Penulis : A. Fuadi
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Kedua. Januari 2011
Tebal : xiii + 473 Halaman
Bersabar dan ikhlaslah dalam setiap langkah perbuatan Terus-meneruslah berbuat baik, ketika di kampung dan di rantau Jauhilah perbuatan buruk dan ketahuilah pelakunya pasti diganjar, di perut bumi dan di atas bumi Bersabarlah menyongsong musibah yang terjadi dalam waktu yang mengalir Sungguh di dalam sabar ada pintu sukses dan impian kan tercapai Jangan cari kemuliaan di kampung kelahiranmu Sungguh kemuliaan itu ada dalam perantauan di usia muda Singsingkan lengan baju dan bersungguh-sungguhlah mencapai impian Karena kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan Jangan bersilat kata dengan orang yang tak mengerti apa yang kau katakana Karena debat kusir adalah pangkal keburukan
*** Syair Sayyid Ahmad Hasyimi Dikutip dari novel ranah 3 warna |
Minggu 23 Januari sepulang dari ISQ aku dan Maria temanku langsung meluncur ke Toko Buku Gramedia Matraman. Mengapa ? Karena sore hari itu akan ada launching buku kedua dari trilogi “Negeri 5 Menara” yang berjudul “Ranah 3 Warna”.
“Wuihhh… rame banget…” itu komentarku ketika baru saja sampai di Gramedia karena semua bangku sudah terisi penuh, belum lagi mereka yang duduk-duduk di pinggir dan tangga keluar Toko Buku itu menunggu acara launching novel ini dimulai.
Kira-kira jam 15.00 PM acara Launching pun dimulai. Diawali dengan Basmallah dan disambung dengan kata-kata sambutan dari berbagai pihak yang berkepentingan hingga sesi sharing dan tanya jawab, semua berlangsung “khidmat dan seru”. Ditambah lagi dengan penampilan dari The Platinum Band yang menyuguhkan dua buah lagu sehingga suasana tambah ramai (kabarnya Bang Fuadi jadi model video clipnya band ini loh karena lagunya sesuai dengan sosoknya Bang Fuadi). Dan terakhir adalah acara yang paling ditunggu-tunggu “Signing Books” Bang A. Fuadi. Setelah berdesak-desakan dalam antrian yang lumayan teratur tibalah giliranku… TO : ATIK ARINI …
Sayangnya aku tidak bawa kamera karena tas beserta propertiku dibawa oleh Maria yang tidak ikut mengantri.
Selanjutnya aku langsung “Ciao” supaya bisa berduaan dengan Ranah 3 Warna.
( Hmmm… sore yang “Seru Banget” di Gramedia-Matraman).
Setamat dari Pondok Madani Alif Fikri kembali ke kampung halamannya di Maninjau untuk mengikuti ujian persamaan SMA karena Pondok Madani tidak memberikan “Ijazah atau STTB” kepada para lulusannya. Alif bahagia sekali bisa berkumpul lagi dengan Ayah, Amak dan adik-adiknya. Ia juga senang sekali bisa berbagi cerita dengan teman-temannya, apalagi dengan sahabatnya Randai. Randai kebetulan juga sedang menghabiskan liburan kuliahnya bersama keluarganya. Liburan kali ini Alif tidak bisa berleha-leha karena dia harus mempersiapkan diri untuk menhadapi ujian persamaan SMU dan UMPTN. Dengan tertatih-tatih Alif berusaha mensejajarkan ilmu pengetahuannya sesuai dengan staandar lulusan SMU. Dengan mantara “Man Jadda Wajada”, Alif melipat gandakan usahanya. Berkat do’a dari Ayah dan Amaknya juga dirinya sendiri akhirnya Alif berhasil mendapatkan STTB meski nilainya sedikit diatas standart kelulusan… 6.5.
(tapi menurutku ini hebat loh… hanya dalam waktu beberapa bulan saja mempelajari ilmu-ilmu yang didapat di SMU bisa dapat angka 6.5, bagaimana kalau dia mempelajarinya selama 3 tahun???...)
Selanjutnya Alif harus menghadapi ujian yang kedua di ajang UMPTN. Alif harus berusaha keras mengalahkan pesaing-pesaing dari berbagai penjuru negeri untuk dapat masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Karena nilai-nilai Alif hanya memenuhi syarat untuk bidang pelajaran sosial, dengan terpaksa ia mengubur impiannya untuk bisa kuliah di ITB. Alif kemudian mengambil kuliah jurusan Hubungan Internasional di Universitas Padjajaran, Bandung sesuai dengan minatnya di bidang bahasa. Masih dengan “Man Jada Wajadaa” Alif berusaha keras untuk bisa lulus UMPTN. Ternyata belajar terus menerus tanpa jeda membuat otak Alif jenuh alias kusut alias “blunder”. Karenanya Alif merasa semua pelajaran itu susah menempel di otaknya. Beruntung sekali disaat yang sangat genting itu Ayah Alif beraksi untuk menyelamatkan anaknya. Kebetulan sekali waktu itu ( kira-kira tahun 1992) sedang berlangsung pertandingan Piala Eropa. Seperti laki-laki pada umumnya, Alif juga menggemari olah raga sepak bola. Alif menjagokan salah satu tim sepak bola yang dianggap “underdog” alias kecil sekali kans-nya untuk menang, yaitu tim “Dinamit” Denmark. Tetapi ternyata tim “underdog” itu ternyata mampu membalikkan anggapan orang dengan menumbangkan tim “Panser” Jerman yang sangat dunggulkan. Belajar dari tim “Dinamit” Denmark akhirnya Alif bisa menumbuhkan kembali semangat dan motivasinya yang kendor juga menajamkan kembali pikirannya agar tetap fokus supaya bisa lulus UMPTN. Man Jadda Wajada… sekali lagi Alif melipat gandakan usahanya
Alif Fikri dengan No. Ujian 01579 dinyatakan lulus UMPTN dan diterima di Universitas Padjajaran-Bandung, jurusan Hubungan International.
Beruntung sekali Alif punya ayah yang sangat bijak, meskipun irit bicara tapi punya cara tersendiri untuk menunjukkan rasa kasih dan cintanya pada anak laki-laki semata wayangnya.
Berbekal restu dari Ayah, Amak juga do’a kedua adiknya Laili dan Safya, Alif berangkat seorang diri menjemput masa depannya di Bandung. Ayah Alif tidak jadi mengantar karena kesehatannya terus merosot. Sebelum Alif berangkat ke Bandung ayahnya menghadiahkan sepasang sepatu dan kaos kaki kepada anak laki-laki satu-satunya itu. (Sepertinya sepatu itu sebagai pertanda pergantian tongkat kepemimpinan keluarga). Jadi dengan sepatu itu ayahnya tetap mengiringi Alif kemanapun dia pergi.
Karena Alif bukan dari keluarga yang berkelebihan maka ia harus memutar otak supaya hidupnya dan kuliahnya di perantauan bisa tetap survive. Tetapi Allah memang Maha Adil, dia menghadirkan Randai sahabatnya sejak kecil yang selalu berlebih untuk mendampingi Alif. Jadi di awal-awal kuliah Alif berbagi kamar kost dengan Randai di daerah Dago. Jika di Negeri 5 Menara ada Sarah, maka di sekuel kedua hadirlah Raisa. Raisa adalah gadis multi talenta yang banyak menarik perhatian pria. Dan yang lebih menyenangkan Alif ternyata gadis itu adalah tetangga kost mereka. Jauh dari keluarga dengan isi kantong yang tipis tidak membuatnya sedih karena kini Alif punya keluarga baru yaitu: Randai dan anggota Geng UNO yang terdiri dari Wira, Agam dan Memet. Pokoknya senang dan susah mereka selalu bersama.
Karena otak Alif tergolong encer maka ia tidak banyak mengalami kesulitan dalam mempelajari sejumlah mata kuliah. Di kampus Alif juga tergolong mahasiswa yang aktif dan minatnya pada bidang jurnalistik juga sangat besar. Bahkan waktu masa orientasi mahasiswa dia mendapat kesempatan yang membanggakan dengan Menlu Mochtar Kusumaatmaja. Untuk menyalurkan minatnya itu Alif mendaftar untuk menjadi bagian dari Majalah Kutub. Dari sinilah Alif berkenalan dengan sosok Togar Parangin-angin, gurunya yang sangat tegas dan.keras. Meski di awal-awal pelajaran mereka Alif merasa kesulitan dengan instruksi dan metode belajar yang diberikan oleh Bang Togar tetapi akhirnya Alif bisa menikmati manis buahnya. Artikel Alif dimuat di majalah Kutub, padahal waktu itu ia masih mahasiswa tahun pertama. Jadi itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan, bukan hanya untuk Alif tapi juga untuk Ayah, Amak dan adik-adiknya.
Suatu hari Alif mendapat telegram dari Amaknya yang mengabarkan bahwa Ayahnya sakit keras. Dengan bantuan teman-temannya Alif bisa menjenguk bapaknya. Meski kesehatan Ayah Alif sempat membaik tetapi Allah ternyata sangat mencintainya. Alif sangat shock dan gamang dengan kepergian Ayahnya itu. Ia ingin membantu Amaknya tetapi dia juga dituntut harus menjalankan amanah Alm. Ayahnya yang juga cita-cita Amaknya untuk meneruskan pendidikan dan menjaga keluarganya. Berbagai pertanyaan menghujani Alif, apa yang harus dilakukan? Mampukah ia?
Setelah tujuh hari kematian ayahnya, dengan terpaksa Alif harus melanjutkan perjuangannya di Bandung. Kepergian Ayahnya benar-benar membuat ekonomi keluarganya timpang karena sekarang hanya Amaknya saja yang mencari nafkah. Alif tidak tega membebani amaknya dan dia bertekad mencari penghasilan supaya bisa tetap survive dan menuntaskan semua yang telah dia mulai.
Awalnya Alif bekerja apa saja mulai dari penjaja keliling barang-barang kebutuhan wanita, kain-kain bordiran juga songket khas Sumatra Barat hingga memberi les privat. Tetapi hasilnya belum memadai untuk menopang hidupnya. Alif benar-benar stress dan ia terus berusaha dan bekerja sampai-sampai ia tak punya waktu bersantai dengan teman-temannya. Hingga akhirnya Allah menunjukkan jalan atas semua ikhtiarnya. Alif dirampok sepulang berdagang, untungnya si perampok tidak tertarik dengan sepatu “bertuah” milik Alif. Kejadian itu membuat pertahanan Alif roboh. Dokter menyatakan bahwa Alif terserang Typus karena kelelahan dan gizi yang kurang baik. Dalam keadaan seperti itu kawan-kawan Alif banyak membantu terutama dalam hal keuangan. Alif terpaksa harus istirahat total untuk memulihkan kesehatannya.
Sebenarnya Alif tidak bisa beristirahat total karena otaknya selalu berputar untuk menemukan cara bagaimana cara memecahkan semua masalahnya. Ia ingin bisa meneruskan pendidikannya sekaligus membantu Amaknya di kampung. Melalui perenungan akhirnya Allah menyingkap tabir yang selama ini menutupi mata hati Alif. Ia mendapatkan penemuan bahwa mantra Man Jada Wajadda saja ternyata tidaklah cukup. Alif teringat pelajaran di Pondok Madani bahwa selain usaha diperlukan juga kesabaran dan keikhlasan.
“… Ternyata ada jarak antara usaha keras dan hasil yang diinginkan. Jarak itu bisa sejengkal, tapi jarak itu bias seperti ribuan juga ribuan kilometer. Jarak antara usaha dan hasil harus diisi dengan sebuah keteguhan hati. Dengan sebuah kesabaran. Dengan sebongkah keikhlasan.” (Hal. 135)
Selama ini Alif telah melebihkan usaha. Man jadda Wajada dan sekarang ia melebihkan juga kesabarannnya. Man Shabara Zhafira. Hingga Alif pun akhirnya belajar untuk mengembangkan Keikhlasan.
Pelan-pelan Alif menata hidupnya lagi. Ia mulai lagi mengejar pelajaran kuliahnya yang tertinggal. Ia mulai mencari peluang usaha sesuai dengan minat dan bakatnya. Ia mendatangi lagi Bang Togar Parangin-angin untuk menjadi pembimbingnya. Meski belajar dengan Bang Togar tidaklah mudah tetapi Alif dengan tekad membara menjalaninya dengan ikhlas dan sabar karena dia yakin Bang Togar tidak akan membimbingnya ke jalan yang tidak benar. Hasilnya adalah artikel Alif pun dimuat di Harian Lokal Manggala padahal waktu itu ia masih mahasiswa tahun kedua. Prestasi itu kemudian menjadi pemicu bagi Alif untuk menghasilkan karya-karya terbaik lainnya. Alif bertekad untuk bias menghidupi dirinya dan keluarganya dari menulis. Untuk itu ia punya target untuk menulis setidak-tidaknya delapan artikel dalam sebulan. Meski atikelnya terkadang tidak dipublikasikan tetapi hal itu tidak membuat Alif patah semangat. Ia terus melakukan riset dan study pustaka untuk menghasilkan artikel yang bermutu. Perjuangannya tidak sia-sia karena sekarang ada dua media lokal yang memintanya untuk mengisi kolom mingguan.
Ada saat berkumpul, ada pula saat berpisah. Seperti itulah persahabatan Alif dengan Randai. Persahabatan yang selama ini baik-baik saja tiba-tiba menghadapi keretakan. Hanya karena masalah yang semestinya bisa mereka pecahkan membuat Alif harus hengkang dari tempat kost Randai. Keduanya kemudian berpisah dan bibit-bibit persaingan itu semakin nyata bentuknya.
Selama ini Alif selalu berangan-angan untuk bisa kuliah di Amerika. Meskipun keadan Alif sedang sangat terbatas tetapi hal itu tidaklah memupuskan cita-citanya ini. Suatu saat ia mendapatkan informasi dari seniornya tentang program pertukaran pemuda Indonesia – Kanada. Alif kemudian mendaftar program itu. Ia mempersiapkan diri semaksimal mungkin agar lulus dan menjadi bagian dari delegasi yang mewakili Indonesia di Kanada. Tak disangka-sangka Raisa dan Randai juga ambil bagian. (Loh…?? Randai dan Raisa??). Lewat seleksi yang sangat ketat akhirnya Alif lulus. Setelah menjalani seleksi dan pelatihan akhirnya Alif dan keenam temannya yang terpilih, berhak untuk mewakili Indonesia di Quebec - Kanada. Mereka adalah ; Raisa, Rusdi, Dina, Topo, Sandi, dan Ketut. Kali ini Randai hanya menjadi cadangan pertama. Rusdi yang dijuluki “Ksatria Berpantun” ini kemudian menjadi sahabat dekat Alif.
Pada hari yang ditentukan delegasi pemuda dari Indonesia berangkat ke Quebec – Kanada. Tetapi sebelumnya mereka transit dahulu di Jordania. Ketika di Jordania ini Alif bertemu kembali dengan dua orang sohibul menara yaitu; Kurdi dan Tyson. Walau hanya transit mereka sempat bertukar cerita, menyambung silaturahmi yang terputus. Karena Rusdi tertimpa masalah mereka harus transit lebih lama di Jordania. Sambil menunggu kesembuhan Rusdi para delegasi yang lain memanfaatkan waktu yang ada untuk berwisata ke tempat-tempat bersejarah di Jordania. Setelah Rusdi sembuh mereka melanjutkan perjalan ke Quebec - Kanada.
Setiba disana telah menunggu delegasi dari Kanada sebagai teman pendamping, dan teman pendamping Alif bernama Francois Pepin. Mereka berdua kemudian menjadi anak angkat Ferdinand dan Medeline Lepine. Mereka juga mendapat kerja di tempat yang sama yaitu di sebuah stasiun TV Lokal SRTV. Awalnya Alif kesulitan dalam berkomunikasi karena umumnya penduduk Quebec berbahasa Perancis. Tetapi dengan bantuan Franc, Ferdinand dan Medeline akhirnya Alif berhasil menjadi bagian dari penduduk Quebec.
Bagaimana kisah Alif di Quebec ?
Prestasi apa saja yang diraih para delegasi muda Indonesia itu di Quebec ?
Bagaimana hubungan Alif dan Raisa ?
Bagaimana akhir buku ini ?
Jadi Ranah 3 Warna itu maksudnya apa ?
Silahkan teman-teman cari tahu...
Kalau belum punya bukunya … ya … pinjem aza… tapi harus sabar…
Catatan :
- Aku suka novel kedua ini karena banyak kata-kata dan kalimat kerbahasa Perancis.
- Aku sebenarnya penasaran dengan sosok Togar Parangin-angin ? Bagaimana kiprah Bang Togar sekarang ini ?
- Bagaiman kabar kawan – kawan Alif geng UNO?
- Bagaimana kabarnya Franchois Pepin ? Masihkah Alif berkawan dengannya hingga saat ini?
Ah… tapi inikan cerita Alif… entah berapa seberapa tebal jadinya buku ini jika harus bercerita tentang mereka semua…
Hmm…
Hot Quotes dari novel ini adalah:
Orang berilmu dan beradab tidak akandiam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapat pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
(Hal. 42)
***
Man Jadda Wajada: Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses
Man Shabara Zhafira: Siapa yang bersabar akan beruntung
Man Sara ala Darbi Washala: Siapa yang berjalan di jalan-Nya akan sampai ke tujuan
( Hal. 132)
***
Kombinasi Man Jadda Wajada dan Man Shabara Zhafira adalah kesuksesan
***
~* Rienz *~
0 komentar:
Posting Komentar