan
dari Gubernur Mekkah H.R.H Khaled faisal karena menjadi mahasiswa dengan nilai
tertinggi.
Suatu hari, Seorang Putera Mahkota Dubai bernama Hamdan bin Muhammad bin
Rasyid Al Maktum dijuluki Fazza’, sempat melihat film Ammar di You Tube.
Setelah itu, ia mengundang Ammar ke Dubai. Ketika Pangeran Dubai bertanya apa
keinginan Ammar selanjutnya? Ammar pun menjawab bahwa ia ingin menjadi dosen
dan melanjutkan pendidikannya ke S2. Pangeran Dubai itu kemudian memenuhi
keinginan Ammar untuk menjadi dosen dan memberikan bea siswa untuk Ammar
melanjutkan S2 nya di Dubai.
“Saya
selalu mendayagunakan pengalaman kesuksesan saya
untuk
menyelesaikan misi yang saya pikul di pundak saya,
yaitu
berupa cacat fisik yang sama sekali tidak pernah menjadi cacat tekad dan cacat
inovasi.
Karena cacat
yang sesungguhnya adalah cacat tekad, cacat cita-cita dan sikap menyerah pada
keadaan,
tanpa pernah melawan dan membiarkan hidup
dalam penderitaan”.
Sungguh tak habis fikir, bagaimana seorang yang
berkebutuhan fisik seperti Ammar sangat menyukai olah raga terutama sepak bola,
juga kegiatan lain yang umumnya membutuhkan olah fisik yang banyak dan beragam?
Bagaimana Beliau menyelami permainan sepak bola bahkan menjadi pelatih sebuah klub
sepak bola padahal hanya sering memainkannya lewat video game? Bagaimana Beliau
mengasuh rubrik olah raga padahal selalu kelelahan bila bergerak terlalu banyak?
Bagaimana Beliau bisa mendirect orang-orang normal lainnya dan memproduseri sebuah
program televisi? Bahkan saat ini Ammar
tercatat sebagai jurnalis terkemuka yang sangat diperhitungkan dan sering
diundang ke berbagai seminar ataupun pertemuan ilmiah baik nasional maupun
internasional. Hanya Subhanallah
yang sanggup terucap atas semua keajaiaban dalam diri Ammar yang diperlihatkan
langsung oleh Allah Swt kepada umat manusia.
(NB: Aku juga teringat sepupuku, Danang
Ali Darojat yang menderita Down Syndrom. Dia selalu “disembunyikan”
keluarganya di lantai atas rumah mereka. Padahal dia mampu mengerjakan berbagai
tugas rumah tangga, seperti meyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia juga
pandai membuat laying-layang. Jika orang tuanya mau bersikap ikhlas dan
tawakal, mungkin Danang juga bisa berprestasi seperti anak pengacara dan
politikus Indonesia, Ruhut Sitompul yang bernama Christian Husen Sitompu. Dia pernah mendapat medali emas dalam
ajang Nasional Games Special Olympics di Singapore pada tahun 2009, dan
menjuarai Special Olympics Summer Games XIII di Athena pada 2011.sedih jika
teringat dia…)
Sungguh tak pernah habis rasa kagumku pada sosok
Ammar Bugis. Perjuangannya tak pernah surut selangkahpun untuk merubah stigma negatif
masyarakat pada kaum difable yang cenderung bodoh dan terabaikan. Bahkan dengan
gagahnya Beliau mensyiarkan bahwa kata-kata “berkebutuhan khusus” sebaiknya dirubah menjadi “berkemampuan khusus”. Karena beliau
mempercayai bahwa mayoritas orang-orang berkebutuhan khusus itu dikaruniai
kemampuan luar biasa untuk bisa bertahan hidup.
“Pernikahan
saya sama sekali bukan sebuah mukjizat.
Karena Allah
Azza Wa Jalla telah
menciptakan
belahan jiwa bagi tiap-tiap orang.
Setiap orang
adalah setara di sisi Allah Azza Wa Jalla”.
Tak hanya dalam urusan materi dan karir Ammar
Bugis telah membuktikan kesuksesannya, dalam urusan perkawinan pun Beliau telah
berhasil menjungkir balikkan pandangan banyak orang yang menyangsikannya. Saat
ini Ammar Bugis hidup berbahagia dengan wanita hebat yang sangat dicintai dan
dikaguminya beserta anak sholeh yang selalu menjadi curahan perhatiannya.
Wanita hebat itu bernama Ummu Yusuf, seorang wanita Mesir yang pernah gagal
membina rumah tangga. Membaca kisah Ammar Bugis secara tidak langsung aku
mengagumi orang tua dan keluarga beliau begitu pula pada istrinya. Karena tak
banyak orang yang punya keikhlasan yang sedemikian tulusnya serta pemikiran
sedemikian luasnya mengartikan sebuah ikatan sakral seperti perkawinan. Bagi
keduanya perkawinan itu tak hanya sebuah komitmen yang berhubungan dengan
kebutuhan biologis semata bahkan sepertinya lebih indah dan lebih harmonis dari
pada itu.
Sekali lagi hanya Subhanallah yang mampu terucap atas semua keajaiaban dalam diri
Ammar yang diperlihatkan secara langsung dan nyata oleh Allah Swt kepada umat
manusia.
Sungguh aku malu…karena ternyata aku orang normal
yang cacat…
Tapi aku yakin tersembunyi hikmah besar atas kehadiran
sosok Ammar Bugis dalam hidupku…
Ya Allah … hambamu yang bodoh ini memohon
bimbingan dan petunjukmu selalu…
Bagi teman-teman yang belum mengetahuinya, ada
baiknya mencoba mencari tahu dan mengenal sosok inspiratif yang satu ini. Insya
Allah kalian akan mendapatkan hikmah yang bermanfaat dalam kemajuan hidup
dimasa mendatang. Amiin...
~*
Rienz *~
Diposting oleh
atik
di
3:14:00 PM
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Cerita Buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar