Senin, 14 Februari 2011

DUHA DAN CAHAYA


Ceramah Dhuha minggu ke-3 tanggal  18 April 2010 di Masjid Agung Sunda Kelapa

DUHA  DAN  CAHAYA
Prof. Dr. H. M Quraish Shihab, M. A.


Pendahuluan
Pada Asmaul Husna ada sekian sifat yang kalau diperhatikan terjemahannya (boleh jadi) tidak menggambarkan apa yang sebenarnya yang dimaksud dari yang kita baca itu. Misalnya “Yaa Hayyu” diterjemahkan “Wahai Yang Maha Hidup”. Terjemahan itu benar tetapi kurang tepat. Kata “Hayy” itu kalau menyifatkan Allah berarti “Yang Maha Hidup Dan Memberi Hidup”. Hidup yang diberikan oleh Allah itu bertingkat-tingkat, tapi semuanya Dia beri hidup. Misalnya meja yang kita gunakan untuk menuntut ilmu. Kita seharusnya tidak mengatakan meja itu tidak hidup, karena meja itu di hari pembalasan nanti akan menjadi saksi bahwa kita pernah hadir di suatu majlis ilmu.

“Yaa Qayyuum” biasa diterjemahkan “Yang Maha Kekal-Abadi”. Terjemahan itu tidak salah tetapi mungkin terjemahan itu tidak menggambarkan (walaupun sekelumit) arti dari “Yaa Qayyuum”. Makna dari “Yaa Qayyuum” sebenarnya adalah mengurus secara tuntas apa yang berada dalam wilayah-Nya. Allah mengurus sesuatu di alam semesta ini mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar, mulai dari debu hingga matahari.

Makna Nuur Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Pada Asmaul Husna ada sifat Allah “Nuur (cahaya)” yang terkadang diterjemahkan menjadi “Yang Maha Bercahaya”. Terjemahannya memang betul tetapi bisa menimbulkan kesalah pahaman. “Nuur” bagi Allah itu adalah “Pemberi Cahaya”, jadi sulit untuk dipahami bahwa Allah itu Maha Bercahaya, karena sesungguhnya kita tidak tahu zat Allah.

Dalam Al-Qur’an disebutkan “Allaahu Nuurussamaawaati Wal Ardh” yang artinya “Allah pemberi Cahaya Langit dan Bumi”. Cahaya Allah ini bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada cahaya bathin dan cahaya lahir. Matahari memiliki cahaya, yaitu cahaya lahir. Cahaya matahari bermacam-macam, ada yang keras dan terik seperti cahaya matahari pada saat jam 12 siang. Ada pula cahaya matahari yang lembut dan remang-remang seperti cahaya matahari pada saat petang menjelang maghrib.

Wudhu dan ilmu itu juga cahaya, yaitu cahaya spiritual. Itulah sebabnya para ulama sering berkata “kalau sudah berwudhu jangan dikeringkan, biarlah dia bercahaya”. Kapankah cahaya matahari yang paling baik itu ada? Yaitu diwaktu dhuha, waktu matahari naik sepenggalah. Hangatnya tidak menyengat, tetapi cahayanya sangat jelas. Itulah sebabnya Allah bersumpah menyangkut kehadiran wahyu Al-Qur’an itu dengan “Wadh-Dhuhaa” (demi waktu Dhuhaa, atau demi waktu sepenggalah naik)”. Dan sebaliknya “Wallayli idzaa sajaa (dan demi malam apabila telah gulita)”. Maghrib itu sudah malam, tetapi masih ada cahaya matahari dalam bentuk lembayung semburat merah.

Allah menjadikan cahaya itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Tetapi ada satu hal yang perlu kita garis bawah bahwa cahaya itu tidak membeda-bedakan. Di manapun kita berada, siapapun diri kita jika di situ terpancar cahaya matahari, maka kita akan mendapatkan cahaya itu. Ketika itu kita tidak akan merasa kekurangan cahaya dan kehangatannya meskipun seseorang, beberapa orang atau mungkin jutaan orang berada disekeliling kita.

Sesuatu yang terlihat kusam atau mengkilap itu sesungguhnya bukan karena cahayanya, melainkan karena barang itu sendiri. Cahaya tidak bisa menembus jika ada penghalang, kecuali jika penghalang itu adalah kaca (transparant). Contohnya adalah rumah, jika rumah itu tertutup, maka cahaya tidak akan maksimal masuknya, tetapi jika kita membuka pintu dan jendela, pastinya cahaya akan menerobos masuk ke dalam rumah itu. Dengan demikian jika rumah itu diibaratkan dengan hati kita, maka jika kita ingin mendapatkan cahaya spiritual, maka bukalah hati kita, bukalah jendela pikiran kita karena hati yang tertutup tak akan mendapatkannya.

Ada suatu ayat dalam Al-Qur’an yang sangat indah. Saking indahnya ayat tersebut sampai-sampai para orientalis mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW menjiplaknya dari Perjanjian Baru. Ayat ada dalam surat An-Nuur ayat 35, yang bunyinya adalah:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ



Artinya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[*], yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)[**], yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS An-Nuur [24] : 35)

Ayat ini dibahas oleh banyak ulama. Pendapat dan penjelasannya berbeda-beda antara satu ulama dengan ulama lainnya. Selain karena keindahan ayatnya, perbedaan penjelasan itu juga dikarenakan Allah menutup ayat ini dengan menyatakan bahwa itu adalah suatu sifat, contoh, perumpamaan atau lambang yang Kami (Allah) berikan kepada manusia.

Mengenai lambang, misalnya dikatakan merah, maka artinya bisa bermacam-macam. Jika dikaitkan dengan traffic light, merah berarti stop. Jika dikaitkan dengan orang yang sedang marah, maka wajah orang itu dikatakan merah. Jika dikaitkan dengan rapor, maka merah berarti nilai yang buruk/rendah. Dan ayat ke-35 dalam surat An-Nuur ini adalah lambang, karena itu maknanya bermaca-macam.

Imam Ghazali memberi pendapat mengenai ayat ini. Allah adalah pemberi cahaya langit dan bumi. Bisa cahaya lahir, bisa cahaya bathin. Tetapi dalam hal ini yang dimaksud adalah cahaya bathin, tekanannya pada cahaya spiritual. Bagaimana perumpamaan cahaya petunjuk Allah itu? Dikatakan oleh Imam Al-Ghazali, Misykah itu adalah tembok, maka ia takkan tembus. Jika kita berlindung dalam sebuah bangunan bertembok maka kita akan terhindar dari angin atau gangguan lain.Kita semua sebagai manusia diberi oleh Allah tembok itu.

Di tembok yang tidak tembus ini ada pelita (cahaya). Jika pelita itu diselubungi oleh kaca sudah pasti cahayanya tidak akan padam meski angin menghembus dari berbagai arah. Kalau kacanya buram maka nyala api akan menjadi tidak terang. Seperti yang disebutkan pada ayat diatas bahwa kaca itu seperti bintang yang gemerlap lagi jernih. Para ulama mengatakan bahwa bintang menjadi contoh karena bintang itu gemerlap dan tidak pernah mengalami gerhana seperti matahari.

Pelita yang kacanya begitu bening akan terlihat buram cahayanya bila minyaknya kotor karena asapnya bisa menutupi kaca. Dinyatakan pada ayat tersebut bahwa pelita itu dinyalakan dari minyak suatu pohon yang dipenuhi berkah, yaitu minyak zaitun. Pohon zaitun itu bermacam-macam dan yang paling baik adalah yang tumbuh disuatu wilayah yang terus-menerus terkena sinar matahari jadi minyak yang dihasilkannya pun juga sangat baik. Minyak dari pohon zaitun itu sudah mengkilap meskipun sumbunya belum disulut api.

Ada orang yang tidak mempunyai cahaya (pelita), yang ia miliki hanya tembok saja. Ada pula orang yang mempunyai pelita saja tetapi pelita itu tak berkaca. Bagi orang mempunyai pelita berkaca, maka dia tidak mudah terombang-ambing. Dia mungkin bisa tergoda tetapi apinya tidak padam. Pelita ini ada yang menyala dengan begitu besar dan menerangi hidupnya terus-menerus dan tidak pernah gerhana. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa pelita tersebut adalah gambaran dari panca indera manusia.

Orang buta secara lahiriah memang tidak bisa melihat. Tetapi ada pula orang yang matanya normal namun tidak bisa melihat. Jika ada yang seperti ini maka orang itu juga disebut buta mata bathinnya. Orang seperti ini hanya sedikit memperoleh cahaya bathin.

Kaca itu adalah simbol dari akal. Ada orang yang cuma bisa melihat tetapi tidak menggunakan akalnya. Dengan demikian dia menjadi terombang-ambing. Seperti pelita yang tidak ditutupi dengan kaca maka cahayanya akan terpendar dan meredup karena hembusan angin. Tetapi jika pelita itu diselubungi kaca maka cahaya akan fokus. Begitu pula halnya dengan akal. Ada banyak informasi yang diterima oleh panca indera kita, jika informasi itu diteruskan ke akal maka kita akan menjadi fokus. Jadi orang yang menggunakan panca indera dan akalnya itu lebih baik dibandingkan dengan orang yang hanya  menggunakan panca inderanya saja.

Lalu apa artinya minyak zaitun? Itu adalah gambaran dari kesucian hati. Ada yang mempunyai akal tetapi hatinya tidak suci. “Syajarah Mubarakah” adalah ilham, instuisi atau wahyu. Jadi jika kita ingin mendapatkan cahaya spiritual, maka jangan hanya menggunakan panca indera saja tetapi harus pula dikombinasikan dengan akal dan hati.

Cahaya (sinar) itu ada yang bisa terlihat oleh mata ada pula yang tidak. Sama halnya dengan cahaya ilmu Allah juga ada yang bisa kita cerna tetapi ada pula yang tidak. Seperti tentang eksistensi Tuhan atau keberadaan surga yang tidak bisa kita ketahui jika tak ada yang memberitahu. Jadi tidak semua persoalan bisa dibawa ke laboratorium.

Cahaya juga bisa memantul dan bisa juga tidak. Jika hal itu terjadi maka bukan cahaya yang harus disalahkan tetapi kita harus mengoreksi diri sendiri.

Dhuha Adalah Cahaya
Itulah sebabnya pada Al –Qur’an surat An-Nur : 35 dinyatakan bahwa Allah memberikan petunjuk-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Sebenarnya ada dua penafsiran yaitu kepada siapa saja yang Dia dikehendaki atau siapa yang menghendaki. Kalau kita sebagai manusia tidak menghendakinya, maka Allah juga tidak memaksakan kita untuk menerima cahaya petunjuk-Nya. Jadi Allah akan memberikan petunjuk-Nya hanya jika kita menhendakinya. Sebanyak apa kita akan mendapatkan keberkahan dikala waktu dhuha hadir? Yaitu seluas terbukanya pintu hati kita, maka sebanyak itu pula cahaya yang kita peroleh. Cahaya itu juga akan bisa terus bertambah tergantung dari kelapangan hati kita. Hal tersebut dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Maryam ayat 76 :

 وَ يَزيدُ اللهُ الَّذينَ اهْتَدَوْا هُدىً وَ الْباقِياتُ الصَّالِحاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَواباً وَ خَيْرٌ مَرَدًّا

Artinya:Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk; dan amalan yang kekal lagi shalih, lebih baik pahalanya di sisi Tuhan engkau dan lebih baik pula kesudahannya. (Q.S Maryam [19]:76)
Di dalam shalat kita selalu membaca dan meminta: “Ihdinaash-shiraathal mustaqim” (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Rasulullah saja yang selalu mendapat hidayah, selalu membaca ayat ini. Allah Sang Maha Pemberi Cahaya tidak menetapkan batas dalam memberikannya. Allah selalu menembahkan cahaya-Nya kepada hamba-hambanya yang dikehendaki-Nya dan kepada hamba-hamba-Nya yang menghendakinya.
Dalam AlQur’an kalau Allah berbicara tentang cahaya dan kegelapan, selalu dengan kata “Nuur (cahaya)” yang bentuknya tunggal, sedangkan kata “kegelapan” itu bentuknya jamak. Selain itu yang selalu didahulukan adalah kegelapan kemudian barulah terang, apakah maknanya? misalnya: 
يَهۡدِى بِهِ ٱللَّهُ مَنِ ٱتَّبَعَ رِضۡوَٲنَهُ ۥ سُبُلَ ٱلسَّلَـٰمِ وَيُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِهِۦ وَيَهۡدِيهِمۡ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬ (١٦)

Artinya:Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Q.S Al-Maidah[5]:16)

Kalau kegelapan itu sumbernya banyak; ada kegelapan hati, kegelapan pikiran, kegelapan yang bersumber dari setan atau nafsu, dan sebagainya. Sedangkan cahaya itu sumbernya hanya satu, yaitu Allah SWT. Jadi “Ya Nuur” artinya bukan Yang Maha Bercahaya melainkan “Yang Maha Memberi Cahaya”. Allah berfirman:

أَوۡ كَظُلُمَـٰتٍ۬ فِى بَحۡرٍ۬ لُّجِّىٍّ۬ يَغۡشَٮٰهُ مَوۡجٌ۬ مِّن فَوۡقِهِۦ مَوۡجٌ۬ مِّن فَوۡقِهِۦ سَحَابٌ۬‌ۚ ظُلُمَـٰتُۢ بَعۡضُہَا فَوۡقَ بَعۡضٍ إِذَآ أَخۡرَجَ يَدَهُ ۥ لَمۡ يَكَدۡ يَرَٮٰهَا‌ۗ وَمَن لَّمۡ يَجۡعَلِ ٱللَّهُ لَهُ ۥ نُورً۬ا فَمَا لَهُ ۥ مِن نُّورٍ (٤٠)


Artinya: Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun. (QS An-Annur[24]:40)

Ruangan yang tertutup tentunya sangat gelap. Lalu jika kita nyalakan lilin akan menjadi terang dibandingkan keadaan sebelumnya. Jika ditambahkan lampu 100watt tentunya ruangan itu semakin terang. Jika ditambahkan lagi lampunya tentu akan semakin benderang dan begitulah seterusnya. Dari perumpamaan itu dapat disimpulkan bahwa bagaimanapun keadaan kita, sebenarnya kita bisa lebih terang. Karena itulah kita meminta kepada Allah agar menambahkan cahaya lagi kepada kita secara terus menerus. Bukan hanya untuk panca indera kita tetapi yang paling penting adalah untuk hati kita. Karena dihari kemudian orang orang beriman digambarkan:


يَوۡمَ تَرَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَـٰتِ يَسۡعَىٰ نُورُهُم بَيۡنَ أَيۡدِيہِمۡ وَبِأَيۡمَـٰنِهِم بُشۡرَٮٰكُمُ ٱلۡيَوۡمَ جَنَّـٰتٌ۬ تَجۡرِى مِن تَحۡتِہَا ٱلۡأَنۡہَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيہَا‌ۚ ذَٲلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ (١٢)

Artinya: (yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mu'min laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada meraka): "Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar". (Q.S Al-Hadiid[57]:12)

Sedangkan orang-orang kafir dihari kemudian berucap kepada orang-orang mukmin:

يَوۡمَ يَقُولُ ٱلۡمُنَـٰفِقُونَ وَٱلۡمُنَـٰفِقَـٰتُ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱنظُرُونَا نَقۡتَبِسۡ مِن نُّورِكُمۡ قِيلَ ٱرۡجِعُواْ وَرَآءَكُمۡ فَٱلۡتَمِسُواْ نُورً۬ا فَضُرِبَ بَيۡنَہُم بِسُورٍ۬ لَّهُ ۥ بَابُۢ بَاطِنُهُ ۥ فِيهِ ٱلرَّحۡمَةُ وَظَـٰهِرُهُ ۥ مِن قِبَلِهِ ٱلۡعَذَابُ (١٣)٣

Dihari kemudian manusia akan berjalan dari padang mahsyar menuju tempat perhitungan kemudian dari tempat perhitungan kita akan melangkah menuju syurga. Antara tempat perhitungan dan syurga ada jembatan yang dibawahnya menganga neraka. Setelah perhitungan selesai, orang-orang beriman akan dituntun oleh cahayanya menuju syurga, ada yang cepat ada yang lambat tergantung cahaya yang dimilikinya.

Orang yang tidak meraih cahaya berarti dia dalam kegelapan. Kata mereka “Unzhuruunaa Naqtabis Min Nuurikum”. Penafsirannya ada dua. Pertama berarti “Tunggu kami, janganlah melangkah cepat-cepat tunggu kami biar cahaya yang kamu punya itu bisa kami ikuti”.  Yang kedua  berarti “Pandangi kami, biar cahaya yang ada di wajahmu itu bisa menyinari (menerangi) kami”. Jadi bagi orang-orang beriman pada saat itu wajah mereka yang bercahaya seakan-akan menjadi senter yang bisa menerangi.

Secara umum cahaya adalah kebutuhan manusia. Ada lukisan di dalam Al-Qur’an tentang orang-orang munafik: 

مَثَلُهُمۡ كَمَثَلِ ٱلَّذِى ٱسۡتَوۡقَدَ نَارً۬ا فَلَمَّآ أَضَآءَتۡ مَا حَوۡلَهُ ۥ ذَهَبَ ٱللَّهُ بِنُورِهِمۡ وَتَرَكَهُمۡ فِى ظُلُمَـٰتٍ۬ لَّا يُبۡصِرُونَ (١٧)

Artinya:. Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api [*], maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan,tidak dapat melihat  dapat melihat.(Q.S Al-Baqarah[2]:17)
[*] Orang-orang munafik itu tidak dapat mengambil manfaat dari petunjuk-petunjuk yang datang dari Allah, karena sifat-sifat kemunafikkan yang bersemi dalam dada mereka. Keadaan mereka digambarkan Allah seperti dalam ayat tersebut di atas.

Allah Maha Pemberi Cahaya. Cahaya ini ada terkadang sebelum subuh atau sebelum fajar. Oleh para ulama disebut “Al-Fadjru Kadzib (Fajar yang bohong)” karena sebenarnya saat itu belum datang fajar. Jadi sebaiknya kita harus lebih menyimak.

Jika matahari telah terbit, maka kita tak membutuhkan lagi lampu betapapun terangnya lampu itu. Berarti jika sudah ada tuntunan Allah dan Rasulnya, apakah kita masih perlu tuntunan yang lain? Jika sudah jelas Al-Qur’an mengatakan tentang sesuatu hal, pun begitu pula hadis yang shahih, perlukah kita mencari pendapat lain yang bertentangan dengan itu? 

Jika kita bingung, maka nyalakanlah lampu. Tetapi hendaknya lampu yang kita nyalakan itu sinarnya sangat jerih dan terang yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Itulah sebabnya ada ulama yang menafsirkan ayat tersebut sebenarnya berbicara tentang tintinan Al-Qur’an. “Misykah” itu menggambarkan kemantapan Al-Qur’an. Al-Qur’an itu tidak pernah dan tidak akan pernah berubah-ubah. Yang berubah-ubah atau berbeda-beda itu adalah penafsirannya.

Rasulullah Adalah Cahaya
Rasulullah SAW itu adalah cahaya, yaitu cahaya spiritual. Ulama Tasawuf bahkan mengatakan bahwa yang pertama diciptakan oleh Allah SWT adalah “Nur Muhammad”. Semua cahaya spiritual yang kita temukan itu bersumber dari Rasulullah. Al-Qur’an mengatakan bahwa kita tidak harus datang kepada cahaya itu, karena sesungguhnya cahaya itu yang mendatangi kita.

لَقَدۡ جَآءَڪُمۡ رَسُولٌ۬ مِّنۡ أَنفُسِڪُمۡ عَزِيزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيصٌ عَلَيۡڪُم بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَءُوفٌ۬ رَّحِيمٌ۬ (١٢٨)


Artinya:. Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (Q.S. At-Taubah [9]:128)


Kita tidak perlu pergi mencari matahari karena matahari itulah yang mendatangi kita. Dari diri kita dia tahu kita, mengenal detang jantung kita, mengetahui kemaslahatan kita juga penderitaan kita. Itulah “Cahaya (Rasulullah)”.

Allah pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Ulama Tasawuf mengatakan bahwa cahaya itu pertama-tama diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dan dari sana cahaya itu kemudian terpencar kemana-mana. Berarti cahaya itu mendatangi kita. Alangkah celakanya orang yang dalam kegelapan terus memadamkan cahaya. Karena kita hanya dituntut untuk mempersiapkan diri kita, membuka pintu hati kita seluas-luasnya kemudian melangkah dan nati cahaya itu akan masuk dengan sendirinya. Sebanyak atau seluas pintu hati kita yang dibuka, maka sebanyak itulah cahaya yang akan masuk.

Demikianlah, semoga menjadi hikmah bagi kita bersama…
Amien…

Rienz
( dalam rangka mengumpulkan file yang tercecer )

0 komentar: