Selasa, 01 Maret 2011

TRILOGI WARNA (3)


WARNA   LANGIT
Penulis : Kim Dong Hwa
Alih Bahasa : Rosi L. Simamora
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Januari 2011
Tebal : 324 Halaman


“Kehidupan seorang wanita cukup aneh.
Dipermukaan mungkin kelihatannya seorang wanita tumbuh dewasa layaknya biji delima.
Tapi jika kau menoleh ke belakang,
dapat kau lihat bahwa hidupnya penuh dengan percobaan dan luka”
( Halaman …..)


Kwaaa…. Seneng banget nih… tidak perlu menunggu terlalu lama akhirnya sekuel ketiga dari Trilogi Warna karya Kim Dong Hwa telah hadir dan siap santap dihadapanku….

Ehwa kini telah berusia tujuh belas tahun. Ia telah menjelma menjadi gadis remaja yang cantik mempesona serta punya rasa percaya diri yang cukup tinggi. Kini Ehwa mengalami sendiri situasi yang tengah dialami oleh ibunya, yaitu “menanti kekasih”. Jadi kini dirumah ibu Ehwa souvenir yang menghiasi dinding rumah mereka bertambah jumlah dan jenisnya. Tujuh buah kuas gambar telah mengiringi kesetiaan dan kesabaran ibu Ehwa menanti kedatangan “si pictographer”. Dan kini hadir pula sebuah topi jerami lusuh yang menjadi saksi ketangguhan cinta Ehwa dan Duksam.

Diakhir buku kedua diceritakan bahwa Duksam mendapat tekanan dari master Cho, majikannya yang ternyata juga menginginkan Ehwa. Dan buku ketiga ini diawali dengan kepergian Duksam ke Mokpo, sebuah pelabuhan di selatan Korea. Duksam terpaksa harus meninggalkan desa dan Ehwa, tunangannya untuk mengumpulkan semua peruntungan baik di laut yang kelak akan digunakannya untuk membahagiakan Ehwa dan melanjutkan masa depan mereka. 

Tengah malam Ehwa meninggalkan rumah untuk melepas kepergian Duksam. Dan ditengah derai air mata Ehwa Duksam meyakinkan tunangannya bahwa ia akan kembali saat musim Hollyhock datang. (Adegan ini mengingatkan aku pada beberapa adegan dalam drama-drama Korea dan sinetron-sinetron Indonesia). Saat tiba dirumah keesokan harinya, Ehwa langsung berhadapan dengan amarah ibunya. Meskipun ibu Ehwa bisa mengerti dengan tindakan anaknya, tetapi sebagai orang tua ia harus mendisiplinkan anaknya dengan cara memberikannya hukuman. Dengan penuh kasih ibu Ehwa membimbing Ehwa bahwa ia sekarang sudah bukan anak-anak lagi, ia bisa menentukan arah hidupnya sendiri dengan konsekwensi ia juga harus bertanggung jawab pada setiap langkah yang dipilihnya.

Sambil menanti pujaan hati masing-masing, Ehwa dan ibunya berbagi rasa memaknai dan menyesapi arti cinta.

“ Itulah karma wanita. Hukuman bagi kita adalah menanam cinta di dalam hati kita
dan dengan hati-hati menyiram dan merawatnya” (Halaman 46)

“Ini benih tanaman labu. Taruh benih ini didekat hatimu dan kemudian carilah tempat untuk menanamnya. Kalau sedang menantikan seseorang, kau perlu menanam pohon labu.
Bunga labu adalah satu-satunya bunga yang menerangi malam
dan mengirimkan aromanya ke sudut-sudut terjauh bumi” (Halaman 37)

“Kalau kau sudah selesai menyapu, letakkan dedaunan itudalam tungku dan bakarlah. Bersama setiap helai daun yang kau tambahkan ke tungku, masukkan secuil kepedihanmu kedalamnya” (Halaman 48)

Persahabatan Ehwa dengan Bong Soon juga masih terjalin erat. Meskipun Bong Soon mempunyai cara yang aneh dalam mengungkapkan hasrat seksualnya tetapi Ehwa tak pernah sedikitpun menjauhinya. Meskipun Bong Soon cerewet dan tidak terlalu pintar tetapi sesungguhnya Ehwa banyak belajar soal kewanitaan padanya. Warna langit banyak berbicara tentang standart keindahan yang seharusnya dimiliki seorang wanita Korea pada masa itu. Hal itu bisa disimak dari perbincangan antara Ehwa dan Bong Soon di halaman 153 – 155.

Warna langit lebih banyak berkisah tentang kehidupan asmara Ehwa yang kemudian berakhir di meja altar. Seperti halnya tradisi perkawinan di Indonesia yang banyak menggunakan simbol, tradisi perkawinan di Korea juga demikian. Hal tersebut dijelaskan secara singkat pada halaman 260 – 269. Misalnya, simbol bebek mandarin sebagai perlambang kesetiaan dan pertanda akan kehadiran generasi penerus keluarga. Lalu symbol-simbol yang terhidang di meja altar, yaitu; kastanye, jujube dan nasi sebagai symbol kemakmuran dan kesuburan (anak-anak), ranting cemara dan bambu yang melambangkan keabadian cinta dan pita hijau dan merah melambangkan mempelai pria dan wanita. Lalu ritual berbagi minuman anggur yang melambangkan bahwa suami-isteri adalah satu kesatuan dalam ikatan perkawinan. Sama halnya di Indonesia, aku yakin tradisi ini masih dilestarikan dan dipertahankan hingga saat ini di Korea meskipun dewasa ini umumnya orang lebih menyukai yang simple, praktis dan ekonomis.

Selain informasi tentang budaya dan tradisi masyarakat pedesaan Korea, Kim Dong Hwa juga bercerita tentang norma-norma etika yang terbentuk dalam masyarakat itu. Misalnya soal kebiasaan masyarakat desa Namwon yang suka menghabiskan waktu di kedai minuman setelah lelah bergelut di lading pertanian. Atau bagaimana masyarakat memandang cinta, perkawinan dan seks. Aku agak sedikit bingung dengan hubungan antara ibu Ehwa dengan si pictographer (tukang gambar) yang telah mendalam. Mengapa masyarakat seakan-akan menutup mata atas perbuatan keduanya yang bisa dibilang sebagai perzinahan karena hasrat cinta mereka dilakukan diluar pernikahan.



Akhirnya cinta Ehwa dan Duksam menyatu dalam sebuah pernikahan. Tentu saja ibu Ehwa merasa kehilangan tetapi yang menggembirakan adalah perkawinan anaknya itu menjadi awal babak baru hubungan ibu Ehwa dengan si pictographer. Diakhir kisah ibu Ehwa masih setia menunggu sambil memandangi gerbang desa. Tetapi kali ini bukan si pictographer yang dinantinya, melainkan anak semata wayangnya, Ehwa yang kini telah tinggal di lain desa mengikuti suaminya.

Ketiga seri Manhwa karya Kim Dong Hwa ini memang sangat mengagumkan. Cerita lukisannya sangat indah ditambah lagi dengan bahasa yang teramat puitis. Membuat aku seperti menjadi bagian dari penduduk desa Namwon. Kim Dong Hwa berhasil menciptakan potret intim ibu dan anak yang sama-sama tumbuh dan berubah. Dan yang lebih menyenangkan lagi bahwa proses pendewasaan yang terjadi pada diri mereka berdua tidaklah membuat cinta dan kasih sayang keduanya berkurang satu sama lain.

Catatan :
Sepertinya orang Korea suka menggunakan bahasa kiasan dalam percakapan sehari-hari untuk menunjukkan maksudnya. Opini ini berdasarkan pengamatanku yang menyukai buku, film dan drama yang berasal dari Korea Selatan khususnya.


~* Rienz *~

0 komentar: