Rabu, 23 Februari 2011

Puisi - Puisi H. Taufiq Ismail



PUISI– PUISI TENTANG KEHIDUPAN DAN KEBUDAYAAN KITA
H. Taufiq Ismail
( Penyair & Budayawan )

Ada yang sedikit berbeda pada Kuliah Dhuha minggu pertama di bulan April 2010 yang rutin diadakan setiap minggunya di Masjid Agung Sunda Kelapa. Karena biasanya yang memberi tausyiah/materi pengajaran adalah seorang ustad, kyai atau ulama yang memang mempunyai background islam yang sangat istimewa. Atau sering pula dihadirkan tokoh-tokoh masyarakat untuk memberi pencerahan kepada para jama’ah. Tapi kali ini yang hadir adalah seorang Taufiq Ismail, budayawan dan sastrawan dari eksponen angkatan’66 yang sudah sangat terkenal karyanya dan kiprahnya di negeri ini. Dan melalui puisi-puisinya ini, alumni dokter hewan ini mengajak para jama’ah untuk merenungkan berbagai hal dalam kehidupan dan kebudayaan kita.

Puisi pertama yang dibacakan oleh beliau adalah sebuah peringatan akan kewajiban yang paling utama sebagai umat islam, yaitu “shalat”. Puisi itu berjudul “Sajadah Panjang” yang juga pernah dilagukan dengan sangat menyentuh oleh grup musik “Bimbo”. Puisi ini menggambarkan sebuah sajadah yang luar biasa panjangnya sejak kita baru dilahirkan hingga ke tepi kuburankita nanti yang kita sendiri tak tahu dimana letaknya.

“ Sajadah Panjang “

~ 1984 ~

 

Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati

Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
diselingi sekedar interupsi

Mencari rejeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara adzan
Kembali tersungkur hamba

Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan ruku’
Hamba sujud tak lepas kening hamba
Mengingat DIKAU sepenuhnya

***

Puisi kedua adalah sebuah ungkapan cinta dan terimakasih kita kepada Rasulullah, manusia yang telah membawa risalah untuk kelangsungan hidup umat manusia. Dan puisi ini juga pernah dilagukan oleh “Bimbo”.

“Rasulullah Menyuruh Kita”
~ 1990 ~

Rasul menyuruh kita mencintai yatim piatu
Rasul sendiri waktu kecil tanpa ayah, tiada ibunda
Mencintai anak yatim piatu adalah mencintai Rasul kita

Rasul menyuruh kita mencintai orang miskin
Rasul sendiri tanpa harta, dia lelaki yang sungguh miskin
Mencintai orang miskin adalah mencintai Rasul kita

Rasul menyuruh kita mencintai orang lapar
Rasul sendiri ketat ikat pinggangnya, tak pernah longgar
Mencintai orang lapar adalah mencintai Rasul kita

Rasul menyuruh kita mencintai orang-orang tergilas
Rasul sendiri teladan ketegaran ketika tertindas
Mencintai orang tertindas adalah mencintai Rasul kita

Rasul menyuruh kita mencintai hewan, pohon dan lingkungan
Rasul sendiri lemah lembut pada kucing kesayangannya
Mencintai satwa dan alam lingkungan adalah mencintai Rasul kita

Rasul menyuruh kita santun dalam beda pendapat
Rasul sendiri tidak pernah marah bila beliau didebat
Santun dalam beda pendapat adalah mencintai Rasul kita

Kita cintai orang-orang lapar dan berkekurangan
Kita cintai orang-orang tertindas, dimana pun mereka
Kita cintai anak-anak yatim dan piatu
Pada Rasaulullah kita bersangatan cinta
Gemetar kami dalam zikir
Gagap kami menyanyikan shalawat
Tiada cukup butir tasbih
Tiada memada kosa kata
Dalam membalas cintanya
Secara sederhana

***

Sesudah cinta kepada Rasulullah, kemudian kita cinta kepada ibu dan bapak. Ibu yang telah melahirkan kita dan bapak yang mencari rezeki untuk keluarga.

“Ibunda Suarga Kita”

Suarga
Di bawah telapak Ibunda
Alangkah dalam makna ungkapannya
Bisakah kita semua menangkapnya?

Suarga
Di bawah telapak Ibunda
Alangkah ikhlas cinta sayangnya
Bisakah kita semua membalasnya?

Kita lahir
Bunda yang menyambung nyawa
Kita memuntut ilmu
Bunda yang selalu mendoa

Kita dewasa
Bunda tak kurang kasih sayangnya
Namun kita alangkah sering lupa
Berterima kasih pada Ibunda

Ibunda
Keikhlasan bercahaya
Sempatkah dan bisakah waktu hidup ini kita membalasnya?

***

Jadi bagi yang ibu dan ayahnya masih hidup, sampaikanlah cinta kepada mereka. Puisi berikutnya tentang Al-Qur,an, petunjuk yang tiada habis-habisnya kita rujuk.

“ JANGANLAH KIRANYA DITUTUPKAN ITU CAHAYA QURAN “
Puisi yang diberikan oleh Bapak Taufiq Ismail untuk Syi’ar Al-Qur’an Terjemah Indonesia Inggris
Penerbit Al-Qur’an Qomari Solo
Semoga Allah SWT membalas amal kebaikan Beliau. Amin.
~ 1980 ~
Kita semua merindukan sebuah negeri yang teduh.
Sebuah negeri yang sejuk karena pohon tauhid menumbuhkan daun-daunan yang rindang,
sehingga di bawahnya orang menerima aliran udara yang nyaman.
Di atas negeri kita tergenang udara,
tegak lurus seratus juta hasta,
penuh dengan molekul zat asam,
yang rapi dianyam oleh lima milyar divisi malaikat yang bertugas taat,
sehingga menyebabkan paru paru makhluk dan kulit bumi bernafas secara semestinya.
Di antara lapisan itu,
kemudian di atasnya, ada cahaya.
cahaya itu datang sebagai garis lurus,
dan karena banyak jumlahnya
mereka sejajar bagai berkas, secara teratur,
jelas arahnya serta berkilau-kilau keadaannya.
Di atas cahaya itu ada cahaya lagi,
dan kita semua diberitahu lewat sebuah maklumat,
Mengenai cahaya berkilau yang berlapis lapis itu,
yang menerangi kampung kita.
Ketika matahari masuk ke dalam laut,
ketika layar malam telah menyelimuti bumi,
kabarnya cahaya itu masih menerangi negeri kita.
Siapa yang pernah memikirkan dan melihatnya?
Ketika matahari memecah lazuardi
dan layar malam yang hitam telah digulung kembali,
cahaya itu tetap menerangi negeri kita.
Siapa yang pernah memikirkan dan melihatnya?
Kita semua merindukan cahaya itu.
Rumah,
yang pintu depannya disinggahi cahaya itu,
jadilah rumah itu rumah yang teduh.
Lihatlah pencari nafkahyang keluar seharian dari itu rumah,
setelah bekerja keras dan payah,
pulang membawa rezeki yang bersih dan berkah,
selamat dari percikan lumpur kotoran yang menodai zaman.
Kita semua merindukan cahaya itu singgah di pintu depan rumah kita.
Rumah,
Yang tingkap jendelanya disinggahi cahaya itu,
penghuninya tidak suka bergunjing, hemat dengan kata kata,
tidak mendengki pada tetangga,
bila bersedekah tanpa perhitungan apalagi mengharapkan penghargaan,
dan senyumnya sepanjang hari jadi perhiasan.
Kita semua merindukan cahaya itu
Memandikan seluruh atap dan bubungan rumah,
Semua desa dan kota,
Setiap sungai dan gunung di negeri kita.
Orang bercerita
bahwa rumah yang pekarangannya dicurahi cahaya itu,
anak anaknya di malam hari rajin membaca buku sambil membelakangi televisi,
mereka tidak merokok apalagi menyentuh madat,
bersama ibu dan ayah mereka bersujud,
berdoa dan menyanyikan wahyu Tuhan,
ensiklopedia di ruang tamunya adalah 30 jilid tafsir Quran,
referensi budi pekerti digali dari teladan kehidupan Rasul kecintaan.
Kita semua merindukan cahaya itu mencurahi bumi kita seluruhnya.
Cahaya yang datang dari Quran,
yaitu Quran yang bukan cuma perhiasan tapi Quran bacaan,
Quran yang bukan cuma bacaan tapi Quran yang maknanya diresapkan
Quran yang bukan cuma maknanya diresapkan tapi Quran yang isinya deras mengalir
memasuki dan menyuburkan seluruh jalur kehidupan.
Kita semua merindukan cahaya Quran selalu turun ke bumi kita,
sehingga kalbu kita semua senantiasa cerah karenanya,
sehingga dunia terang-benderang jadinya.
Janganlah kiranya ditutupkan cahaya itu bagi kita semua.
Kami mengaku
kami zalim terhadap diri sendiri,
kami banyak cacat itu dan ini,
tapi janganlah ditutupkan cahaya Quran bagi kami semua.

Kami mengaku kami jahil,
jauh dari sempurna,
hati kami banyak penyakitnya,
amal kami tak sedikit cacatnya,
tapi janganlah karena itu ditutupkan cahaya Quran bagi kami sekalian.
Wahai Yang Maha Pemberi Cahaya,
Wahai Yang Maha Pemurah dan Bijaksana.
Jangan biarkan Quran di rumah kami cuma jadi pelengkap perabotan,
tapi jadikanlah Quran pelengkap kehidupan.
Jangan pula biarkan Quran hanya merdu di lidah dinyanyikan,
tapi jadikanlah Quran indah dalam penerapan keseharian.
Jangan biarkan Quran Cuma dibacakan dalam acara kematian,
tapi jadikanlah dia panduan sepanjang kehidupan.
Kami tak habis habis merindukan cahaya Quran.
***
Puisi berikutnya bercerita tentang kerinduan manusia akan sebuah masjid
“Mencari Sebuah Masjid”

~ Jeddah 30 January 1988 ~

Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan
fondasinya batu karang dan pualam pilihan
atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan
dan kubahnya tembus pandang,
berkilauan digosok topan kutub utara dan selatan
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran
dengan warna platina dan keemasan
berbentuk daun-daunan sangat beraturan
serta sarang lebah demikian geometriknya
ranting dan tunas jalin berjalin
bergaris-garis gambar putaran angin
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya menyentuh lapisan ozon
dan menyeru azan tak habis-habisnya
membuat lingkaran mengikat pinggang dunia
kemudian nadanya yang lepas-lepas
disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas
yang memperindah ratusan juta sajadah
di setiap rumah tempatnya singgah
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana
bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya
engkau berjalan sampai waktu asar
tak bisa kau capai saf pertama
sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu
bershalatlah di mana saja
di lantai masjid ini, yang luas luar biasa
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya
yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya
dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya
di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian
yang menyimpan cahaya matahari
kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan
ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna
di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta
terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya
tempat orang-orang bersila bersama
dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka
dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian
dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan
dalam simpul persaudaraan yang sejati
dalam hangat sajadah yang itu juga
terbentang di sebuah masjid yang mana
Tumpas aku dalam rindu
Mengembara mencarinya
Di manakah dia gerangan letaknya ?
Pada suatu hari aku mengikuti matahari
ketika di puncak tergelincir dia sempat
lewat seperempat kuadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan aku pun melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan
dia berkata :
“Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan”
dia menunjuk ke tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir beraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan
aku pun di bawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan
hangat air terasa, bukan dingin kiranya demikianlah air pancuran
bercampur dengan air mataku
yang bercucuran.
***
Keluar dari masjid, kita akan terlibat dengan urusan dunia lagi. Umumnya masalah dunia itu berhubungan dengan uang atau harta. Contohnya bisa kita simak dari kasus-kasus keuangan hukum yang terjadi di Negara kita. Dan puisi selanjutnya berbicara tentang harta.

Lima Syair Tentang Warisan Harta”

~ 1998 ~


(1)
Inilah syair pertama tentang secercah sejarah
Mengenai nabi Muhammad menjelang wafat
Ketika sakit beliau sudah terasa berat
Pada tabungannya yang sedikit jadi teringat
Menyedekahkannya belumlah lagi sempat
Maka Rasulullah berkata pada Aisyah
“Aisyah, mana itu ashrafi?
Sedekahkanlah segera di jalan Allah
Berikanlah secepatnya pada orang tidak berpunya
Bila masih ada harta kutinggalkan di rumahku ini,
pasti itu bakal jadi rintangan
Dan aku tak aman menghadap Tuhan.”
Sesudah tabungan itu dibagikan
Maka wafatlah beliau dengan aman.

(2)
Inilah syair kedua tentang Khalid bin Walid
Perwira tinggi yang amat gagah berani
Seorang jenderal pertempuran yang sejati
Caranya mati dia sesali sendiri
Karena bukan gugur di medan pertempuran
Tapi karena sakit, mati di atas dipan
Mengenai harta benda yang dia tinggalkan
Hanya tiga jenis macamnya:
Sebilah pedang
Seekor kuda
Dan seorang pembantu rumah tangga.

(3)
Inilah syair ketiga tentang Umar yang perkasa
Yang pernah menaklukkan Persia dan Roma
Yang kilatan pedangnya menggoncang kerajaan demi kerajaan
Yang perkasa, kaya serta berkuasa
Tetapi sesudah dia tiada lagi bernyawa
Warisannya cuma sehelai baju
Terbuat dari kain yang kasar
Dan uang lima keping
Seharga lima dinar.

(4)
Inilah syair keempat tentang Aurangzeb
Penguasa imperium Mughal di India
Luas dan jaya kerajaannya
Adil serta merata kemakmurannya
Dan ketika dia pergi menghadap Tuhan
Dia meninggalkan dua warisan
Pertama, uang sebanyak empat rupi dua anna
Hasil penjualan kopiah jahitannya
Kedua, uang sebanyak 305 rupi
Upah menyalin Qur’an dengan tangan
Dan semua uang itu kemana pergi
Pada rakyat yang miskin habis dibagi-bagi.

(5)
Inilah syair kelima tentang Sultan Shalahuddin
Pahlawan perang yang sangat harum namanya
Raja dari kawasan yang sangat luasnya
Sultan dari kerajaan yang amat makmurnya
Dan dia, pada hari wafatnya
Tidak mewariskan harta benda suatu apa
Karena seluruhnya sudah habis disedekahkannya
Pada kawula fakir miskin yang lebih memerlukannya
Sehingga biaya pemakamannya
Adalah urunan dari sahabat-sahabatnya
Dan ada rakyat yang menyumbangkan batang-batang jerami
Untuk membuat batu bata
Sebagai pagar dari makamnya

(Taufik Ismail, “Lima Syair tentang Warisan Harta” dalam MAJOI)
***

Membaca sejarah orang-orang besar tersebut hendaknya kita malu karena kita yang kerdil ini begitu serakah terhadap harta. Bahkan ketika ajal menjemput kita tak sanggup berpisah dengan harta padahal orang-orang besar itu pada saat kematiannya berusaha sedapat mungkin menjauhkan diri mereka dari harta. Seberapa besarkah nilai harta dunia sehingga kita mati-matian mengejarnya? Simaklah puisi dibawah ini ;

“ Celupkan Jarimu ke Air Lautan “

~ 1984 ~

Bertanya seseorang pada junjungan kita

Wahai Rasulullah tercinta Bandingkan dunia kini dengan akhirat nanti”.
 
Menjawablah Rasulullah Sallallahu’Alaihi wa Sallam
 
Celupkan jarimu ke air lautan
Air yang menetes dari ujung jarimu itulah dunia seisinya
Air yang ada diselebihnya di lautan
Air yang tersebar di tujuh samudera
Itulah akhirat nanti”
 
Wahai alangkah kecil arti dunia
Wahai alangkah kerdil arti dunia
Wahai alangkah remeh makna dunia
Wahai alangkah wahai tak berartinya dunia
 
Yang mengejar akhirat mendapat akhirat dan dunia
Yang mengejar dunia cuma mendapat dunia

***
Puisi kedelapan berjudul “Barang Titipan”. Menurut Taufik Ismail inti dari puisi ini adalah bahwa sebenarnya kita hidup di dunia ini tidak mempunyai apa-apa dan semua yang ada pada kita saat ini merupakan titipan saja dan sifatnya sementara.

“Barang Titipan”


Sebenarnya kita tak punya apa-apa
semua ini titipan saja
badan kita, nyawa kita, istri kita, suami kita, anak kita,
harta kita, jabatan, tabungan tanah dan rumah
semua ini titipan saja

suatu hari barang titipan harus dikembalikan
yang punya tak bilang kapan
kita saja yang rapi menyiapkan
malam ini, minggu depan, tahun depan
harus rapi dikembalikan

sebenarnya kita tak punya apa-apa
semuai ini titipan saja

***


Puisi kesembilan hingga ketiga belas berbicara pengaruh budaya dan modernisasi yang dapat mengikis kualitas keimanan dan ketakwaan kita pada Allah SWT. 

“Cerita Seorang Anak Yatim Piatu Selepas Pesta Ulang Tahun Tetangganya”


~ 1980 ~

(1)
Seminggu lalu datanglah undangan
untuk kami anak-anak penghuni panti asuhan
diantarkan seorang ibu dan anak gadisnya.
Sekolahnya kira-kira di SMA
mereka naik Corolla biru
dari pakaian, cara bicara dan perilaku kelihatan tamu ini orang gedongan
golongan yang hidup lebih dari kecukupan.
Mereka mengundang anak-anak panti asuhan
untuk ikut acara ulang tahun
Rebo jam tujuh malam.
Dan berangkatlah kami pada waktu yang ditentukan
berjumlah dua puluh tiga, termasuk bapak dan ibu asrama
jalan kaki bersama, karena jaraknya cuma terpisah sepuluh rumah saja.
Rombongan disilakan masuk dengan ramah
dan anak-anak berusaha duduk di belakang-belakang saja
tapi disuruh berbaur dengan tamu-tamu lainnya
para remaja belasan tahun
mereka sehat-sehat, harum-harum
berbaju mahal dan tembem-tembem pipinya
saya berjuang melawan sifat minder saya
duduk di tengah ruang tamu yang luas.
Di atas karpet bersila, pegal dan canggung
di antara jajaran barang antik dan macam-macam perabotan
di bawah lampu kristal bergelantungan.
Tapi alangkah aku jadi heran
tidak ada acara potong kue dan tiup lilin
tidak ada tepuk tangan mengiringi lagu Hepi-Bisde-Tuyu
Hepi-Bisde-Tuyu.
(2)
Lalu seorang remaja membaca
Surah Luqman dengan suara amat merdunya
dan suaranya berubah jadi untaian mutiara
yang berkilauan jadi kalung di leher pendengarnya.
Kemudian
Lia yang berulang tahun berpidato sangat mengharukan
dalam acara seperti ini bukan saya yang jadi pusat perhatian
diperingati atau dihargai
tapi mama
ya, mama kita ibunda kita
dan ayahanda.
Ibunda dan ayahanda pusat perhatian kita.
Hari ini, enam belas tahun yang lalu
mama melahirkan saya
posisi saya sungsang
saya terlalu besar
jadi mama harus
sectio caesaria
mama dibedah,
berdarah-darah
seluruh keluarga khawatir dan berdoa
di luar ruang operasi duduk menanti berita
dalam kecemasan luar biasa
tapi alhamdulillah
kelahiran selamat
walaupun mama sangat menderita
Sekarang ini, enam belas tahun kemudian ulang tahun saya dirayakan
saya pikir, tidak logis saya jadi pusat perhatian
harus mama yang jadi pusat perhatian
mama. Bukan saya
saya pikir, tidak logis saya minta kado harus mama yang diberi kado
Anak gadis itu berhenti sebentar
dia sangat terharu
kemudian dia mengambil sebuah bungkusan
kertas berkilat, diikat pita berbentuk bunga.
Mama
terima kasih mama, terima kasih
mama telah melahirkan saya dengan susah payah
mama menyabung nyawa berdarah-darah.
Persis
malam ini, 16 tahun yang lalu
terimalah rasa terima kasih ananda
tidak seberapa harganya.
Mamanya berdiri
terpukau pada kata-kata anak gadisnya
terharu pada jalan pikirannya yang dia tak sangka-sangka
dia langsung memeluk anaknya terguguk-guguk menangis
keduanya tersedu-sedu
hadirin menitikkan air mata pula
suasana mencekam terasa
dan hening agak lama
(3)
Kemudian kakak pembawa acara berkata
para hadirin yang mulia ini memang kejutan bagi kita
karena dengan tahun yang lalu acara ini berbeda
Lia tidak mau tiup lilin jadi acara
karena ditemukannya di ensiklopedia
Manusia di Zaman Batu di Eropah percaya pada kekuatan nyala lilin,
begitu tahayulnya
bisa mengusir sihir, roh jahat, leak dan memedi begitu katanya
termasuk si jundai, setan, hantu, kuntilanak dan gendruwo.
Dan itu berlanjut ke zaman Romawi kuno
lalu dikarang lagi
berikutnya superstisi
yaitu apabila lilin-lilin itu sekali tiup nyalanya semua mati,
Maka akan terkabul apa yang jadi cita-cita di dalam hati.
Lia tidak mau acara ulang tahunnya oleh tahayul jadi bernoda
acara yang ditentukan oleh budaya jahiliah zaman purbakala.
Katanya: “Kok tiupan nyala 16 lilin
bisa menentukan nasib saya?
Allah yang menentukan nasib saya.
Sesudah kerja keras saya
saya tidak mau dibodoh-bodohi tahayul
walaupun itu datangnya dari barat atau pun timur juga.
Saya tidak mau dibodoh-bodohi budaya mereka
minta kado dari papa dan mama
minta kado dari keluarga dan kawan-kawan saya.
Saya tidak mau cuma jadi kawanan burung kakaktua
burung beo yang pintar meniru adat Belanda dan Amerika
dalam acara ulang tahun kita
begitu katanya.
Sesudah bertangis-tangisan dengan ibunya
berkatalah yang berulang tahun itu
Hadiah paling saya harapkan dari kalian
adalah doa bersama
sesudah hamdalah dan salawat
karena saya ingin jadi anak yang baik laku
jadi perhiasan di leher ibuku
jadi penyenang hati ayahku
rukun dengan kakak-kakak dan adik-adikku
bertegur-sapa dengan semua tetangga
dan kelak ketika dewasa berguna bagi Indonesia.
(4)
Anak yatim piatu yang mendapat undangan itu
lihatlah bersama kawan-kawannya
disilakan makan bersama-sama
dengarlah kisah kesannya.
Kini, dalam acara makan kunikmati nasi beras Rajalele yang putih gurih
dendeng tipis balado, ikan emas panggang dan udang goreng, besar dan gemuk-gemuk
belum pernah aku memegang udang sebesar itu.
Di asrama ikan asin dan tempe
seperti nyanyian yang nyaris abadi
kadang-kadang makan pun cuma sekali sehari.
Ketika kulayangkan pandangku ke depan
kulihat tuan rumah yang baik hati itu
bapak dan ibu itu berdiri bersama Lia anak gadisnya
berbicara amat mesranya.
Kubayangkan ayahku almarhum mungkin seusia dengan bapak ini
beliau meninggal ketika umurku setahun.
Kubayangkan ibuku almarhumah wafat ketika aku kelas enam SD
mungkin seusia pula dengan ibu itu.
Tidak pernah aku merayakan ulang tahunku
Tidak pernah.
Semoga sorga firdaus jua
Bagi ibu bapakku
Panas
mengembang di atas pipiku
tak tertahan titik air mataku.

***
 Kabar Buruk Dari Negeri Terpuruk”
~ 2002 ~

Bukan kereta sembarang kereta
Kereta ini putih sekali
Bukan berita sembarang berita
berita ini buruk sekali

Kemarin di negeri ini 156 orang meninggal dunia
Tapi anehnya di koran tidak ada itu berita
Tak di radio, tak di televisi, tak disatupun media
Apakah ada pemboikotan yang begitu merata?
Padahal kejadian itu sudah bertahun-tahun lamanya

Dalam sehari tercatat 156 orang mati
Lebih ngeri dari bom kuningan, bom Marriot dan bom Bali
Lebih dahsyat ketimbang bencana banjir bandang dan gunung api
Yang masing-masing itu terjadi cuma satu kali
Termasuk gempa dan gemuruh tsunami
Celakanya, tak tampak oleh mata kita korban sebanyak ini
Karena dia menyebar merata diseluruh negeri
Dan fenomena maut yang satu ini
Bertahun-tahun, bertahun-tahun berlangsung setiap hari.

Setiap 24 jam 156 orang, mayat menjadi
Setahunnya 57.000 orang Indonesia mati
Korban empat tahun yang lalu sama denga satu tsunami
Korban empat tahun depan sama dengan satu tsunami lagi
Karena merokok, sebabnya pasti
Gara-gara dicengkram nikotin sebagai adiksi

Bukan kereta sembarang kereta
Kereta ini putih sekali
Buka berita sembarang berita
berita ini sedih sekali

Keranjang sampah ini luar biasa kapasitasnya
pedagang-pedagang nikotin yang dinegeri asalnya
babak belur digebuki penadilanpengadilan bermilyar dolar dendanya
ketahuan penipuannya dan telah membunuhi jutaan pengisapnya
diusir terbirit-birit akhirnya berlarian di dunia ketiga
dan dengan rasa rendah diri luar biasa
kita sambut mereka bersama-sama

“Monggo, monggo Den, linggih rumiyin
Ngersakaken menopo Den Bagus
Mpun, ngendiko mawon
Aih aih si Aden, kasep pisan
Tos ami, sumping di dieu, Indonesia?
Alaa rancak bana oto angku ko
Sabana rancak
Ba caronyo kami, supayo...”

Demikianlah dengan rasa hormat yang lumayan berlebihan
para pedagang nikotin dari negeri jauh di tepi langit sana
Penyebar penyakit dan pencabut nyawa anak bangsanya
Terlibat pengadilan dan tertimbun bukti
Dinegeri sendiri telah diusir dan dimaki-maki
Ke dunia ketiga mereka melarikan diri
Pabrik-pabrik mereka ditutup di negeri sendiri
Lalu didirikan di Dunia Ketiga, termasuk negeri kita ini
Di depan hidung kita penyakit di pindah ke sini
Dan untuk mereka kita hamparkan merahnya permadani
Lalu bangsa kita ditipu dengan gemerlapnya advertensi
Inilah nasib bangsa yang miskin dan pemerintah yanglemah
Semua bertumpu pada pemasukan uang sebagai orientasi.

Rokok, Abang kandung narkoba ini tak tertandingi dalam soal adiksi
4000 macam racun dipadatkan sepanjang sembilan senti
Untuk orgasmus nikotin 5 menit itu serdadu tembakau ini mana peduli
Terhadap hari depan anak-anak yang masih memerlukan pencari rezeki
Terhadap bagaimana terlantarnya kelak janda yang dulu namanya istri
Atau nasib duda yang dulu namanya suami
Terhadap pengotoran udara depan belakang, kanan dan kiri
Dalam memuaskan ego, dengan sengaja mendestruksi diri pribadi

Betapa beratnya memenangkan Perang Melawan Diri Sendiri

***

Indonesia Keranjang Sampah Nikotin”

~ 2000, 2002 ~

 

Indonesia adalah surga luar biasa ramah bagi perokok
Kalau klasifikasi sorga ditentukan jumlah langit yang melapisinya
Maka negeri kita bagai maskapai rokok, sorga langit ketujuh klasifikasinya

Indonesia adalah keranjang besar yang menampung semua sampah nikotin
Keranjang sampah nikotin ini luar biasa besarnya
Dari pinggir barat ke pinggir timur,
Jarak yang mesti di tempuh melintasi zona 3 waktu
Yaitu 8 jam naik pesawat jet,
10 hari kalau naik kapal laut,
satu tahun kalau naik kuda sumba,
atau 5 tahun kalau saban hari naik kuda kepang ponorogo

Keranjang sampah ini luar biasa besarnya
Bukan saja sampah nikotin,
tapi juga dibuangkan kedalamnya berjenis cairan, serbuk, berbagai aroma dan warna
Alkohol,heroin,kokain, sabu-sabu, ekstasi dan marijuana
Berbagai racun dan residu, erotisme dan vcd biru
Sebut saja semua variasi klasifikasi limbah dunia
Mulut indonesia menganga menerimanya

Semua itu, karena gerbang di halaman kita terbuka luas,
Kita tergoda oleh materialisme dan disuap kapitalisme
Pikiran sehat kita kaku dan tangan kanan kiri terbelenggu
Dengan ramah dan sopan kiriman sampah itu diterima

Di pintu depan bandara, karena urgennya modal mancanegara,
Karena tak tahan nikmatnya komisi dan upeti,
Dengan membungkuk-bungkuk kita berkata begini,

Silakan masuk semua, silakan
Monggo monggo mlebet, dipun sakecakaken
Sog asup sadayana, asup, asup
Ha lai ka talok, bahe banalah angku, bahe banalah ‘

Keranjang sampah ini luar biasa kapasitasnya
Pedagang-pedagang nikotin yang di negeri asalnya
babak belur digebuki pengadilan bermilyar dolar dendanya
Ketahuan penipunya dan telah membunuhi jutaan pengisapnya
Di usir terbirit – birit akhirnya berlarian ke dunia ketiga
Dan dengan rasa rendah diri luar biasa kita sambut mereka bersama sama

Monggo, monggo den, lnggih rumiyin ngersaken menopo den bagus
mpun, ngendiko mawon
Aih aih si aden, kasep pisan
Tos lami, sumping, di dieu, Indonesia ?
Alaa, rancak bana oto angku ko
Sabana rancak
Baa caranyo kami, supayo…

Demikianlah dengan ras hormat yang lumayan berlebihan
Para pedagang nikotin dari negeri jauh tepi langit sana
Penyebar penyakit rokok dan pencabut nyawa anak bangsanya
Terlibat pengadilan dan tertimbun bukti
Di negeri sendiri telah di usiri dan di maki maki
Ke dunia ketiga mereka melarikan diri
Pabrik pabrik mereka di tutup di negeri sendiri
Lalu didirikan di di dunia ketiga, termasuk negeri kita ini
Di depan hidung kita penyakit dipindah kesini
Dan untuk mereka kita hamparkan merahnya permadani
Lalu bangsa kita ditipu dengan gemerlapnya advertensi
Inilah nasib bangsa yang miskin dan pemerintah yang lemah
Semua bertumpu pada pemasukan uang sebagai orientasi

***

~ 2005 ~

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara- perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu- na'im sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah...ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling
menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok
di kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil 'ek-'ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu- na'im sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
 duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning
dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
kemana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu'ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii'atun bi mukayyafi al hawwa'i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu 'alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas,
lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku' dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api
dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Amin Yaa Rabbalalamin

***

“Aku Melihat Mayat-mayat Bergoyang dari Saat ke Saat“
~ Juni 2003 ~

Aku melihat mayat-mayat bergoyang dari saat ke saat
Korban dari narkoba, HIV, AIDS yang laknat

Aku berdiri di tepi jalan raya kota besar yang lalu lintasnya padat
Dan aku melihat mayat-mayat
Aku berdiri di pinggiran kota kecil di mana pun tempat
Dan aku melihat mayat-mayat
Aku berdiri di pesisir ketika mbak berpacu dengan cepat
Dan aku melihat mayat-mayat

Setiap sepuluh meter ke kiri, setiap sepuluh meter ke kanan,
Setiap sepuluh meter ke depan, setiap sepuluh meter ke belakang,
di pusat belanja, di jalan raya, di rumah sakit, di rumah sehat
Aku bertemu mayat-mayat

Mayat-mayat itu belum masuk ke liang lahat
Mayat-mayat itu berdiri bergoyang-goyang dari saat ke saat

Kebanyakan muda-muda, belasan tahun dan dua puluh tahunan itu mayat
Mayat-mayat anak bangsa yang dicengkeram madat
Mayat-mayat yang berdiri bergoyang dari saat ke saat
Mereka masih hidup tapi sudah mayat dicengkeram madat

Heroin, kokain, sabu, ekstasi, mariyuana cair, serbuk dan padat
Yang disebar oleh bandar-bandar amat keparat
Yang dimodali oleh cukong-cukoang betapa laknat
Yang dibekingi orang-orang bersenjata dan berpangkat

Aku dikerubungi oleh anak-anak muda, yang sudah hampir mayat
Tapi masih bernafas satu-satu, sesaat-sesaat
Ada yang sakau, ada yang di tepi tebing sekarat

Aku pandangi satu-satu, mereka yang sakit berat
Mungkin ada anakkku, keponakanku, tetangga RT-ku,
atau saudara jauh yang dapat kuingat
Lihat mata mereka yang kosong, dari cahaya terhambar
Lihat tubuh kurus, tulang berliput jangat
Lihat mereka yang sakau, menggelepar dan menggeliat
Seperti adiksi alcohol, adiksi rokok, ketagihan ini luar biasa berat

Berkata seorang dari mereka,
"Oom, om,  mintakan maaf buat mama dan papa yang mengusir saya.
Bulan depan, kelihatannya, saya selamanya akan berangkat."

Seorang lagi begini mengucap,
"Pakde, kok saya jadi begini. Tahun depan Barangkali umur saya tamat."

Air mataku tak bisa kuhambat
Nafasku serasa tersumbat
Dari jurang kehancuuran, anak bangsa ini mari kita angkat
Inilah tugas luar biasa berat
Ini pun kini, kita sudah telat

Wahai orang-orang yang memegang senjata,
Berhentilah membekingi Bandar dan cukon yang jelas-jelas laknat
Wahai orang-orang berpangkat,
Berhentilah menerima suap, Berhentilah menampung sogok
Gunakan pangkat untuk membela anak-anak bangsa sebelum sangat terlambat
Wahai para bandar dan cukong, di dalam dan di manca negara,
Siap-siap kalian masuk kobaran api sebesar gunung diliang lahat,
Panas yang luar biasa gawat.

Dari jurang kehancuran anak-anak bangsa ini mari kita angkat,

Sungguh ini tugas luar biasa berat.

***

Demikianlah beberapa petuah dari H. Taufik Ismail yang sempat terekam olehku.
Semoga bermanfaat…


~ * Rienz *~

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Terimakasih telah berbagi makna inspirasi dan keindahan