Senin, 23 Juli 2012

Sosok-sosok Tegar di Balik Ketangguhan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam




Sosok-sosok Tegar di Balik Ketangguhan
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam

Ketangguhan rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dalam mengakhiri zaman jahiliyah dan da’wah Islam tidak bisa dilepaskan dari dukungan 13 wanita terpilih dan mulia yan telah ditetapkan Allah Ta’ala sebagai pendamping Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.

Bila melihat perjalanan da’wah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, kita akan merasakan Allah Ta’ala telah menyiapkan jalur yang begitu sempurna bagi Nabi Muhammad dalam menyelesaikan tugasnya. Jalan yang telah ditetapkan Allah ini menyimpan hikmah besar yang pada akhirnya mengantarkan Rasulullah pada keberhasilan.

Salah satu jalan yang ditetapkan Allah adalah pertemuan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dengan wanita-wanita mulia yang kemudian menjadi istri-istrinya. Seluruh istri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ini kemudian disebut sebagai “Ummul Mu’minin atau Ibu-ibu Kaum Mu’min”.

Khadijah Binti Khuwalid
Khadijah adalah istri pertama Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang dinikahi ketika Beliau berusia 40 tahun. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam saat itu berusia 25 tahun. Khadijah berasal dari keturunan bangsawan yang dkenal sebagai pebisnis ulung yang kaya raya. Sebelum menikah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, Beliau telah dua kali menikah. Selama dengan Khadijah,  Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dikaruniai dua orang putera dan empat orang puteri. Tetapi kedua putera Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam meninggal ketika masih sangat belia.

Dalam banyak riwayat, dikisahkan bahwa Khadijah adalah isteri Nabi Muhammad yang paling istimewa dan bersamanya, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menjalani pernikahan monogami selama 24 tahun atau hingga Khadijah wafat diusia 65 tahun. Selama masa pernikahannya, Kahdijah telah membuktikan diri sebagai istri yang setia dan selalu memberikan dukungan moril maupun materiil bagi perjalanan da’wah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.

Kesabaran dan kekayaan Khadijah menjadi bekal bagi Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam untuk menyebarkan tauhid yang pertama kali di Makkah. Dalam buku “Bilik-bilik Cinta Muhammad” karangan Dr. Nizah Abazhah, disebutkan Khadijah selalu menyemangati Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan menjadi istri yang manpu menyelaraskan diri dengan kehidupan suaminya. Bahkan demi hormatnya kepada suami, Khadijah ikut memuliakan dan mencintai tamu, teman serta semua kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Hasratnya pun selalu sejalan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Ketika Muhammad ingin uzlah (mengasingkan diri) di Gua Hira, misalnya, Khadijah sama sekali tidak menolak. Ia bahkan sangat mendukung keinginan Muhammad. Setiap kali Muhammad hendak berangkat ke Gua Hira, Khadijah menyiapkan bekal secukupnya. Kedatangan Muhammad selalu disambut dengan kebahagiaan. Dan ia akan ikut bersedih setiap kali mendengar penuturan suaminya dan dengan segenap kekuatannya berusaha menenangkan hati Muhammad dan melayaninya hingga beliau tertidur. Tak lama setelah itu, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam kembali bersiap meneruskan uzlah di Gua Hira.

Suatu hari di bulan Ramadhan 610 M, Muhammad pulang ke rumah dalam kondisi tidak seperti biasanya. Tubuhnya gemetar dan Khadijah menangkap ketakutan yang dahsyat pada wajah Muhammad dan berusaha menenangkannya, tanpa mengetahui apa yang terjadi pada suaminya itu. Tubuh Muhammad dirasakan dingin dan terlihat pucat. Muhammad lalu minta diselimuti. Khadijah bergegas meraih selimut dan melipatkannya pada tubuh Muhammad. Perlahan Muhammad mulai menceritakan peristiwa di Gua Hira. Beliau mengatakan melihat seseorang – entah siapa – turun dari langit. Muhammad terkejut bercampur gemetar. Sosok itu berujar, “Bacalah, Muhammad!. Setelah tiga kali menolak karena Muhammad tidak dapat membaca dan menulis, sosok itu kemudian mendekapnya dan berkata;

سُوۡرَةُ العَلق
بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ (١) خَلَقَ ٱلۡإِنسَـٰنَ مِنۡ عَلَقٍ (٢) ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ (٣) ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ (٤) عَلَّمَ ٱلۡإِنسَـٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ (٥)

Surah SEGUMPAL DARAH
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Bacalah dengan [menyebut] nama Tuhanmu Yang menciptakan, (1) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (2) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, (3) Yang mengajar [manusia] dengan perantaraan kalam [*]. (4) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (5)
[*] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
(QS. Al-Alaq [96] : 1-5)

Ayat-ayat tersebut diatas merupakan petikan dari Surat Al-Alaq ayat satu sampai lima, wahyu pertama yang diterima Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.

Setelah beberapa saat, Khadijah kemudian mengajak Muhammad menemui sepupunya, Waraqah ibn Naufal untuk dimintai pendapat dan mengurai makna tersirat dari peristiwa itu. Setibanya di rumah Waraqah, Muhammad menceritakan pertemuannya dengan sosok yang turun dari langit. Waraqah lalu bangkit dan memeluk Muhammad. Ia kemudian mengatakan sosok tersebut adalah pembawa wahyu yang dulu turun kepada Nabi Musa. “Dan engkau adalah nabi ummat ini yang telah diberitakan kedatangannya jauh-jauh hari oleh para Nabi”, ujar Waraqah pada Muhammad. Ia lalu mengingatkan, semua Nabi yang membawa risalah seperti halnya Muhammad, pasti dimusuhi dan diperangi kaumnya sendiri. Setelah itu satu-persatu penghuni rumah Khadijah menyatakan beriman dan mengakui Muhammad sebagai Rasul. Dan jadilah rumah itu rumah iman di tengah kampung yang penduduknya musyrik dan beraqidah sesat.

Berturut-turut kemudian wahyu turun kepada Nabi di rumahnya yang damai dan tentram. Khadijah sendiri setelah peristiwa di Gua Hira tidak pernah berhenti menyemangati Muhammad. Ia sadar bahwa Muhammad memegang tanggung jawab yang besar. Tak segan-segan, Khadijah mengorbankan hartanya, menopang Muhammad dengan status yang dimilikinya dan menabahkan hati sekuat tenaga mendampingi Beliau. Kesabaran Khadijah juga tanpa batas. Ia sabar ketika ketika kedua putrinya; Ruqayyah dan Ummu Kultsum diceraikan oleh suami-suami mereka yang kafir. Khadijah terus bersabar di tengah ancaman kaum Quaraisy yang secara terbuka ingin menhabisi Muhammad dan agama barunya. Atas dedikasinya ini, Jibril datang menyampaikan wahyunya untuk Khadijah. Kata Jibril kepada Nabi, “ Sampaikan berita gembira kepada Khadijah. Ia disediakan sebuah rumah dari permata di surga. Tak ada kebisingan, tak ada kelelahan di dalamnya”. (HR. Bukhari)

Demi islam, Khadijah mengorbankan segalanya. Beliau tidak pernah jenuh dan tak pernah sepatahpun terlontar sesal dan keluh. Beliau tabah merawat Nabi saat kembali dengan luka disana-sini sehabis dianiaya dan diolok-olok kaumnya sendiri. Beliau berdiri tegar disamping  Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, meringankan penderitaannya dan membantu menjalankan misi Kerasulannya.

Kaum Quraisy yang semakin geram melihat kian luasnya penerimaan islam di kalangan muda dan kaum dhuafa lalu memutuskan untuk memboikot keluarga Nabi Muhammad SAW. Semua orang dilarang bertransaksi jual beli, menikah engan keluarga Muhammad dan mengirimkan bahan makanan kepada mereka. Selam tiga tahun, mereka menjalani kehidupan yang keras. Namun Khadijah tetap berdiri tegar ditengah mereka. Sikapnya kokoh dan pantang menyerah. Kesabaran yang ditunjukkannya begitu besar, padahal beliau wanita kaya raya yang tidak pernah kenal melarat. Sikap inilah yang membuat Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam kagum kepada Khadijah.

Pemboikotan terhadap keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam berakhir ketika Khadijah meninggal dunia. Saat itu Nabi Muhammad SAW berusia 50 tahun dan beliau tak kuasa menahan sedih dan air mata. Rumah Nabi Muhammad seakan gelap dan tak ada lagi keceriaan atas kepergian isteri yang dicintainya. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengenang segala yang berhubungan dengan Khadijah, Beliau menghormati dan memuliakan setiap orang yang pernah mengunjungi Khadijah.

Saudah Binti Zam’ah
Setelah Khadijah wafat, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tidak langsung menikahi wanita lain. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam baru menikah kembali setelah berusia 55 tahun. Ada juga yang meriwayatkan ketika beliau berusia 52 tahun. Yang pasti pernikahan kedua Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dilangsungkan dengan seorang janda berusia 70 tahun yang memiliki 12 orang anak.

Menurut Dr. Nizar Abazhah dalam buku “Bilik-Bilik Cinta Muhammad”, pernikahan kedua ini bukan berasal dari inisiatif Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, melainkan dari seorang wanita sahabat Saudah, Khaulah binti Hakim yang merasa iba melihat kesendirian dan kesedihan Nabi SAW yang datang bertubi-tubi. Khaulah binti hakim kemudian mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan menyarankan agar beliau menikah dengan dua orang wanita sekaligus, yaitu Saudah binti Zam’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Untuk Aisyah, disarankan hanya sekedar dipinang lalu ditunggu sampai dewasa dan siap berumah tangga. Sementara dengan Saudah langsung hidup serumah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam untuk memberi ketentraman batin, menghibur dan merawat puteri-puteri beliau terutama si kecil Fatimah az-Zahra.

Usul ini diterima Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan beliau mengutus Khaulah binti Hakim untuk melamar Saudah. Saudah sendiri adalah janda tua yang hidup menderita karena ditinggal mati suaminya dan telah merasakan pahit getirnya pulang pergi hijrah ke Habasyah. Melihat keadaan Sudah, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ingin meringankan penderitaannya, mengangkat derajatnya, menjaganya dari fitnah kaumnya yang kafir dan sangat membencinya serta agar tidak dikawini oleh pria yang tidak setara kemuliaannya. Dalam pernikahannya dengan Saudah, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menemukan kembali ketentraman, tawa ceria dan kebahagiaan. Pembawaannya yang ceria dan menyenangkan, ia curahkan untuk menghibur Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Karakter seperti iu merupakan teladan yang baik bagi setiap istri dimanapun juga. Sudah juga membantu Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menjaga anak-anaknya. Saudah wafat di akhir keKhalifahan Umar di Madinah. Dan sebelum meninggal beliau mewariskan rumahnya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhu.

Aisyah Binti Abu Bakar
Suatu ketika, Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dengan membawa gambar Aisyah pada sepotong sutera hijau. Jibril lalu berkata, “Ini adalah istrimu di dunia dan akhirat”. Aisyah adalah satu-satunya isteri NabiSAW yang dinikahi dalam keadaan perawan.

Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai usia Aisyah saat dinikahi Nabi SAW. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa putri sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq ini dinikahi Nabi SAW ketika masih berusia sembilan tahun.

Pernikahan  Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dengan Aisyah radhiayallahu ‘anha merupakan perintah langsung Allah SWT kepada Rasulullah lewat mimpi yang sama selama tiga malam berturut-turut (HR. Bukhari-Muslim). Karena inilah banyak yang mengatakan bahwa Aisyah menjadi isteri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam  yang paling diperhitungkan, disamping keperawanannya dan kedudukan ayahnya sebagai satu-satunya orang yang menemani Nabi bersembunyi di dalam gua.

Terhadapnya, Nabi juga selalu berperilaku lembut dan mesra, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menjulukinya “Humayra” lantaran kulitnya seperti bunga putih yang kemerah-merahan. Meski memiliki keistimewaan, Aisyah seringkali memiliki rasa cemburu yang tinggi terhadap isteri-isteri Nabi SAW lainnya. Bahkan ia juga cemburu terhadap mendiang Khadijah padahal ia tidak pernah mengenal maupun bertemu dengannya.

Aisyah hanya mengetahui Khadijah dari cerita-cerita Nabi SAW. Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyebut nama Khadijah dengan keharuan memuncak disertai rasa rindu yang terlihat jelas. Pujian terhadap Khadijah pun sering didengar Aisyah dari Nabi SAW. Jika diberi hadiah daging, beliau akan menyisihkan yang terbaik lalu dikirimkan kepada sahabat-sahabat Khadijah. Begitu pula ketika Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyembelih kambing atau memotong hewan kurban.

Pernah suatu kali, kecemburuan Aisyah terhadap Khadijah meledak. Ia merasa Allah SWT telah memberikan pengganti yang lebih dari Khadijah. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam cepat menampiknya, “Demi Allah aku tidak diberi ganti yang lebih baik dari Khadijah. Ia beriman kepadaku ketika semua orang ingkar, ia melimpahkan semua hartanya kepadaku ketika semua menyembunyikan tangan dan darinya Allah memberiku keturunan ketika isteri yang lain tidak”. (HR. Bukhari).

Suatu kali, Aisyah juga pernah terkena fitnah berselingkuh, yakni ketika ia menyertai Nabi SAW dalam perang Bani Al-Musthaliq. Beberapa lama setelahnya, Allah SWT menerangkan wahyu yang menerangkan kesucian Aisyah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nuur ayat 11.

سُوۡرَةُ النُّور

إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ عُصۡبَةٌ۬ مِّنكُمۡ‌ۚ لَا تَحۡسَبُوهُ شَرًّ۬ا لَّكُم‌ۖ بَلۡ هُوَ خَيۡرٌ۬ لَّكُمۡ‌ۚ لِكُلِّ ٱمۡرِىٍٕ۬ مِّنۡہُم مَّا ٱكۡتَسَبَ مِنَ ٱلۡإِثۡمِ‌ۚ وَٱلَّذِى تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُ ۥ مِنۡہُمۡ لَهُ ۥ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬ (١١)

Surah CAHAYA
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar [*]. (11)
(QS An-Nuur [24] : 11)

[*] Berita bohong ini mengenai istri Rasulullah s.a.w. 'Aisyah r.a. Ummul Mu'minin, sehabis perang dengan Bani Mushtaliq bulan Sya'ban 5 H. Perperangan ini diikuti oleh kaum munafik, dan turut pula 'Aisyah dengan Nabi berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. 'Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. tiba-tiba Dia merasa kalungnya hilang, lalu Dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa 'Aisyah masih ada dalam sekedup. setelah 'Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat Dia duduk di tempatnya dan mengaharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan Ibnu Mu'aththal, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan Dia terkejut seraya mengucapkan: "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, isteri Rasul!" 'Aisyah terbangun. lalu Dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut Pendapat masing-masing. mulailah timbul desas-desus. kemudian kaum munafik membesar- besarkannya, Maka fitnahan atas 'Aisyah r.a. itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin.

Aisyah hidup bahagia dengan Nabi SAW. Dan seperti wanita-wanita mulia lainnya yang mendampingi Nabi SAW, Aisyah pun memberikan dukungan yang besar terhadap perjuangan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Aisyah selelu menyimak setiap kata yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam kemudian menyampaikannya kepada para wanita di sekitarnya. Aisyah menjadi duta Nabi SAW bagi kaum hawa. Banyak hal penting menyangkut agama yang tabu ditanyakan langsung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, dijawab melalui Aisyah. Sifat-sifat agung Aisyah terlihat lebih nyata setelah Nabi SAW wafat. Aisyah memiliki kedalaman ilmu agama yang luar biasa, bahkan melampaui kaum lelaki. Ia hafal 200 lebih hadits dari Nabi SAW. Ia menjadi tempat para pengikut Nabi SAW menimba ilmu. Aisyah pun menjawab banyak masalah yang diajukan para sahabat. Sampai-sampai Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Tidak ada satupun perkara yang sangat sulit bagi kami seaku sahabat Nabi SAW kecuali ada jawabannya setelah kami tanyakan kepada Aisyah”.

Rumah Nabi yang di dalamnya terdapat Aisyah dan kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam kerap menjadi ruang ilmu, sumber syari’ah islam dan forum kajian fiqih tingkat tinggi. Semua dipimpin oleh Aisyah. Semua dipimpin oleh aisyah. Para sahabat dan pengikut Nabi SAW sering berkumpul di sana membicarakan berbagai persoalan dengannya dari balik tirai. Dan mereka selalu memperoleh jawaban yang memuaskan. Seperti ditulis dalam banyak buku biography Aisyah, bahwa beliau memiliki kecakapan yang tinggi dalam menguraikan secara detil suatu persoalan.

Aisyah juga dikenal sebagai istri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang gemar beribadah serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Selain itu Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak  akan ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. Dan Aisyah radhiayallahu ‘anha wafat pada usia 66 tahun.

Ummu Salamah
Ummu Salamah adalah istri sahabat nabi SAW, Abu Salamah yang pernah ikut bersusah payah hijrah ke negeri Habasyah. Ia wafat pada tahun kedua setelah hijriyah setelah berjuang menegakkan islam. Sepeninggal suaminya, Ummu Salamah harus menanggung empat orang anak yang salah satu diantaranya masih menyusui. Ketika itu para pemuka dari kalangan sahabat bergegas meminang Ummu Salamah sebagai tanda penghormatan untuk suaminya dan untuk melindunginya. Mereka yang melamarnya adalah dua sahabat Nabi SAW; Abu Bakar sh-Shiddiq dan Ummar bin Khattab. Namun Ummu salamah menolaknya. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam sendiri mulai memikirkannya dan ingin mengurangi kesedihan Ummu Salamah. Beliau lalu mengutus Hathib bin Abi Balta’ah agar menemui Ummu Salamah dan melamar untuknya. Ummu Salamah yang semula menolak lamaran itu, akhirnya menerima.

Keistimewaan yang dimiliki Ummu Salamaha adalah ketajaman logika, kematangan berpikir dan mampu memutuskan banyak perkara dengan benar. Usia Ummu Salamah ketika menikah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam sudah tidak muda lagi. Dan ia pun telah mengatakan kepada nabi SAW, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, orang sepertiku tidak layak untukmu. Usiaku sudah melewati batas perkawinan dan tak mungkin lagi aku mempunyai keturunan. Aku wanita pencemburu dan aku juga mempunyai anak-anak yang masih kecil yang harus aku tanggung dan kujaga. Aku tak ingin gara-gara tak mau mereka, kewajibanku sebagai istri terbengkalai”. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menjawabnya melalui seorang utusan, “ Kecemburuan akan kumohonkan kepada Allah SWT untuk dihilangkan, keluargamu kembalikan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, sedangkan menyangkut usiamu, aku lebih tua darimu”. Akhirnya pernikahanpun terlaksana. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memberi mas kawin berupa perabot rumah tangga yang nilainya tidak lebih dari 40 dirham.

Selama bersama dengan beliau, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memuji keluhuran akhlak dan kemurnian ilmunya. Salah satu sikap agung yang ditunjukkannya adalah pada peristiwa Hudaibiyah. Hari itu Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bertolak bersama para sahabat untuk melaksanakan umroh. Semua mengenakan pakaian ihram dan menggiring hewan ternak. Akan tetapi sebelum sampai dicegat oleh kaum Quraisy. Hampir saja terjadi pertumpahan darah jika tidak segera didapat kesepakatan tertulis yang kemudian dikenal dengan “Perjanjian Hudaibiyah”. Yakni pihak Nabi SAW dan rombongan mengalah pulang ke Madinah dan akan kembali ke Makkah pada tahun berikutnya. Sebagi wujud nyata, seusai perjanjian damai itu, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyeru kepada para sahabat agar bertahallul (mencukur rambut) dan menyembelih hewan qurban. Namun tidak ada yang menggubris seruan beliau karena mereka masih terpukul atas isi perjanjian itu yang dipandang merugikan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam kemudian masuk kek kamar Ummu Salamah dengan gusar. Ummu Salamah kemudian tersenyum dan dengan tenang menyarankan kepada beliau untuk tidak lagi menyerukannya namun langsung menunjukkan dengan perbuatan. “Kupikir, keluarlah (ke tengah orang banyak) tetapi jangan berbicara dengan siapapun sebelum kau sendiri bertahallul dan menyembelih hewan qurban. Ku yakin mereka pun akan berbuat sepertimu”. Hati Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pun menjadi tenang. Cepat-cepat ia keluar dan mengikuti saran istrinya. Orang-orang terpana memandang Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam  dan tak lama pun mereka mengikutinya.

Ummu Salamah telah mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dalam banyak peperangan, yakni perang Khaibar, pembebasan Makkah, pengepungan Tha’if, perang Hawazin, perang Tsaqif dan bersama beliau di Haji Wada’. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam wafat, beliau senantiasa mengenangnya. Ummu Salamah sendiri wafat pada usia 84 tahun setelah hidupnya dipenuhi dengan aktivitas pengorbanan, jihad dan kesabaran di jalan Allah SWT dan Rasul-Nya.

Hafshah Binti Umar bi Khattab
Hafshah adalah seorang janda yang usianya belum genap 18 tahun. Suaminya adalah Khunais bin Haszafah al-Sahmi, seorang syuhada yang gugur dalam perang Uhud. Hafshah lalu dipulangkan ke rumah orang tuanya, Umar bin Khattab. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pun terenyuh dengan nasib Hafshah. Ia teringat dengan sikap Umar saat membela Islam dengan gagahnya, bereni memperrtaruhkan jiwa dan  kukuh membela kebenaran. Islam semakin berrmartabat sejak Umar bin Khattab beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Atas pertimbangan tersebut, kemudian  Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam meminang Hafshah.

Umar bin Khattab berpesan kepada putrinya, Hafshah agar tidak berulah dan tidak berebut pengaruh atau memperdaya Aisyah mengingat kedudukannya dan kedudukan ayahnya di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Pesan itu diingat betul oleh Hafshah ketika ia pindah ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, ia berusaha dekat dengan Aisyah dan tidak menyainginya.

Hafshah seorang wanita yang cerdas dan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam selalu mendorongnya untuk mendalami ilmu. Karena ia pandai menulis, ia rutin mencatatkan surat-surat dan ayat-ayat. Pada masa itu sangatlah jarang kaum lelaki dan wanita yang bisa membaca dan menulis. Rupanya Allah SWT telah menetapkannya sebagai penulis pertama dari satu-satunya naskah agung Al-Qur’an di bawah pengawasan langsung Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Naskah itu tersimpan rapi dan sangat terjaga. Ditulis di atas papan, tulang dan kulit. Karena itulah Hafshah dijuluki “si penjaga Al-Qur’an”. Beliau juga seorang penghafal Al-Qur’an yang ulung, hatinya jernih, shalat dan puasanya tak tertandingi. Tentang wafatnya Hafshah sebagian riwayat mengatakan bahwa beliau meninggal pada tahun ke-47 pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

Zainab Binti Khuzaimah al-Hilaliyah (Ibu Kaum Miskin)
Zainab binti Khuzaimah termasuk dalam  kelompok orang yang pertama-tama masuk islam di kalangan wanita. Yang mendorong beliau untuk masuk islam adalah akal dan pikirannya yang baik, menolak syirik dan menyembah berhala serta selalu menjauhkan diri dari perbuatan jahiliyah. Zainab adalah salah satu wanita yang membuat Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam prihatin karena suaminya gugur di medan perang Uhaud. Suaminya adalah Abdullah bin Jahsy, sahabat agung yang mendapat kehormatan sebagai syahid di arena perang.

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam meminang Zainab melalui seorang utusan. Zainab kemudian tinggal bersama Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pada tahu ketiga setelah hijrah.  Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam seringkali memuji sejarah hidup Zainab. Sejak zaman jahiliyah, beliau sangat pemurah, dermawan dan selalu mengutamakan orang-orang miskin dan papa ketimbang dirinya sendiri. Karena itulah beliau disebut “Ibunda Kaum Miskin”.  Padahal di zaman jahiliyah itu beliau belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik, penyantun dan penderma akan memperoleh phala di sisi Allah SWT.

Terdapat sejumlah perbedaan terkait lamanya masa rumah tangga zainab dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.. Ada yang mengatakan bahwa mereka hanya menjalani hidup berumah tangga hanya tiga bulan, sementara itu ada pendapat lain menhatakan delapan bulan. Akan tetepi yang pasti kehidupan rumah tangga mereka memang singkat, karena Zainab wafat ketika  Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam masih hidup. Beliau wafat diusia yang relatif masih muda, yakni kurang dari 30 tahun. Kematian Zainab membuat Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam terpukul karena mengingatkannya pada kematian mendiang istri pertamanya, Ibunda Khadijah.

Raihanah Binti Zaid bin Amr
Para perawi hadits berselisih pendapat tentang kehidupan Raihanah. Selain itu tidak banyak riwayat yang menjelaskan istri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang satu ini. Permasalahannya ada pada riwayat apakah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam membebaskannya kemudian menikahinya atau beliau hanya menjadikannya sebagai budak?. Sebaian riwayat mengatakan bahwa Raihanah termasuk salah seorang istri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, namun dalam riwayat lain mengatakan dia bukan istri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.

Dr. Nizar Abazhah dalam bukunya “Bilik-Bilik Cinta Muhammad” menuliskan bahwa Raihanah adalah salah sorang tawanan perang. Melihatnya Nabi SAW menjadi iba dan merasa prihatin. Raihanah lalu ditawari untuk dibebaskan dan dijadikan istri, namun ia menolak karena tidak ingin meninggalkan agamanya yaitu yahudi, “Biarlah saya menjadi tawananmu saja” ujarnya. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersedih dan berharap bahwa suatu saat ia akan menerima islam. Harapan beliau terkabul, Allah SWT membukakan hati Rihanah pada islam. Raihanah kemudian hidup damai dalam perlindungan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Disebutkan bahwa Raihanah wafat pada tahun ke-10 hijriyah, sepulang Nabi SAW menunaikan Haji Wada’.

Juwairiah Binti Harits bin Abu Dhirar
Seperti para istri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, Juwairiah juga memiliki keistimewaan. Ia telah membawa berkah yang sangat besar kepada kaumnya bani al-Musthaliq. Bagaimana tidak, setelah beliau memeluk islam, Bani al-Musthaliq mengikrarkan diri menjadi pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Hal ini pernah diungkapkan Aisyah ra., “Aku tidak pernah mengetahuai jika ada seorang wanita yang lebih banyak berkahnya kepada kaumnya dari pada Juwairiah”.

Juwairiah adalah putri seorang pemimpin bani al-Musthaliq yang bernama Harits bin Abi Dhiraar yang sangat memusuhi islam. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memerangi mereka sehingga banyak dari kalangan mereka yang terbunuh dan para wanitanya menjadi tawanan perang. Diantara para tawanan tersebut diantaranya adalah Juwairiyah yang paa saat itu bernama “Burrah”. Beliau meminta izin untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan minta dibebaskan sambil berlinang air mata. Nabi Saw pun terenyuh melihatnya karena melihat perputaran nasibnya dari wanita terhormat, berubah menjadi gembel dan hina. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam terdiam sejenak, kemudian beliau berkata, “Aku akan menebus dan mengawinimu”. Lalu Beliau mengganti namanya mnjadi Juwairiah. Begitu mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam telah mengawini Juwairiah, maka segenap kaum muslim tanpa ragu membebaskan seluruh warga Bani al-Musthaliq yang menjadi tawanan perang. Dengan demikian Juwairiah telah menjadi titik pangkal kebaikan bagi kaumnya.

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam wafat, Juwairiah mengasingkan diri serta memperbanyak ibadah dan bersedekah di jalan Allah SWT dengan harta yang diterimanya dari Baitul Maal. Ketika terjadi fitnah besar berkaitan denga Aisyah, beliau banyak berdiam diri dan tidak berpihak pada siapapun. Juwairiyah wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam usia 60 tahun. Beliau dikubur di Baqi’ bersebelahan dengan kuburan isteri-isteri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang lain.

Zainab Binti Jahsy
Zainab adalah sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Beilau putri dari bibinya, Umaymah binti Abdul Muthalib yang memeluk islam pada masa-masa awal kenabian Muhammad SAW. Beliau merupakan sosok wanita agung, kedudukannya tinggi dan garis nasabnya terhormat. Zainab kemudian dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, budak kesayangan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang diangkat anak.

Rumah tangga mereka diwarnai dengan ketidak sesuaian. Zaid lalu mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan berniat melepas Zainab. Ketika dahulu mereka dijodohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam keduanya memang sama-sama menolak. Sampai turun wahyu Allah SWT yang berbunyi,
سُوۡرَةُ الاٴحزَاب

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ۬ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُ ۥۤ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَـٰلاً۬ مُّبِينً۬ا (٣٦)

Surah GOLONGAN YANG BERSEKUTU
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak [pula] bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain] tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
(QS Al-Ahzaab [33] : 36)

Namun ketika tidak ada lagi jalan keluar, mereka akhirnya bercerai. Dan selesai masa iddah Zainab selesai, Nabi SAW mengutus Zaid untuk menyampaikan lamaran beliau. Saat itu Zainab tidak langsung menjawab, karena ia ingin shalat istikharah terlebih dahulu. Namun wahyu Allah SWT telah lebih dahulu turun.

سُوۡرَةُ الاٴحزَاب

وَإِذۡ تَقُولُ لِلَّذِىٓ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَأَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِ أَمۡسِكۡ عَلَيۡكَ زَوۡجَكَ وَٱتَّقِ ٱللَّهَ وَتُخۡفِى فِى نَفۡسِكَ مَا ٱللَّهُ مُبۡدِيهِ وَتَخۡشَى ٱلنَّاسَ وَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخۡشَٮٰهُۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيۡدٌ۬ مِّنۡہَا وَطَرً۬ا زَوَّجۡنَـٰكَهَا لِكَىۡ لَا يَكُونَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ حَرَجٌ۬ فِىٓ أَزۡوَٲجِ أَدۡعِيَآٮِٕهِمۡ إِذَا قَضَوۡاْ مِنۡہُنَّ وَطَرً۬اۚ وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ مَفۡعُولاً۬ (٣٧) مَّا كَانَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ مِنۡ حَرَجٍ۬ فِيمَا فَرَضَ ٱللَّهُ لَهُۖ ۥ سُنَّةَ ٱللَّهِ فِى ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلُۚ وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ قَدَرً۬ا مَّقۡدُورًا (٣٨)

Surah GOLONGAN YANG BERSEKUTU
Dan [ingatlah], ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni’mat kepadanya [*] dan kamu [juga] telah memberi ni’mat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya [menceraikannya], Kami kawinkan kamu dengan dia [**] supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk [mengawini] isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (37)
Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. [Allah telah menetapkan yang demikian] sebagai sunnah-Nya [***] pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku, (38)

[*] Maksudnya: setelah habis idahnya.
[**] Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammadpun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.
[***] Yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah mengerjakan sesuatu yang dibolehkan Allah tanpa ragu-ragu.
(QS Al-Ahzaab [33] : 37-38)


Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam kemudian menikahi Zainab. Selama berumah tangga dengan Nabi SAW, Aisyah mengakui kebaikan, keutamaan dan ketaqwaan Zainab. Beliau berkata, “ Belum pernah kulihat seorang wanita yang lebih baik dalam hal agama dari pada Zainab. Ia juga paling taqwa, jujur dalam berkata, paling kuat menjalin silaturrahim, paling amanah dan paling banyak sedekah”.

Zainab wafat pada usia 53 tahun dan disebutkan bahwa kematiannya tak berapa lama setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Beliau dimakamkan di Baqi’. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa menjelang ajalnya Zainab berkata, “Aku telah menyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah satunya. Jika kalian dapat bersedekah dengan semua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang lain”.

Mariyah al-Qibthiyah
Mariyah adalah seorang wanita Mesir yang dihadiahkan Maqauqis (penguasa Mesir) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pada tahun ketujuh hijriyah. Mariyah adalah budak Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang kemudian dibebaskan dan dinikahi. Dan Mariyah adalah satu-satunya isteri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, setelah Khadijah ra. Yang memberikan seorang putera.

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam begitu gembira begitu mengetahui Mariyah hamil dan melahirkan. Bayi itu kemudian diberi nama Ibrahim demi mengabadikan kenangan akan pendiri Masjidil Haram, Nabi Ibrahim ‘Alayhissalam. Sayangnya menginjak usia 1.5 tahun Ibrahim meninggal. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam wafat, Mariyah hidup menyendiri dan mendedikasikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Beliau wafat lima tahun setelah berpulangnya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, tepatnya tahun ke-16 hujriyah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab dan dikebumikan di Baqi.


Ummu Habibah Binti Abu Sufyan
Ummu Habibah adalah puteri Abu Sufyan, pemimpin kaum musyrikin di Makkah yang mempelopori penentangan terhadap da’wah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan kaum muslimin. Dalam perjalanan hidupnya Ummu Habibah banyak penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk islam beliau bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Sayangnya di negeri Habasyah suaminya murtad dari agama islam dan beralih memeluk nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras dan meninggal dalam keadaan tidak beriman.

Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena beliau tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri maupun dengan keluarga suaminya di Makkah, karena mereka sudah menjauhinya. Ketika mendengar penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam terenyuh dan beliau berniat untuk menikahinya agar Ummu habibah tidak terus bersedih.

Lalu diutuslah eseorang untuk melamar Ummu Habibah. Berita pernikahn Ummu Habibah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menjadi pukulan keras bagi Abu sufyan. Mengenai hal tersebut, Inbu Abbas meriwayatkan fimman Allah SWT  yang turun saat Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menikahi Ummu Habibah.

سُوۡرَةُ المُمتَحنَة

۞ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَجۡعَلَ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَ ٱلَّذِينَ عَادَيۡتُم مِّنۡہُم مَّوَدَّةً۬‌ۚ وَٱللَّهُ قَدِيرٌ۬‌ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ۬ (٧)

Surah PEREMPUAN YANG DIUJI
Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS Al-Mumtahanah [60] : 7)


Beberapa saat setelah pernikahannya dengan Ummu habibah, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersama ribuan tentara islam menyerbu Makkah yang didalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarganya. Abu Sufyan yang sebelumnya sempat datang ke kediaman Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan Ummu Habibah di Madinah untuk mempengaruhi putrinya agar meminta Nabi SAW membatalkan rencana penyerangannya ke Makkah, menjadi semakin merasa tidak berdaya. Abu Sufyan sangat kecewa dengan keteguhan puterinya, Ummu habibah. Abu Sufyan yang telah dikepung oleh puluhn ribu tentara islam, menyadari bahwa memang sudah satnya kaum muslimin membalas sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam merasa kasihan melihat ketidakberdayaan Abu Sufyan lalu mengajaknya memeluk islam. Abu Sufyan menerima ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya dengan kerendahan hati. Dalam kisah ini, Allah SWT telah memberikan jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah, yaitu keislaman ayahnya.

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ummu Habibah sendiri wafat di tahun ke-44 hijriyah dalam usia 70 tahun.

Syafiyyah Binti Huyay Bin Akhthab
Syafiyyah adalah puteri seorang pemimpin Yahudi. Ia bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ketika menjadi tawanan perang setelah Nabi SAW berhasil menumpas komplotan Yahudi dan menguasai benteng pertahanan mereka. Ketika itu, Syafiyyah dan sepupunya digiring ke Bilal al-habsyi kehadapan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Hati Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tersayat melihat air mata keduanya yang mengucur deras. Terlebih lagi setelah mengetahui Bilal membawa mereka menyeberangi lautan mayat manusia dan masih tercium bau darah yang menyengat dari medan perang itu. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam lalu menegur perilaku Bilal. Syafiyyah kemudian disuruh berlindung di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan menutupinya dengan baju beliau. Segera setelah perang usai, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menikahi Syafiyyah setelah sebelumnya diberikan pilihan, apakah mau tetap sebagai tawanan atau menjadi isteri Nbi SAW. Syafiyyah kemudian memilih menjadi istri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan menyatakan beriman kepada islam. Perlu diketahui bahwa sebelum menikah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, Syafiyyah telah menikah dua kali dengan lelaki Yahudi.

Keberadaan Syafiyyah yang berparas cantik dan molek sempat memancing rasa cemburu Aisyah dan Zainab. Suatu kali ditengah perjalanan ibadah haji, unta yang ditunggangi Syafiyyah tidak mau berjalan, ia pun lalu menangis dan Nabi SAW berulang kali menghiburnya, namun air mata Syafiyyah tidak juga mereda. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam meminta Zainab untuk meminjamkan satu dari beberapa untanya kepada Syafiyyah. Zainab jengkel dan berkata, “Apakah untaku akan kuberikan kepada perempuan yahudimu?”. Perkataannya negitu menusuk hati Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan beliau mendiamkannya serta tidak singgah ke kamarnya sepanjang musim haji, bahkan hingga bulan Rabiul Awal berikutnya.

Aisyah dan Hafshah juga pernah menyerang Syafiyyah dengan berkata, “Kami lebih mulia di sisi  Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Kami adalah isteri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam sekaligus puteri paman beliau”. Syafiyyah tersinggung dengan ucapan mereka dan menceritakannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam berkata, “Kenapa tidak kau jawab; bagaimana kalian bisa lebih baik dari pada aku, sementara suamiku Muhammad, ayahku (Nabi) Harun dan pamanku (Nabi) Musa?”.

Syafiyyah adalah saksi atas kebenaran agama yang diturunkan untuk seluruh umat manusia, termasuk bagi kaum Yahudi dan Nasrani. Ia selalu membuka pintu untuk mereka, tak pernah membenci, meremehkan ataupun menghina mereka. Akhlak dan budi pekertinya luhur dan bijak. Pernah suatu kali ia diadukan budak perempuannya kepada Ummar bin al-Khattab, ”Wahai Amirul Mu’minin, Syafiyyah mencintai hari sabtu dan terus berhubungan dengan orang Yahudi”. Umar segera mengklarifikasi kepada Syafiyyah. Syafiyyah lalu berkata, “Hari Sabtu tak kucintai lagi sejak Allah SWT menggantikan untukku hari Jumat. Sedangkan mengenai Yahudi, disitu terdapat famili dan aku bersilaturahmi kepada mereka”.

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam wafat, Syafiyyah merasa terasing ditengah kaum muslimin yang masih menganggapnya wanita Yahudi. Meski demikian, beliau tetap berkomitmen pada islam dan mendukung perjuangan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Syafiyyah wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan dikebumikan di Baqi’.

Maimunah Binti Al-Harits
Maimunah adalah isteri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam setelah Khadijah yang mencintai beliau dengan tulus selama mengarungi bahtera rumah tangga bersama. Dialah satu-satunya wanita yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ketika keluarganya hidup dalam kebiasaan jahiliyah. Allah SWT berfirman tetang hal ini dan memberikan kesaksiannya terhadap keikhlasan Maimunah kepada Allah SWT dan Rasulnya,
سُوۡرَةُ الاٴحزَاب

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِنَّآ أَحۡلَلۡنَا لَكَ أَزۡوَٲجَكَ ٱلَّـٰتِىٓ ءَاتَيۡتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتۡ يَمِينُكَ مِمَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَيۡكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّـٰتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَـٰلَـٰتِكَ ٱلَّـٰتِى هَاجَرۡنَ مَعَكَ وَٱمۡرَأَةً۬ مُّؤۡمِنَةً إِن وَهَبَتۡ نَفۡسَہَا لِلنَّبِىِّ إِنۡ أَرَادَ ٱلنَّبِىُّ أَن يَسۡتَنكِحَہَا خَالِصَةً۬ لَّكَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۗ قَدۡ عَلِمۡنَا مَا فَرَضۡنَا عَلَيۡهِمۡ فِىٓ أَزۡوَٲجِهِمۡ وَمَا مَلَڪَتۡ أَيۡمَـٰنُهُمۡ لِكَيۡلَا يَكُونَ عَلَيۡكَ حَرَجٌ۬ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا (٥٠)

Surah GOLONGAN YANG BERSEKUTU
Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan [demikian pula] anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS Al-Ahzaab [33] : 50)

Dalam riwayat dikisahkan bahwa sebelum Maimunah dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, ia telah menikah dengan laki-laki musyrik yang mati dalam keadaan syirik dan menjanda di usia 26 tahun. Setelah suaminya meninggal, maimunah dengan leluasa dapat menyatakan keimanan dan kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, sehingga dengan suka rela ia menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam untuk dinikahi.

Maimunah memperlakukan isteri-isteri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang lain dengan baik dan penuh penghormatan dengan tujuan mendapatkan keridhaan hati Nabi SAW semata. Aisyah menggambarkan Maimunah sebagai berikut, “Demi Allah SWT, Maimunah adalah wanita yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi diantara kami”.  Maimunah dikenal dengan kezuhudannya, ketaqwaannya dan sikapnya yang selalu ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diceritakan pula bahwa penguasaan ilmu beliau juga sangat luas.

Maimunah adalah isteri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallami yang terakhir. Sehari-hari beliau menyibukkan diri dengan beribadah dan tenggelam dalam zikir kepada Allah SWT. Di rumahnya beliau mengasuh seorang yatim bernama Ubaidillah al-Khaulani. Dan menurut riwayat Maimunah wafat di usia 80 tahun.

Wallahu a’lam bishshawab…



Sumber :
Majalah AULIA ~ Inspirasi Wanita , No. 12 Tahun IX Rajab 1433 – Sya’ban 1433 [ Juni 2012 ]
Halaman 26-41, Naskah Meutia Rahmi.

0 komentar: