Jumat, 28 Januari 2011
BILANGAN FU
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Juni 2008
Tebal : 573 Halaman
Rasanya lumayan panjang juga jeda yang aku butuhkan untuk menikmati lagi karya lain Ayu Utami selain “ Saman “. Khas Ayu Utami memang jika dia selalu membuat kening pembacanya berkerut penuh tanya. Kali ini Ayu Utami datang dengan “ Bilangan Fu “ untuk meneror para penikmatnya. Ia menyuguhkan sebuah konsep spiritual yang boleh jadi hal itu di luar pemahaman kita sebelumnya. Atau kita sebenarnya sudah paham tapi terkadang sulit untuk mengkomunikasikannya dengan orang-orang disekeliling kita.
Bilangan Fu mengkritisi kekuatan agama-agama langit yang pada kenyataannya tidak selalu membawa keseimbangan dan keharmonisan dalam hidup ini. Sepertinya Ayu Utami (atau bahkan kita semua) kekecewa dan prihatin atas penganiayaan juga kesewenang-wenangan terhadap lingkungan serta budaya yang terjadi di sekeliling kita. Manusia (yang katanya) bertindak sebagai khalifah di bumi ternyata tidak mampu menunjukkan rasa hormatnya kepada lingkungan dan budaya yang tercipta di masyarakat, bahkan tega-teganya berusaha untuk mengangkangi demi memantapkan ideologi kapitalis.
“Agama langit terbukti tidak bisa menyelamatkan alam. Agama bumi secara sistematis memelihara alam. Sayangnya agama-agama bumi ini telah terlindas nilai-nilai baru untuk : modernisasi, monotheisme dan militerisme “. (Hal. 452)
Agama bumi ini maksudnya adalah kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut oleh nenek moyang kita, contohnya kepercayaan yang masyarakat jawa kuno, yang disebut kejawen. Kebudayaan kejawen ada yang masih dilestarikan hingga kini misalnya acara tedak siten dan tujuh bulanan pada bayi.
Lalu Ayu Utami menawarkan sebuah gagasan baru yang dinamakannya “ Neo-Kejawan “ dengan sinkretisme sebagai teksnya. Gagasan ini menekankan pada pemahaman dan kegiatan yang berupa laku kritis, seperti yang dipaparkan pada halaman 384-385.
“… Perbedaan utamanya terletak pada daya kritisnya. Spiritualitas jawa lama tidak merumuskan daya kritis. Spiritual lama tersedot pada rasa dan cipta tapi mengabaikan logika. Menekankan pada inspirasi tapi tidak analisa sama sekali. Spiritualias baru ini milik orang-orang yang rasional namun sekaligus kritis pada rasionya. Milik orang-orang yang telah mengenal modernisme tapi tidak tertelan pada modernisme. Milik orang-orang postmodernis.”
“… Spiritualitas baru ini senantiasa kritis pada asal dan tujuan hidup. Karena itu ia menundanya dan memusatkan cipta dan karsanya pada bumi ini.”
“… Spiritualias ini lebih tertarik pada bumi dari pada langit. Lebih wigati pada dunia ketimbang akhirat.”
Aku setuju dengan gagasan Ayu Utami soal laku kritis ini, tetapi seperti aku tidak sepaham soal cara pandangnya terhadap agama langit. Sebagai muslimah yang sejak kecil sudah dijejali dengan dogma-dogma yang termaktub dengan pasti dalam Al-Qur’an, aku percaya bahwa Allah SWT sebenarnya sudah memberikan aturan yang baik untuk kehidupan di bumi dan alam semesta ini beserta isinya hanya saja pemikiran dan daya nalar kita sering tidak mampu bahkan terengah-engah memahami petunjuk Allah SWT, karena memang kita adalah makhluk-Nya yang sangat berbatas. Dan bagusnya pada novel ini Ayu Utami tidak terjebak dalam pergulatan dogmatis yang terkadang bisa berujung perpecahan.
Apakah Bilangan Hu ( Fu ) itu ? Bagaimana bentuknya ? Dari mana asalnya ?
Bilangan hu adalah tanda tentang sesuatu yang ketetapannya adalah gerak. Ia mengambil bentuk sesuatu yang berpusar , tidak berbentuk cakra tertutup, seperti nol ( O ) atau berbentuk bindi hitam . Perangkatnya adalah :
Ji Ro Lu Pat Mo Nem Tu Wu Nga Luh Las Sin Hu
Hu adalah bilangan sunyi, dimana satu dan nol menjadi padu. Sebab ia bukan bilangan matematis, melainkan bilangan metaforis. Dia bukan bilangan rasional, melainkan bilangan spiritual.
Jujur saja aku sebenarnya bingung dengan apa atau siapa yang dimaksud dengan Bilangan Hu (Fu) itu. Apa peranan bilangan fu itu pada novel ini… ( kok masih samar ya …hingga kini…)
Yang aku pahami Hu itu adalah kependekan dari nama Tuhan yaitu Allah SWT karena jika sering menyebutnya dalam do’a dan dzikir.
Lafadz dalam berdzikir yang diajarkan oleh guru tasawufku di Masjid Sunda Kelapa;
Dzikir panjang ----- Laa ilaaha illallah…
Dzikir sedang ----- Allah...
Dzikir pendek ----- Hu…
( Hmmm…mungkinkah maksudku sama dengan Ayu Utami?)
(…sepertinya tidak)
(biarlah…kekeke…)
Sepak terjang Parang Jati dan Yuda di kampung halamannya mendapat tentangan keras dari seseorang bernama Kupu-Kupu (Hmmm…jadi inget sama My Name is Red-nya Orhan Pamuk). Sebenarnya Kupu-kupu yang kemudian berganti nama menjadi Farisi adalah adik kandung dari Parang Jati tetapi sayangnya ia tidak diadopsi oleh Suhubudi untuk menjadi anaknya. Suhubudi yang punya kepercayaan jawa yang kental sepertinya lebih tertarik dengan “si jari dua puluh empat”, Parang Jati. Farisi adalah pribadi yang sangat dogmatis, ia sangat mengagungkan agama dan Tuhan-nya tetapi gagal memahi semua ajarannya.
Novel ini bersetting di sebuah tempat yang kaya akan batuan kapur bernama Watu Gunung. Ayu Utami menjadikan Watu Gunung sebagai contoh atau lebih tepatnya potret dari sebuah negara atau dunia beserta permasalahan yang menyelimutinya. Semua kejadian yang terjadi di Watu Gunung adalah gambaran kongkret permasalahan-permasalahan akibat modernisasi dan kapitalisasi yang berujung pada eksploitasi di berbagai bidang kehidupan. Selain bisa mengikis kadar spiritual seseorang atau kelompok, modernisasi dan kapitalisasi membuahkan percikan-percikan api akibat gesekan yang terjadi antara golongan dan kepentingan. Kaum agamis fundamentalis dan moderat saling berhadapan untuk mempertahankan dan menyelamatkan argumennya masing-masing. Modernisasi dan kapitalisasi tentu saja melibatkan peran militer agar bisa lebih berkembang. Jika sudah demikian pasti akan ada pihak-pihak yang terdzolimi lahir – bathin yang akhirnya mau tak mau membebek pada pemenang.
Terus terang novel ini bacaan yang “berat” dan agak sulit memang menahaminya. Aku saja butuh waktu yang lama untuk memahaminya karena ada bagian yang mesti dibaca ulang agar dapat menangkap maknanya. Sangat melelahkan, apa lagi jika Ayu Utami sudah mendongeng, misalnya tentang Sangkuriang, Nyi Loro Kidul, Raja Mataram atau bicara gado-gado mulai dari soal agama, politik bahkan sampai ke militer. Aduuuhhh…..Kalau tak hati-hati menyimaknya bisa tersesat kita dalam pusara khayalnya.
( Hhhfffhhh….. sumpah… bener-bener capek gaul sama “Bilangan Fu”…)
Novel ini banyak menyajikan dialog-dialog cerdas yang memperkaya wawasan pengetahuan kita. Ayu Utami juga banyak memperkenalkan kosakata bahasa Indonesia yang sepertinya jarang dipergunakan dalam bahasa lisan dan tulisan, misalnya; periferi, menabal, bergoler-goler, miang, terpelecok mendebik, membeting dan masih banyak lagi
(Fiuhhh… sampai capek bolak-balik buka kamus bahasa Indonesia …)
Aku suka Bilangan Fu, karena menunya komplit, ada serius, ada humor, ada romantis, ada kesedihan, ada misteri, ada teka-teki, ada petualangan, ada kebahagiaan, ada yang memuakkan, ada yang “ bunglon “ dan ada pula sex-nya (huuuu…tapi bahasa penjelasannya jauh dari porno loh…). Sepertinya aku sedikit terganggu dengan kehadiran guntingan-guntingan berita koran di beberapa halaman novel. Tapi aku menyukai artikel yang dibuat oleh Parang Jati yang berjudul “ 3M : Tiga Musuh Dunia Postmodern “ dan 3M itu adalah Modernisasi, Monotheisme dan Militerisme.
Covernya juga unik seperti lukisan kalung etnik padahal sepertinya itu symbol dari Bilangan Fu. Dan ternyata lukisan cover itu karya AU sendiri.
Jadi…Baca deh Bilangan Fu… recommended banget deh…
karena Bilangan Fu memang bukan bacaan biasa…
~* Rienz *~
Diposting oleh
atik
di
2:34:00 PM
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Ayu Utami,
Cerita Bilangan Fu,
Cerita Buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar