Senin, 23 Juli 2012
9 Summers 10 Autumns ~ Dari Kota Apel Ke The Big Apple
9 Summers 10 Autumns
Dari Kota Apel ke The Big Apple
Iwan Setyawan
PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan kedelapan, February 2012
221 Halaman
"I can imagine if there's
nothing in my pocket,
But I can not imagine if there's no
knowledge in my mind and religion in my heart.
They are my other sun in my
life"
(hal. 147)
Aku mengalami “de
javu” dengan “beautiful
expression” di atas. Anganku mengembara saat masih duduk di bangku
SLTP. Jika tidak salah ingat, sehabis dibagikan hasil ulangan matematika, Pak
Nugroho (guru matematika dan guru tata graha) juga pernah mengucapkan kalimat
tersebut. Bedanya adalah beliau tidak mengatakannya dalam bahasa Inggris. Memang tidak
sama persis seperti yang dikatakan Iwan Setyawan, tetapi intinya tetap sama.
Aku dapat buku ini tiga bulan lalu dari adik
iparku, Rita dan baru sempat membacanya pertengahan bulan Juli ini. Awalnya aku
kira 9 Summers 10 Autumns (9S10A) adalah cerita fiksi-roman, karena itulah aku
selalu menunda untuk membacanya. Ternyata penilaianku terbalik karena buku ini
bercerita tentang sejarah keluarga sederhana yang indah, lucu juga mengharukan.
Aku senang membaca buku ini karena ceritanya dituturkan dengan bahasa yang mudah
dicerna meski alurnya agak melompat-lompat.
Alur cerita dimulai dari Westchester Avenue lalu berpindah ke daerah dibawah kaki
gunung Pandemaran, Batu – Malang. Setelah itu balik lagi ke New York kemudian
melompat lagi ke Bogor dilanjutkan ke jakarta dan terakhir ke Big Apple lagi.
Ajaib memang jika hal itu bisa terjadi pada orang-orang yang hidupnya bermodal
tekad kuat dan mimpi saja tanpa kekuatan ekonomi seperti yang dijalani oleh si
penulis. Aku rasa hebat sekali orang tua Iwan Setyawan yang membesarkan dan
mendidik anak-anak mereka ditengah keterbatasan dan kesederhanaan tetapi pada
akhirnya mampu menjadikan anak-anak mereka berprestasi.
Pada awalnya aku agak bingung dengan sosok bocah
kecil yang selalu hadir disetiap kenangan si penulis. Akan tetapi akhirnya aku
menyadari bahwa sosok bocah laki-laki itu adalah kenangan indah si penulis
sendiri yang melompat untuk memandu cerita ini. Iwan Setyawan adalah anak
ketiga dari lima bersaudara dan satu-satunya anak lelaki pasangan Bapak Abdul
Hasim dan Ibu Ngatinah. Bapak Abdul Hasim berprofesi sebagai sopir angkot dan
isterinya seorang ibu rumah tangga biasa. Mereka hidup bersahaja dengan kelima
anak mereka di rumah mungil berukuran 7x6 meter di kaki gunung Pandemaran.
Kronik kehidupan dari keluarga Iwan Setyawan sangatlah menarik karena dengan
kekuatan cinta yang terpancang kokoh dihati serta perjuangan tanpa kenal lelah
dan putus asa pada akhirnya mampu membuahkan masa depan yang manis bagi mereka
sekeluarga.
Dari awal lembaran buku ini hingga akhir adalah
ungkapan rasa terima kasih yang tak terhingga dari Iwan Setyawan kepada Tuhan,
kepada kedua orang tuanya, kepada kakek neneknya, kepada keempat saudara
perempuannya, kepada Pak Lik-nya, kepada teman-teman dan sahabatnya juga kepada
kolega serta relasinya. Jujur saja membaca buku ini aku menjadi iri dengan apa
yang dimiliki oleh Iwan Setyawan. Padahal
cita-cita awal kita sama, yaitu “ingin
punya kamar sendiri” sebagai labuhan penat dan tempat untuk
mengekspresikan diri. Tapi sudahlah, aku tak ingin membandinglan lebih lanjut
karena aku tak ingin menjadi orang yang tak pandai bersyukur dengan apa yang
Tuhan beri dan dengan apa yang Tuhan gariskan. Oh ya, tapi ada lagi cerita yang
sama, yaitu cara ibu kita mengusir tamu yang berlama-lama diruang tamu kita
yang sempit. Mungkin karena sama-sama dari jawa maka sugesti dari cobek dan
ulekan hampir selalu jadi pilihan. Kadang aku berpikir kalau kebiasaan ini
termasuk syirik tetapi hal ini sepertinya hampir menjadi keyakinan yang lumrah
dilakukan oleh sebagian masyarakat jawa dan parahnya lagi, umumnya dengan cara
itu apa yang dimaksud berhasil.
Aku senang mengikuti perjalanan hidup Iwan Setyawan
dan seluruh anggota keluarganya karena ada banyak hikmah yang bisa diteladani dari
perjuangan itu hingga bisa “sehebat”
seperti sekarang ini. Melalui kenangannya yang mendalam terhadap kampung halamannya,
Iwan berbagi kerinduannya kepada para penikmat tulisannya. Iwan juga bercerita
tentang kemegahan, keharmonisan dan kecanggihan kota New York, tetapi hal itu
tak dapat mengalihkan dirinya akan pesona negerinya sendiri. Mungkin seperti
ini rasanya hidup diperantauan, jauh dari kampung halaman dan orang tua, sanak saudara juga teman-teman. Sebenarnya
aku agak sulit merasakan kerinduan dan sepinya seorang Iwan karena aku belum
punya pengalaman merantau. Tetapi aku bisa menangkap ada aura sunyi sekaligus
pemberontakan yang tersimpan rapi dari sosok Iwan Setyawan. Jika aku boleh menilai, ini tercermin dari
puisi-puisi yang menemani si penulis di buku ini, yaitu Fyodor Dostoevsky, Paul
Verlain dan Chairil Anwar. Aku belum pernah membaca Paul Verlaine, tetapi
karyanya yang ada di buku itu jauh dari rasa gembira. Aku juga tak terlalu
memperhatikan Fyodor Dostoevsky karena aku lebih sering mengamati Loe Tolstoy.
Tapi aku rasa keduanya hampir mirip karena kedua sastrawan dunia itu sangat
sensitif membahasakan kejadian sosial ditengah masyarakat kedalam bentuk puisi
ataupun cerpen. Kalau Chairil Anwar, semoga aku rasa bisa mengenalinya dari
satu-satunya buku kumpulan puisi karya beliau yang pernah aku baca.
Aku rasa memang pantas jika buku ini mendapat
penghargaan dari IKAPI DKI Jakarta pada tahun 2011 karena cerita yang
dihadirkan punya “passion”
yang kuat. Selain itu buku ini juga punya nilai-nilai edukasi moral dan
spiritual yang berguna untuk menumbuhkan motivasi bagi pembacanya. Yang
menakjubkan lagi, pada bagian akhir buku ini banyak orang-orang terkenal yang
memberikan “sepatah-dua patah kalimat” sebagai apresiasi. Jadi memang buku ini
bagus dan layak sekali sebagai bahan bacaan.
"You must know that there’s
nothing higher, or nothing stronger,
or sounder, or more useful afterwards
in life, than some good memory,
especially a memory from childhood,
from the parental home.
You hear a lot said about your
education, yet some such a beautiful,
sacred memory, preserved from
childhood ,
is perhaps the best education.
If a man stores up many such memories
to take into life,
than he is saved for his whole life.
And even if only one good memory
remains with us in our hearts,
that alone may serve someday for our
salvation"
(Dostoevsky – The Brothers Karamazov)
~* Rienz *~
Diposting oleh
atik
di
10:56:00 AM
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Cerita Buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)



0 komentar:
Posting Komentar