Jumat, 11 Maret 2011

Kembali ke Jalan Allah SWT


Sharing Ceramah Dhuha di Masjid Agung Sunda Kelapa
Minggu ke-2, 13 Juni 2010.



KEMBALI  ke  JALAN  ALLAH SWT
Dr. H. Syamsul Ma’arif, M.A.



Fitrah manusia adalah dekat dengan Allah SWT. Karena dekat dengan Allah SWT, maka sudah tentu doa kita semuanya akan diijabah oleh Allah SWT. Dalam Al-Quran dinyatakan:


وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ‌ۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ‌ۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِى وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِى لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ (١٨٦)
Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka [jawablah], bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi [segala perintah] Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS Al-Baqarah [2]: 186)

Dan di dalam ayat lain juga disebutkan :

وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُ ۥ‌ۖ وَنَحۡنُ أَقۡرَبُ إِلَيۡهِ مِنۡ حَبۡلِ ٱلۡوَرِيدِ (١٦)
Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (QS Al-Qaaf [50]: 16)

Tetapi bisa jadi kedekatan antara manusia dengan Allah SWT menjadi bergeser, dari yang tadinya dekat menjadi jauh. Apa yang menyebabkan manusia menjadi semakin jauh dari Allah SWT? Yang menyebabkan manusia jauh dengan Allah yaitu karena manusia sering melakukan perbuatan dosa maupun kesalahan-kesalahan kepada Allah SWT. Dalam Al-Quran dicontohkan: 

وَيَـٰٓـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ فَكُلَا مِنۡ حَيۡثُ شِئۡتُمَا وَلَا تَقۡرَبَا هَـٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ (١٩)
Artinya: [Dan Allah berfirman]: "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua [buah-buahan] di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim". (QS Al-A’raf [7]: 19)

Pada ayat ini Allah SWT mengatakan agar Nabi Adam dan isterinya jangan mendekati “pohon ini”. Seakan-akan Allah SWT ingin mengatakan bahwa hubungan antara pohon, Allah SWT dan Nabi Adam beserta isternya adalah dekat. Oleh karena itu Al-Quran menyebutkan dengan kata “haadzihi” karena dalam bahasa Arab kata “haadzihi” digunakan untuk menunjuk sesuatu yang dekat. Mengapa demikian? Karena dalam hal ini Allah SWT dengan Nabi Adam adalah dekat.

Ternyata Nabi Adam melanggar perintah Allah untuk tidak mendekati pohon yang dimaksud. Nabi Adam dan isterinya tidak hanya sekedar mendekati, mereka bahkan memakan buah dari pohon tersebut. Maka Allah SWT mengatakan:

فَدَلَّٮٰهُمَا بِغُرُورٍ۬‌ۚ فَلَمَّا ذَاقَا ٱلشَّجَرَةَ بَدَتۡ لَهُمَا سَوۡءَٲتُہُمَا وَطَفِقَا يَخۡصِفَانِ عَلَيۡہِمَا مِن وَرَقِ ٱلۡجَنَّةِ‌ۖ وَنَادَٮٰهُمَا رَبُّہُمَآ أَلَمۡ أَنۡہَكُمَا عَن تِلۡكُمَا ٱلشَّجَرَةِ وَأَقُل لَّكُمَآ إِنَّ ٱلشَّيۡطَـٰنَ لَكُمَا عَدُوٌّ۬ مُّبِينٌ۬ (٢٢)
Artinya: maka syaitan membujuk keduanya [untuk memakan buah itu] dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (QS Al-A’raf [7]: 22)

Di dalam ayat ini disebutkan: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu?. Hal tersebut menjelaskan bahwa jika sebelumnya Allah SWT mengatakan “haadzihi al-syajarah (pohon ini)”, maka pada ayat ini Allah mengatakan: “tilkuma al-syajarah (pohon itu)”. Jika sudah demikian apa artinya? Kata “tilka - tilkuma” dalam bahasa Arab kata isyarah yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang jauh. Artinya, seakan-akan Allah SWT ingin mengatakan bahwa hubungan yang tadinya dekat menjadi jauh.

Menurut pendapat sebagian ulama, apa yang dilakukan oleh abi Adam itu hanyalah suatu kekeliruan. Mengapa keliru? Karena seorang Nabi mempunyai sifat “ishmah”atau“ma’shum”, yaitu “dilindungi dari kemaksiatan”. Maka yang dilakukan oleh seorang Nabi itu hanyalah keliru, sekalipun ketika melakukan kekeliruan itu Sang Nabi belum diangkat menjadi Nabi.

Coba kita bayangkanlah, melakukan kekeliruan saja sudah membuat posisi yang tadinya “dekat” bisa bergesar menjadi “jauh”. Pertanyaannya, bagaimanakah dengan kita kebanyakan (orang awam) yang berbuat salah kepada Allah, apa perbuatan salah itu dilakukan secara sengaja atau keliru? Jika keliru, mengapa pula sering melakukan kesalahan dan dosa? Bisa dikatakan keliru jika kesalahan itu dilakukan hanya sekali atau dua kali (frekwensi yang sangat sedikit). Namun, jika selalu melakukan kesalahan maka itu bukanlah keliru melainkan sengaja. Oleh karena itu pantas saja kalau posisi kita ini selalu bergeser dan terus bergeser menjauh dari Allah SWT.

Cara Kembali Kepada Allah SWT
Bagaimanakah supaya kita kembali dekat kepada Allah SWT? Agama memberi pedoman, yaitu:
1.      Dengan ucapan.
            Antara lain kita diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasulullah supaya memperbanyak istighfar. Insya Allah,             jika kita senantiasa membaca istighfar, maka semuanya akan dipermudah oleh Allah SWT, selain itu dosa-     dosa kita juga akan diampuni-Nya. Al-Quran mengatakan:

وَمَا ڪَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمۡ وَأَنتَ فِيہِمۡ‌ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمۡ وَهُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ (٣٣)
                Artinya: Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan   tidaklah [pula] Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun. (QS Al-Anfal [8]: 33)

                Penjelasannya adalah, bahwa Allah SWT tidak akan mengazab suatu kaum ataupun suatu masyarakat,      sementara masyarakat itu masih mau memperbanyak membaca istighfar. Sebab kalau suatu masyarakat       sudah banyak dosa, maka ancaman Allah SWT adalah seperti disebutkan dalam Al-Anfal ayat 25:


وَٱتَّقُواْ فِتۡنَةً۬ لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمۡ خَآصَّةً۬‌ۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ (٢٥)
Artinya: Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS Al-Anfal [8]: 25)


           
            Kalau suatu masyarakat sudah melakukan kezaliman dan kemaksiatan, Allah SWT akan memberikan fitnah             (siksaan) kepada masyarakat tersebut. Fitnah itu tidak hanya dirasakan oleh orang yang berbuat zalim,     tetapi orang yang baik-baik juga akan merasakannya. Contohnya, jika kita zalimnya kepada alam, kemudian   terjadi bencana alam, maka bencana itu tidak akan pilih-plih orang, baik orang yang zalim maupun orang       yang baik-baik yang ada didaerah bencana, pasti akan terkena dampak buruknya. Oleh karena itu kita harus memperbanyak istighfar, tidak hanya sekedar dilafadzkan saja tetapi juga harus dihayati. Nabi Muhammad SAW tidak kurang dari seratus kali mengucapkan istighfar setiap harinya, padahal Nabi Muhammad SAW itu          pribadi yang “ma'shum”  (terpelihara dari dosa). Sementara kita ini adalah orang awam yang tidak ma'shum         lagi bergelimang dosa, tetapi istighfarnya kurang atau (mungkin) bahkan tak ada.

2.     Meningkatkan kualitas amaliah ibadah.
Seperti; memperbanyak shalat sunah, menyisihkan sebagian rezeki kita untuk kepentingan kaum duafa dan orang-orang yang membutuhkan, berpuasa karena Allah SWT dan sebagainya. Insya Allah dengan melakukan itu semua dosa kita akan diampuni Allah SWT. Tetapi sebaiknya semua ibadah itu dilakukan dengan ikhlas untuk mengharapkan ridha Allah SWT semata. Oleh karena itu kita harus membersihkan dan meluruskan niat kita hanya untuk Allah Ta'ala.

3.     Taubat Nasuha
Tetapi ada pula dosa yang tidak hanya cukup dengan mengucapkan istighfar (minta ampun) saja kepada Allah SWT. Karena dosa-dosa itu (dosa besar) belum tentu akan diampuni Allah SWT, kecuali dengan melakukan “Taubat Nasuha” yang ikhlas kapada Allah SWT. Al-Quran mengatakan:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةً۬ نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَيِّـَٔاتِكُمۡ وَيُدۡخِلَڪُمۡ جَنَّـٰتٍ۬ تَجۡرِى مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُ يَوۡمَ لَا يُخۡزِى ٱللَّهُ ٱلنَّبِىَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُ ۥ‌ۖ نُورُهُمۡ يَسۡعَىٰ بَيۡنَ أَيۡدِيہِمۡ وَبِأَيۡمَـٰنِہِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتۡمِمۡ لَنَا نُورَنَا وَٱغۡفِرۡ لَنَآ‌ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ۬ (٨)
                Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,                 mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam                 surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-                orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan                 mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah                 kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS At-Tahriim [66]: 8)

                Taubat berasal dari kata “taabaa - yatuubu – tawbatan”, maknanya sama dengan “raja'a – yarji'u –        rujuu'an”. Jadi “Taubat” adalah “al-rujuu' ilaa Allaah (kembali ke jalan Allah)”. Jadi apa perbedaan        antara taubat dengan istighfar? Jawabnya ada dalam persyaratannya. Jika taubat membutuhkan            persyaratan, sedangkan istighfar tidak membutuhkan persyaratan.

            Syarat-syarat bertaubat
            Para ulama memberikan persyaratan bagi orang-orang yang ingin bertaubat. Taubat itu merupakan perintah             Allah SWT dan hukumnya wajib karena melaksanakannya adalah ibadah. Para ulama mengatakan bahwa taubat itu harus dilakukan secara “alaa al-dawaam wa'alaa al fawr (terus-menerus dan disegerakan)”.      Persyaratan bertaubat itu adalah:
            a. Mencabut kemaksiatan.
            b. Menyesali semua perbuatan dosa yang telah dilakukan (al-nazham).
            c. Tidak mengulangi perbuatan yang sama dimasa mendatang.
            d.Jika kita berdosa kepada sesama manusia, kita wajib melakukan al-istihlal (meminta           dihalalkan/diridhai). 
           
            Menyesali semua perbuatan dosa yang telah dilakukan (al-nazham) merupakan unsur yang paling pokok             dalam bertaubat. Rasulullah sendiri pernah mengatakan bahwa “penyesalan adalah taubat”. Imam Al-     Qusyayri dalam kitabnya “Risalah Qusyayriyyah” menyamakan hadis ini dengan kata-kata “Al-Hajju         'arafah (haji adalah arafah)” karena salah satu rukun haji adalah berwukuf di Arafah. Dan dalam hal    bertaubat unsur             yang paling utama adalah adanya penyesalan.

            Menurut Ibnu Manzhur “al-nazham” adalah “tawajju'u qalbi (penderitaan hati)”. Mengapa Menderita?    Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa itu sebetulnya orang yang mempunyai        penyakit. Dosa adalah penyakit bathin, oleh karena itu dalam proses pengobatannya akan timbul           penderitaan.  Dalam kita “Ihyaa Uluumiddiin” Imam Al-Ghazali juga mengatakan bahwa tanda-tanda orang          yang dosanya akan diampuni Allah SWT adalah saat orang itu meneteskan air mata. Jika air mata telah     menetes maka bathin kita juga akan merasa tenang.
           
            Jadi sudahkah kita memeriksakan qalbu ini?

Insya Allah jika kita sudah kembali dekat kepada Allah SWT, maka doa kita akan diterima oleh-Nya. Jika sudah demikian kita ingin selalu dan terus-menerus beristigfar dan mengingat Allah SWT. Mengapa? Karena manusia memang adalah tempatnya salah dan dosa. Dalam suatu hadis dikatakan oleh Rasulullah SAW, bahwa setiap manusia (anak Adam) pasti berbuat salah. Dan sebaik-baiknya orang yang salah adalah orang yang mau bertaubat. Jadi sekalipun kita pernah melakukan dosa baik itu dosa kecil maupun dosa besar, namun jika kita mau mengakui kesalahan dan kembali ke jalan yang benar, maka Allah akan memasukkan kita ke dalam kelompok orang-orang yang bertakwa (muttaqin). Hal ini telah difirmankan oleh Allah SWT dalam A-Quran:

۞ وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٍ۬ مِّن رَّبِّڪُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَـٰوَٲتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ (١٣٣)
Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (QS Al-'Imraan [3]: 133)


Ciri-ciri Orang Muttaqin
Allah SWT menjelaskan ciri-ciri orang muttaqin dalam A-Quran, surat Ali 'Imraan ayat 134 -135.

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡڪَـٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ‌ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ (١٣٤) وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَـٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَہُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ (١٣٥)
Artinya:
[yaitu] orang-orang yang menafkahkan [hartanya], baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan [kesalahan] orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (134) Dan [juga] orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (135)

Jadi, orang-orang muttaqin itu tidak hanya mulus dalam kebajikan saja. Mereka juga pernah berbuat maksiyat atau zalim baik terhadap diri-sendiri maupun orang lain. Tetapi mereka mau mengakui kesalahannya, bertaubat dan berjanji kepada Allah SWT  untuk tidak melakukan perbuatan sama dimasa mendatang.

Demikianlah, semoga semua ini bermanfaat. 


~* Rienz *~

0 komentar: