Sosok-sosok
Tegar di Balik Ketangguhan
Rasulullah
Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
Ketangguhan rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam dalam mengakhiri zaman jahiliyah dan da’wah
Islam tidak bisa dilepaskan dari dukungan 13 wanita terpilih dan mulia yan
telah ditetapkan Allah Ta’ala sebagai pendamping Rasulullah Shallallahu ‘alayhi
wa Sallam.
Bila melihat perjalanan da’wah
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,
kita akan merasakan Allah Ta’ala telah menyiapkan jalur yang begitu sempurna
bagi Nabi Muhammad dalam menyelesaikan tugasnya. Jalan yang telah ditetapkan
Allah ini menyimpan hikmah besar yang pada akhirnya mengantarkan Rasulullah
pada keberhasilan.
Salah satu jalan yang ditetapkan
Allah adalah pertemuan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alayhi wa Sallam dengan wanita-wanita mulia yang kemudian menjadi
istri-istrinya. Seluruh istri Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam ini kemudian disebut sebagai “Ummul Mu’minin atau Ibu-ibu Kaum
Mu’min”.
Khadijah
Binti Khuwalid
Khadijah adalah istri pertama
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
yang dinikahi ketika Beliau berusia 40 tahun. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam saat itu berusia 25 tahun. Khadijah
berasal dari keturunan bangsawan yang dkenal sebagai pebisnis ulung yang kaya
raya. Sebelum menikah dengan Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam, Beliau telah dua kali menikah. Selama dengan
Khadijah, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dikaruniai
dua orang putera dan empat orang puteri. Tetapi kedua putera Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam meninggal
ketika masih sangat belia.
Dalam banyak riwayat, dikisahkan
bahwa Khadijah adalah isteri Nabi Muhammad yang paling istimewa dan bersamanya,
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
menjalani pernikahan monogami selama 24 tahun atau hingga Khadijah wafat diusia
65 tahun. Selama masa pernikahannya, Kahdijah telah membuktikan diri sebagai
istri yang setia dan selalu memberikan dukungan moril maupun materiil bagi
perjalanan da’wah Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam.
Kesabaran dan kekayaan Khadijah
menjadi bekal bagi Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam untuk menyebarkan tauhid yang pertama kali di Makkah.
Dalam buku “Bilik-bilik Cinta Muhammad” karangan Dr. Nizah Abazhah,
disebutkan Khadijah selalu menyemangati Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan menjadi istri yang manpu
menyelaraskan diri dengan kehidupan suaminya. Bahkan demi hormatnya kepada
suami, Khadijah ikut memuliakan dan mencintai tamu, teman serta semua kerabat
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.
Hasratnya pun selalu sejalan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Ketika Muhammad ingin uzlah
(mengasingkan diri) di Gua Hira, misalnya, Khadijah sama sekali tidak menolak.
Ia bahkan sangat mendukung keinginan Muhammad. Setiap kali Muhammad hendak
berangkat ke Gua Hira, Khadijah menyiapkan bekal secukupnya. Kedatangan
Muhammad selalu disambut dengan kebahagiaan. Dan ia akan ikut bersedih setiap kali
mendengar penuturan suaminya dan dengan segenap kekuatannya berusaha
menenangkan hati Muhammad dan melayaninya hingga beliau tertidur. Tak lama
setelah itu, Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam kembali bersiap meneruskan uzlah di Gua Hira.
Suatu hari di bulan Ramadhan 610 M,
Muhammad pulang ke rumah dalam kondisi tidak seperti biasanya. Tubuhnya gemetar
dan Khadijah menangkap ketakutan yang dahsyat pada wajah Muhammad dan berusaha
menenangkannya, tanpa mengetahui apa yang terjadi pada suaminya itu. Tubuh
Muhammad dirasakan dingin dan terlihat pucat. Muhammad lalu minta diselimuti.
Khadijah bergegas meraih selimut dan melipatkannya pada tubuh Muhammad.
Perlahan Muhammad mulai menceritakan peristiwa di Gua Hira. Beliau mengatakan
melihat seseorang – entah siapa – turun dari langit. Muhammad terkejut bercampur
gemetar. Sosok itu berujar, “Bacalah, Muhammad!. Setelah tiga kali menolak
karena Muhammad tidak dapat membaca dan menulis, sosok itu kemudian mendekapnya
dan berkata;
سُوۡرَةُ
العَلق
بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ
رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ (١) خَلَقَ ٱلۡإِنسَـٰنَ مِنۡ عَلَقٍ (٢) ٱقۡرَأۡ
وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ (٣) ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ (٤) عَلَّمَ
ٱلۡإِنسَـٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ (٥)
Surah SEGUMPAL DARAH
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Bacalah
dengan [menyebut] nama Tuhanmu Yang menciptakan, (1) Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. (2) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, (3)
Yang mengajar [manusia] dengan perantaraan kalam [*]. (4) Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (5)
[*] Maksudnya: Allah mengajar
manusia dengan perantaraan tulis baca.
(QS. Al-Alaq [96] : 1-5)
Ayat-ayat tersebut diatas merupakan
petikan dari Surat Al-Alaq ayat satu sampai lima, wahyu pertama yang diterima
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.
Setelah beberapa saat, Khadijah
kemudian mengajak Muhammad menemui sepupunya, Waraqah ibn Naufal untuk dimintai
pendapat dan mengurai makna tersirat dari peristiwa itu. Setibanya di rumah
Waraqah, Muhammad menceritakan pertemuannya dengan sosok yang turun dari
langit. Waraqah lalu bangkit dan memeluk Muhammad. Ia kemudian mengatakan sosok
tersebut adalah pembawa wahyu yang dulu turun kepada Nabi Musa. “Dan engkau
adalah nabi ummat ini yang telah diberitakan kedatangannya jauh-jauh hari oleh
para Nabi”, ujar Waraqah pada Muhammad. Ia lalu mengingatkan, semua Nabi yang
membawa risalah seperti halnya Muhammad, pasti dimusuhi dan diperangi kaumnya
sendiri. Setelah itu satu-persatu penghuni rumah Khadijah menyatakan beriman
dan mengakui Muhammad sebagai Rasul. Dan jadilah rumah itu rumah iman di tengah
kampung yang penduduknya musyrik dan beraqidah sesat.
Berturut-turut kemudian wahyu turun
kepada Nabi di rumahnya yang damai dan tentram. Khadijah sendiri setelah
peristiwa di Gua Hira tidak pernah berhenti menyemangati Muhammad. Ia sadar
bahwa Muhammad memegang tanggung jawab yang besar. Tak segan-segan, Khadijah
mengorbankan hartanya, menopang Muhammad dengan status yang dimilikinya dan
menabahkan hati sekuat tenaga mendampingi Beliau. Kesabaran Khadijah juga tanpa
batas. Ia sabar ketika ketika kedua putrinya; Ruqayyah dan Ummu Kultsum
diceraikan oleh suami-suami mereka yang kafir. Khadijah terus bersabar di
tengah ancaman kaum Quaraisy yang secara terbuka ingin menhabisi Muhammad dan
agama barunya. Atas dedikasinya ini, Jibril datang menyampaikan wahyunya untuk
Khadijah. Kata Jibril kepada Nabi, “ Sampaikan berita gembira kepada Khadijah. Ia
disediakan sebuah rumah dari permata di surga. Tak ada kebisingan, tak ada
kelelahan di dalamnya”. (HR. Bukhari)
Demi islam, Khadijah mengorbankan
segalanya. Beliau tidak pernah jenuh dan tak pernah sepatahpun terlontar sesal
dan keluh. Beliau tabah merawat Nabi saat kembali dengan luka disana-sini
sehabis dianiaya dan diolok-olok kaumnya sendiri. Beliau berdiri tegar
disamping Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,
meringankan penderitaannya dan membantu menjalankan misi Kerasulannya.
Kaum Quraisy yang semakin geram
melihat kian luasnya penerimaan islam di kalangan muda dan kaum dhuafa lalu
memutuskan untuk memboikot keluarga Nabi Muhammad SAW. Semua orang dilarang
bertransaksi jual beli, menikah engan keluarga Muhammad dan mengirimkan bahan
makanan kepada mereka. Selam tiga tahun, mereka menjalani kehidupan yang keras.
Namun Khadijah tetap berdiri tegar ditengah mereka. Sikapnya kokoh dan pantang
menyerah. Kesabaran yang ditunjukkannya begitu besar, padahal beliau wanita
kaya raya yang tidak pernah kenal melarat. Sikap inilah yang membuat Rasulullah
Shallallahu ‘alayhi wa Sallam kagum
kepada Khadijah.
Pemboikotan terhadap keluarga
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
berakhir ketika Khadijah meninggal dunia. Saat itu Nabi Muhammad SAW berusia 50
tahun dan beliau tak kuasa menahan sedih dan air mata. Rumah Nabi Muhammad
seakan gelap dan tak ada lagi keceriaan atas kepergian isteri yang dicintainya.
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
mengenang segala yang berhubungan dengan Khadijah, Beliau menghormati dan
memuliakan setiap orang yang pernah mengunjungi Khadijah.
Saudah
Binti Zam’ah
Setelah Khadijah wafat, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tidak
langsung menikahi wanita lain. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam baru
menikah kembali setelah berusia 55 tahun. Ada juga yang meriwayatkan ketika
beliau berusia 52 tahun. Yang pasti pernikahan kedua Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
dilangsungkan dengan seorang janda berusia 70 tahun yang memiliki 12 orang
anak.
Menurut Dr. Nizar Abazhah dalam buku
“Bilik-Bilik
Cinta Muhammad”, pernikahan kedua ini bukan berasal dari inisiatif
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,
melainkan dari seorang wanita sahabat Saudah, Khaulah binti Hakim yang merasa
iba melihat kesendirian dan kesedihan Nabi SAW yang datang bertubi-tubi.
Khaulah binti hakim kemudian mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan menyarankan agar beliau menikah
dengan dua orang wanita sekaligus, yaitu Saudah binti Zam’ah dan Aisyah binti
Abu Bakar. Untuk Aisyah, disarankan hanya sekedar dipinang lalu ditunggu sampai
dewasa dan siap berumah tangga. Sementara dengan Saudah langsung hidup serumah
dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam untuk memberi ketentraman batin, menghibur dan merawat puteri-puteri
beliau terutama si kecil Fatimah az-Zahra.
Usul ini diterima Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan beliau
mengutus Khaulah binti Hakim untuk melamar Saudah. Saudah sendiri adalah janda
tua yang hidup menderita karena ditinggal mati suaminya dan telah merasakan
pahit getirnya pulang pergi hijrah ke Habasyah. Melihat keadaan Sudah,
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
ingin meringankan penderitaannya, mengangkat derajatnya, menjaganya dari fitnah
kaumnya yang kafir dan sangat membencinya serta agar tidak dikawini oleh pria
yang tidak setara kemuliaannya. Dalam pernikahannya dengan Saudah, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menemukan
kembali ketentraman, tawa ceria dan kebahagiaan. Pembawaannya yang ceria dan
menyenangkan, ia curahkan untuk menghibur Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Karakter seperti iu merupakan
teladan yang baik bagi setiap istri dimanapun juga. Sudah juga membantu
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
menjaga anak-anaknya. Saudah wafat di akhir keKhalifahan Umar di Madinah. Dan
sebelum meninggal beliau mewariskan rumahnya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhu.
Aisyah
Binti Abu Bakar
Suatu ketika, Jibril datang kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
dengan membawa gambar Aisyah pada sepotong sutera hijau. Jibril lalu berkata,
“Ini adalah istrimu di dunia dan akhirat”. Aisyah adalah satu-satunya isteri
NabiSAW yang dinikahi dalam keadaan perawan.
Ada beberapa perbedaan pendapat
mengenai usia Aisyah saat dinikahi Nabi SAW. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa
putri sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq ini dinikahi Nabi SAW ketika masih
berusia sembilan tahun.
Pernikahan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
dengan Aisyah radhiayallahu ‘anha merupakan perintah langsung Allah SWT kepada
Rasulullah lewat mimpi yang sama selama tiga malam berturut-turut (HR.
Bukhari-Muslim). Karena inilah banyak yang mengatakan bahwa Aisyah menjadi
isteri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam yang paling diperhitungkan,
disamping keperawanannya dan kedudukan ayahnya sebagai satu-satunya orang yang
menemani Nabi bersembunyi di dalam gua.
Terhadapnya, Nabi juga selalu
berperilaku lembut dan mesra, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menjulukinya “Humayra” lantaran
kulitnya seperti bunga putih yang kemerah-merahan. Meski memiliki keistimewaan,
Aisyah seringkali memiliki rasa cemburu yang tinggi terhadap isteri-isteri Nabi
SAW lainnya. Bahkan ia juga cemburu terhadap mendiang Khadijah padahal ia tidak
pernah mengenal maupun bertemu dengannya.
Aisyah hanya mengetahui Khadijah
dari cerita-cerita Nabi SAW. Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyebut nama Khadijah dengan
keharuan memuncak disertai rasa rindu yang terlihat jelas. Pujian terhadap
Khadijah pun sering didengar Aisyah dari Nabi SAW. Jika diberi hadiah daging,
beliau akan menyisihkan yang terbaik lalu dikirimkan kepada sahabat-sahabat
Khadijah. Begitu pula ketika Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam menyembelih kambing atau memotong hewan kurban.
Pernah suatu kali, kecemburuan
Aisyah terhadap Khadijah meledak. Ia merasa Allah SWT telah memberikan
pengganti yang lebih dari Khadijah. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam cepat menampiknya, “Demi Allah aku tidak diberi ganti yang lebih baik
dari Khadijah. Ia beriman kepadaku ketika semua orang ingkar, ia melimpahkan
semua hartanya kepadaku ketika semua menyembunyikan tangan dan darinya Allah
memberiku keturunan ketika isteri yang lain tidak”. (HR. Bukhari).
Suatu kali, Aisyah juga pernah
terkena fitnah berselingkuh, yakni ketika ia menyertai Nabi SAW dalam perang
Bani Al-Musthaliq. Beberapa lama setelahnya, Allah SWT menerangkan wahyu yang
menerangkan kesucian Aisyah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nuur
ayat 11.
سُوۡرَةُ
النُّور
إِنَّ ٱلَّذِينَ
جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ عُصۡبَةٌ۬ مِّنكُمۡۚ لَا تَحۡسَبُوهُ شَرًّ۬ا لَّكُمۖ بَلۡ
هُوَ خَيۡرٌ۬ لَّكُمۡۚ لِكُلِّ ٱمۡرِىٍٕ۬ مِّنۡہُم مَّا ٱكۡتَسَبَ مِنَ ٱلۡإِثۡمِۚ
وَٱلَّذِى تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُ ۥ مِنۡہُمۡ لَهُ ۥ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬ (١١)
Surah CAHAYA
Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.
Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya.
Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam
penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar [*]. (11)
(QS An-Nuur [24] : 11)
[*]
Berita bohong ini mengenai istri Rasulullah s.a.w. 'Aisyah r.a. Ummul Mu'minin,
sehabis perang dengan Bani Mushtaliq bulan Sya'ban 5 H. Perperangan ini diikuti
oleh kaum munafik, dan turut pula 'Aisyah dengan Nabi berdasarkan undian yang
diadakan antara istri-istri beliau. dalam perjalanan mereka kembali dari
peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. 'Aisyah keluar dari sekedupnya
untuk suatu keperluan, kemudian kembali. tiba-tiba Dia merasa kalungnya hilang,
lalu Dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan
persangkaan bahwa 'Aisyah masih ada dalam sekedup. setelah 'Aisyah mengetahui,
sekedupnya sudah berangkat Dia duduk di tempatnya dan mengaharapkan sekedup itu
akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu seorang sahabat Nabi,
Shafwan Ibnu Mu'aththal, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan
Dia terkejut seraya mengucapkan: "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un,
isteri Rasul!" 'Aisyah terbangun. lalu Dia dipersilahkan oleh Shafwan
mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di
Madinah. orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut Pendapat
masing-masing. mulailah timbul desas-desus. kemudian kaum munafik membesar-
besarkannya, Maka fitnahan atas 'Aisyah r.a. itupun bertambah luas, sehingga
menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin.
Aisyah
hidup bahagia dengan Nabi SAW. Dan seperti wanita-wanita mulia lainnya yang
mendampingi Nabi SAW, Aisyah pun memberikan dukungan yang besar terhadap
perjuangan Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam. Aisyah selelu menyimak setiap kata yang disabdakan
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
kemudian menyampaikannya kepada para wanita di sekitarnya. Aisyah menjadi duta
Nabi SAW bagi kaum hawa. Banyak hal penting menyangkut agama yang tabu
ditanyakan langsung kepada Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam, dijawab melalui Aisyah. Sifat-sifat agung Aisyah
terlihat lebih nyata setelah Nabi SAW wafat. Aisyah memiliki kedalaman ilmu
agama yang luar biasa, bahkan melampaui kaum lelaki. Ia hafal 200 lebih hadits
dari Nabi SAW. Ia menjadi tempat para pengikut Nabi SAW menimba ilmu. Aisyah
pun menjawab banyak masalah yang diajukan para sahabat. Sampai-sampai Abu Musa al-Asy’ari
berkata, “Tidak ada satupun perkara yang sangat sulit bagi kami seaku sahabat
Nabi SAW kecuali ada jawabannya setelah kami tanyakan kepada Aisyah”.
Rumah Nabi yang di dalamnya terdapat
Aisyah dan kuburan Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam kerap menjadi ruang ilmu, sumber syari’ah islam dan forum
kajian fiqih tingkat tinggi. Semua dipimpin oleh Aisyah. Semua dipimpin oleh
aisyah. Para sahabat dan pengikut Nabi SAW sering berkumpul di sana
membicarakan berbagai persoalan dengannya dari balik tirai. Dan mereka selalu
memperoleh jawaban yang memuaskan. Seperti ditulis dalam banyak buku biography
Aisyah, bahwa beliau memiliki kecakapan yang tinggi dalam menguraikan secara
detil suatu persoalan.
Aisyah juga dikenal sebagai istri
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
yang gemar beribadah serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Selain itu
Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham atau satu
dinar pun. Dan Aisyah radhiayallahu ‘anha wafat pada usia 66 tahun.
Ummu
Salamah
Ummu Salamah adalah istri sahabat
nabi SAW, Abu Salamah yang pernah ikut bersusah payah hijrah ke negeri
Habasyah. Ia wafat pada tahun kedua setelah hijriyah setelah berjuang
menegakkan islam. Sepeninggal suaminya, Ummu Salamah harus menanggung empat
orang anak yang salah satu diantaranya masih menyusui. Ketika itu para pemuka
dari kalangan sahabat bergegas meminang Ummu Salamah sebagai tanda penghormatan
untuk suaminya dan untuk melindunginya. Mereka yang melamarnya adalah dua sahabat
Nabi SAW; Abu Bakar sh-Shiddiq dan Ummar bin Khattab. Namun Ummu salamah
menolaknya. Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam sendiri mulai memikirkannya dan ingin mengurangi
kesedihan Ummu Salamah. Beliau lalu mengutus Hathib bin Abi Balta’ah agar
menemui Ummu Salamah dan melamar untuknya. Ummu Salamah yang semula menolak
lamaran itu, akhirnya menerima.
Keistimewaan yang dimiliki Ummu
Salamaha adalah ketajaman logika, kematangan berpikir dan mampu memutuskan
banyak perkara dengan benar. Usia Ummu Salamah ketika menikah dengan Rasulullah
Shallallahu ‘alayhi wa Sallam sudah
tidak muda lagi. Dan ia pun telah mengatakan kepada nabi SAW, “Wahai Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam, orang sepertiku tidak layak untukmu. Usiaku sudah melewati
batas perkawinan dan tak mungkin lagi aku mempunyai keturunan. Aku wanita
pencemburu dan aku juga mempunyai anak-anak yang masih kecil yang harus aku
tanggung dan kujaga. Aku tak ingin gara-gara tak mau mereka, kewajibanku
sebagai istri terbengkalai”. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
menjawabnya melalui seorang utusan, “ Kecemburuan akan kumohonkan kepada Allah
SWT untuk dihilangkan, keluargamu kembalikan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya,
sedangkan menyangkut usiamu, aku lebih tua darimu”. Akhirnya
pernikahanpun terlaksana. Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam memberi mas kawin berupa perabot rumah tangga yang
nilainya tidak lebih dari 40 dirham.
Selama bersama dengan beliau,
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
memuji keluhuran akhlak dan kemurnian ilmunya. Salah satu sikap agung yang
ditunjukkannya adalah pada peristiwa Hudaibiyah. Hari itu Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bertolak
bersama para sahabat untuk melaksanakan umroh. Semua mengenakan pakaian ihram
dan menggiring hewan ternak. Akan tetapi sebelum sampai dicegat oleh kaum
Quraisy. Hampir saja terjadi pertumpahan darah jika tidak segera didapat
kesepakatan tertulis yang kemudian dikenal dengan “Perjanjian Hudaibiyah”.
Yakni pihak Nabi SAW dan rombongan mengalah pulang ke Madinah dan akan kembali
ke Makkah pada tahun berikutnya. Sebagi wujud nyata, seusai perjanjian damai
itu, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam menyeru kepada para sahabat agar bertahallul (mencukur rambut) dan
menyembelih hewan qurban. Namun tidak ada yang menggubris seruan beliau
karena mereka masih terpukul atas isi perjanjian itu yang dipandang merugikan
kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam kemudian masuk kek kamar Ummu Salamah dengan gusar. Ummu
Salamah kemudian tersenyum dan dengan tenang menyarankan kepada beliau untuk
tidak lagi menyerukannya namun langsung menunjukkan dengan perbuatan. “Kupikir,
keluarlah (ke tengah orang banyak) tetapi jangan berbicara dengan siapapun
sebelum kau sendiri bertahallul dan menyembelih hewan qurban. Ku yakin mereka
pun akan berbuat sepertimu”. Hati Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pun menjadi tenang. Cepat-cepat ia
keluar dan mengikuti saran istrinya. Orang-orang terpana memandang Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan tak lama pun mereka mengikutinya.
Ummu Salamah telah mengikuti
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
dalam banyak peperangan, yakni perang Khaibar, pembebasan Makkah, pengepungan
Tha’if, perang Hawazin, perang Tsaqif dan bersama beliau di Haji Wada’. Setelah
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
wafat, beliau senantiasa mengenangnya. Ummu Salamah sendiri wafat pada usia 84
tahun setelah hidupnya dipenuhi dengan aktivitas pengorbanan, jihad dan
kesabaran di jalan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Hafshah
Binti Umar bi Khattab
Hafshah adalah seorang janda yang
usianya belum genap 18 tahun. Suaminya adalah Khunais bin Haszafah al-Sahmi,
seorang syuhada yang gugur dalam perang Uhud. Hafshah lalu dipulangkan ke rumah
orang tuanya, Umar bin Khattab. Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam pun terenyuh dengan nasib Hafshah. Ia teringat dengan
sikap Umar saat membela Islam dengan gagahnya, bereni memperrtaruhkan jiwa dan kukuh membela kebenaran. Islam semakin
berrmartabat sejak Umar bin Khattab beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Atas pertimbangan tersebut, kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
meminang Hafshah.
Umar bin Khattab berpesan kepada
putrinya, Hafshah agar tidak berulah dan tidak berebut pengaruh atau memperdaya
Aisyah mengingat kedudukannya dan kedudukan ayahnya di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Pesan itu
diingat betul oleh Hafshah ketika ia pindah ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, ia
berusaha dekat dengan Aisyah dan tidak menyainginya.
Hafshah seorang wanita yang cerdas
dan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam selalu mendorongnya untuk mendalami ilmu. Karena ia pandai menulis,
ia rutin mencatatkan surat-surat dan ayat-ayat. Pada masa itu sangatlah jarang
kaum lelaki dan wanita yang bisa membaca dan menulis. Rupanya Allah SWT telah
menetapkannya sebagai penulis pertama dari satu-satunya naskah agung Al-Qur’an
di bawah pengawasan langsung Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam. Naskah itu tersimpan rapi dan sangat terjaga. Ditulis di
atas papan, tulang dan kulit. Karena itulah Hafshah dijuluki “si penjaga
Al-Qur’an”. Beliau juga seorang penghafal Al-Qur’an yang ulung, hatinya
jernih, shalat dan puasanya tak tertandingi. Tentang wafatnya Hafshah sebagian
riwayat mengatakan bahwa beliau meninggal pada tahun ke-47 pada masa
pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Zainab
Binti Khuzaimah al-Hilaliyah (Ibu Kaum Miskin)
Zainab binti Khuzaimah termasuk
dalam kelompok orang yang pertama-tama
masuk islam di kalangan wanita. Yang mendorong beliau untuk masuk islam adalah
akal dan pikirannya yang baik, menolak syirik dan menyembah berhala serta
selalu menjauhkan diri dari perbuatan jahiliyah. Zainab adalah salah satu
wanita yang membuat Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam prihatin karena suaminya gugur di medan perang Uhaud.
Suaminya adalah Abdullah bin Jahsy, sahabat agung yang mendapat kehormatan
sebagai syahid di arena perang.
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam meminang Zainab melalui seorang
utusan. Zainab kemudian tinggal bersama Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pada tahu ketiga setelah hijrah. Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam seringkali memuji sejarah hidup Zainab. Sejak zaman
jahiliyah, beliau sangat pemurah, dermawan dan selalu mengutamakan orang-orang
miskin dan papa ketimbang dirinya sendiri. Karena itulah beliau disebut “Ibunda
Kaum Miskin”. Padahal di zaman jahiliyah
itu beliau belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik, penyantun dan penderma
akan memperoleh phala di sisi Allah SWT.
Terdapat sejumlah perbedaan terkait
lamanya masa rumah tangga zainab dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.. Ada yang mengatakan bahwa mereka
hanya menjalani hidup berumah tangga hanya tiga bulan, sementara itu ada pendapat
lain menhatakan delapan bulan. Akan tetepi yang pasti kehidupan rumah tangga
mereka memang singkat, karena Zainab wafat ketika Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam masih hidup. Beliau wafat diusia yang
relatif masih muda, yakni kurang dari 30 tahun. Kematian Zainab membuat
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
terpukul karena mengingatkannya pada kematian mendiang istri pertamanya, Ibunda
Khadijah.
Raihanah Binti Zaid bin Amr
Para perawi hadits berselisih
pendapat tentang kehidupan Raihanah. Selain itu tidak banyak riwayat yang
menjelaskan istri Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam yang satu ini. Permasalahannya ada pada riwayat apakah
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
membebaskannya kemudian menikahinya atau beliau hanya menjadikannya sebagai
budak?. Sebaian riwayat mengatakan bahwa Raihanah termasuk salah seorang istri
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,
namun dalam riwayat lain mengatakan dia bukan istri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.
Dr. Nizar Abazhah dalam bukunya
“Bilik-Bilik Cinta Muhammad” menuliskan bahwa Raihanah adalah salah sorang
tawanan perang. Melihatnya Nabi SAW menjadi iba dan merasa prihatin. Raihanah
lalu ditawari untuk dibebaskan dan dijadikan istri, namun ia menolak karena
tidak ingin meninggalkan agamanya yaitu yahudi, “Biarlah saya menjadi tawananmu
saja” ujarnya. Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam bersedih dan berharap bahwa suatu saat ia akan menerima
islam. Harapan beliau terkabul, Allah SWT membukakan hati Rihanah pada islam. Raihanah
kemudian hidup damai dalam perlindungan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Disebutkan bahwa Raihanah wafat pada
tahun ke-10 hijriyah, sepulang Nabi SAW menunaikan Haji Wada’.
Juwairiah
Binti Harits bin Abu Dhirar
Seperti para istri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, Juwairiah
juga memiliki keistimewaan. Ia telah membawa berkah yang sangat besar kepada
kaumnya bani al-Musthaliq. Bagaimana tidak, setelah beliau memeluk islam, Bani
al-Musthaliq mengikrarkan diri menjadi pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Hal ini pernah diungkapkan Aisyah
ra., “Aku tidak pernah mengetahuai jika ada seorang wanita yang lebih banyak
berkahnya kepada kaumnya dari pada Juwairiah”.
Juwairiah adalah putri seorang
pemimpin bani al-Musthaliq yang bernama Harits bin Abi Dhiraar yang sangat
memusuhi islam. Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam memerangi mereka sehingga banyak dari kalangan mereka
yang terbunuh dan para wanitanya menjadi tawanan perang. Diantara para tawanan
tersebut diantaranya adalah Juwairiyah yang paa saat itu bernama “Burrah”.
Beliau meminta izin untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan minta dibebaskan sambil berlinang
air mata. Nabi Saw pun terenyuh melihatnya karena melihat perputaran nasibnya
dari wanita terhormat, berubah menjadi gembel dan hina. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam terdiam
sejenak, kemudian beliau berkata, “Aku akan menebus dan mengawinimu”. Lalu
Beliau mengganti namanya mnjadi Juwairiah. Begitu mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam telah
mengawini Juwairiah, maka segenap kaum muslim tanpa ragu membebaskan seluruh
warga Bani al-Musthaliq yang menjadi tawanan perang. Dengan demikian Juwairiah
telah menjadi titik pangkal kebaikan bagi kaumnya.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam wafat,
Juwairiah mengasingkan diri serta memperbanyak ibadah dan bersedekah di jalan
Allah SWT dengan harta yang diterimanya dari Baitul Maal. Ketika terjadi fitnah
besar berkaitan denga Aisyah, beliau banyak berdiam diri dan tidak berpihak
pada siapapun. Juwairiyah wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan
dalam usia 60 tahun. Beliau dikubur di Baqi’ bersebelahan dengan kuburan
isteri-isteri Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam yang lain.
Zainab
Binti Jahsy
Zainab adalah sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Beilau
putri dari bibinya, Umaymah binti Abdul Muthalib yang memeluk islam pada
masa-masa awal kenabian Muhammad SAW. Beliau merupakan sosok wanita agung,
kedudukannya tinggi dan garis nasabnya terhormat. Zainab kemudian dinikahkan
dengan Zaid bin Haritsah, budak kesayangan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang diangkat anak.
Rumah tangga mereka diwarnai dengan
ketidak sesuaian. Zaid lalu mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan berniat melepas Zainab. Ketika
dahulu mereka dijodohkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam keduanya memang sama-sama menolak. Sampai turun wahyu Allah
SWT yang berbunyi,
سُوۡرَةُ
الاٴحزَاب
وَمَا كَانَ
لِمُؤۡمِنٍ۬ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُ ۥۤ أَمۡرًا
أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ
وَرَسُولَهُ ۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَـٰلاً۬ مُّبِينً۬ا (٣٦)
Surah GOLONGAN YANG BERSEKUTU
Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mu’min dan tidak [pula] bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang
lain] tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
(QS
Al-Ahzaab [33] : 36)
Namun ketika tidak ada lagi jalan
keluar, mereka akhirnya bercerai. Dan selesai masa iddah Zainab selesai, Nabi
SAW mengutus Zaid untuk menyampaikan lamaran beliau. Saat itu Zainab tidak
langsung menjawab, karena ia ingin shalat istikharah terlebih dahulu. Namun
wahyu Allah SWT telah lebih dahulu turun.
سُوۡرَةُ
الاٴحزَاب
وَإِذۡ تَقُولُ
لِلَّذِىٓ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَأَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِ أَمۡسِكۡ عَلَيۡكَ
زَوۡجَكَ وَٱتَّقِ ٱللَّهَ وَتُخۡفِى فِى نَفۡسِكَ مَا ٱللَّهُ مُبۡدِيهِ
وَتَخۡشَى ٱلنَّاسَ وَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخۡشَٮٰهُۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيۡدٌ۬
مِّنۡہَا وَطَرً۬ا زَوَّجۡنَـٰكَهَا لِكَىۡ لَا يَكُونَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
حَرَجٌ۬ فِىٓ أَزۡوَٲجِ أَدۡعِيَآٮِٕهِمۡ إِذَا قَضَوۡاْ مِنۡہُنَّ وَطَرً۬اۚ
وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ مَفۡعُولاً۬ (٣٧) مَّا كَانَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ مِنۡ
حَرَجٍ۬ فِيمَا فَرَضَ ٱللَّهُ لَهُۖ ۥ سُنَّةَ ٱللَّهِ فِى ٱلَّذِينَ
خَلَوۡاْ مِن قَبۡلُۚ وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ قَدَرً۬ا مَّقۡدُورًا (٣٨)
Surah GOLONGAN YANG BERSEKUTU
Dan [ingatlah], ketika kamu berkata
kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni’mat kepadanya [*] dan kamu
[juga] telah memberi ni’mat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan
bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa
yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah
yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan terhadap isterinya [menceraikannya], Kami kawinkan kamu dengan dia [**] supaya tidak
ada keberatan bagi orang mu’min untuk [mengawini] isteri-isteri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (37)
Tidak ada suatu keberatanpun atas
Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. [Allah telah menetapkan
yang demikian] sebagai sunnah-Nya [***] pada
nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu
ketetapan yang pasti berlaku, (38)
[*]
Maksudnya: setelah habis idahnya.
[**] Yang
dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid
bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik
masuk Islam. Nabi Muhammadpun telah memberi nikmat kepadanya dengan
memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. ayat ini memberikan
pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.
[***] Yang
dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah mengerjakan sesuatu yang dibolehkan
Allah tanpa ragu-ragu.
(QS
Al-Ahzaab [33] : 37-38)
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam kemudian menikahi Zainab. Selama
berumah tangga dengan Nabi SAW, Aisyah mengakui kebaikan, keutamaan dan
ketaqwaan Zainab. Beliau berkata, “ Belum pernah kulihat seorang wanita yang lebih baik
dalam hal agama dari pada Zainab. Ia juga paling taqwa, jujur dalam berkata,
paling kuat menjalin silaturrahim, paling amanah dan paling banyak sedekah”.
Zainab wafat pada usia 53 tahun dan
disebutkan bahwa kematiannya tak berapa lama setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Beliau
dimakamkan di Baqi’. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa menjelang ajalnya Zainab
berkata, “Aku telah menyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan mengirim untukku
kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah satunya. Jika kalian dapat
bersedekah dengan semua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang lain”.
Mariyah
al-Qibthiyah
Mariyah adalah seorang wanita Mesir
yang dihadiahkan Maqauqis (penguasa Mesir) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pada tahun
ketujuh hijriyah. Mariyah adalah budak Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang kemudian dibebaskan dan
dinikahi. Dan Mariyah adalah satu-satunya isteri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, setelah
Khadijah ra. Yang memberikan seorang putera.
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam begitu gembira begitu mengetahui
Mariyah hamil dan melahirkan. Bayi itu kemudian diberi nama Ibrahim demi
mengabadikan kenangan akan pendiri Masjidil Haram, Nabi Ibrahim ‘Alayhissalam.
Sayangnya menginjak usia 1.5 tahun Ibrahim meninggal. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam wafat,
Mariyah hidup menyendiri dan mendedikasikan hidupnya untuk beribadah kepada
Allah SWT. Beliau wafat lima tahun setelah berpulangnya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, tepatnya
tahun ke-16 hujriyah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab dan
dikebumikan di Baqi.
Ummu
Habibah Binti Abu Sufyan
Ummu Habibah adalah puteri Abu
Sufyan, pemimpin kaum musyrikin di Makkah yang mempelopori penentangan terhadap
da’wah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam dan kaum muslimin. Dalam perjalanan hidupnya Ummu Habibah banyak
penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk islam beliau bersama
suaminya hijrah ke Habasyah. Sayangnya di negeri Habasyah suaminya murtad dari
agama islam dan beralih memeluk nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras dan
meninggal dalam keadaan tidak beriman.
Dalam kesunyian hidupnya, Ummu
Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena beliau tidak dapat
berkumpul dengan keluarganya sendiri maupun dengan keluarga suaminya di Makkah,
karena mereka sudah menjauhinya. Ketika mendengar penderitaan Ummu Habibah,
hati Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam terenyuh dan beliau berniat untuk menikahinya agar Ummu habibah
tidak terus bersedih.
Lalu diutuslah eseorang untuk
melamar Ummu Habibah. Berita pernikahn Ummu Habibah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menjadi
pukulan keras bagi Abu sufyan. Mengenai hal tersebut, Inbu Abbas meriwayatkan
fimman Allah SWT yang turun saat
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
menikahi Ummu Habibah.
سُوۡرَةُ
المُمتَحنَة
۞ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَجۡعَلَ بَيۡنَكُمۡ
وَبَيۡنَ ٱلَّذِينَ عَادَيۡتُم مِّنۡہُم مَّوَدَّةً۬ۚ وَٱللَّهُ قَدِيرٌ۬ۚ
وَٱللَّهُ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ۬ (٧)
Surah PEREMPUAN YANG DIUJI
Mudah-mudahan Allah menimbulkan
kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan
Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS
Al-Mumtahanah [60] : 7)
Beberapa saat setelah pernikahannya
dengan Ummu habibah, Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam bersama ribuan tentara islam menyerbu Makkah yang
didalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarganya. Abu Sufyan yang sebelumnya
sempat datang ke kediaman Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam dan Ummu Habibah di Madinah untuk mempengaruhi putrinya
agar meminta Nabi SAW membatalkan rencana penyerangannya ke Makkah, menjadi
semakin merasa tidak berdaya. Abu Sufyan sangat kecewa dengan keteguhan
puterinya, Ummu habibah. Abu Sufyan yang telah dikepung oleh puluhn ribu
tentara islam, menyadari bahwa memang sudah satnya kaum muslimin membalas
sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam merasa
kasihan melihat ketidakberdayaan Abu Sufyan lalu mengajaknya memeluk islam. Abu
Sufyan menerima ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya dengan kerendahan
hati. Dalam kisah ini, Allah SWT telah memberikan jalan keluar yang baik untuk
menghilangkan kesedihan Ummu Habibah, yaitu keislaman ayahnya.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam wafat,
Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Ummu Habibah sendiri wafat di tahun ke-44 hijriyah dalam
usia 70 tahun.
Syafiyyah
Binti Huyay Bin Akhthab
Syafiyyah adalah puteri seorang
pemimpin Yahudi. Ia bertemu Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam ketika menjadi tawanan perang setelah Nabi SAW berhasil
menumpas komplotan Yahudi dan menguasai benteng pertahanan mereka. Ketika itu,
Syafiyyah dan sepupunya digiring ke Bilal al-habsyi kehadapan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Hati
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
tersayat melihat air mata keduanya yang mengucur deras. Terlebih lagi setelah
mengetahui Bilal membawa mereka menyeberangi lautan mayat manusia dan masih
tercium bau darah yang menyengat dari medan perang itu. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam lalu
menegur perilaku Bilal. Syafiyyah kemudian disuruh berlindung di belakang
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
dan menutupinya dengan baju beliau. Segera setelah perang usai, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menikahi
Syafiyyah setelah sebelumnya diberikan pilihan, apakah mau tetap sebagai
tawanan atau menjadi isteri Nbi SAW. Syafiyyah kemudian memilih menjadi istri
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
dan menyatakan beriman kepada islam. Perlu diketahui bahwa sebelum menikah
dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam, Syafiyyah telah menikah dua kali dengan lelaki Yahudi.
Keberadaan Syafiyyah yang berparas
cantik dan molek sempat memancing rasa cemburu Aisyah dan Zainab. Suatu kali
ditengah perjalanan ibadah haji, unta yang ditunggangi Syafiyyah tidak mau
berjalan, ia pun lalu menangis dan Nabi SAW berulang kali menghiburnya, namun
air mata Syafiyyah tidak juga mereda. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam meminta Zainab untuk meminjamkan satu
dari beberapa untanya kepada Syafiyyah. Zainab jengkel dan berkata, “Apakah
untaku akan kuberikan kepada perempuan yahudimu?”. Perkataannya negitu menusuk
hati Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam dan beliau mendiamkannya serta tidak singgah ke kamarnya sepanjang
musim haji, bahkan hingga bulan Rabiul Awal berikutnya.
Aisyah dan Hafshah juga pernah
menyerang Syafiyyah dengan berkata, “Kami lebih mulia di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Kami adalah isteri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam sekaligus
puteri paman beliau”. Syafiyyah tersinggung dengan ucapan mereka dan
menceritakannya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam. Lalu Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam berkata, “Kenapa tidak kau jawab; bagaimana kalian bisa
lebih baik dari pada aku, sementara suamiku Muhammad, ayahku (Nabi) Harun dan
pamanku (Nabi) Musa?”.
Syafiyyah adalah saksi atas
kebenaran agama yang diturunkan untuk seluruh umat manusia, termasuk bagi kaum
Yahudi dan Nasrani. Ia selalu membuka pintu untuk mereka, tak pernah membenci,
meremehkan ataupun menghina mereka. Akhlak dan budi pekertinya luhur dan bijak.
Pernah suatu kali ia diadukan budak perempuannya kepada Ummar bin al-Khattab, ”Wahai
Amirul Mu’minin, Syafiyyah mencintai hari sabtu dan terus berhubungan dengan
orang Yahudi”. Umar segera mengklarifikasi kepada Syafiyyah. Syafiyyah lalu
berkata, “Hari Sabtu tak kucintai lagi sejak Allah SWT menggantikan untukku
hari Jumat. Sedangkan mengenai Yahudi, disitu terdapat famili dan aku
bersilaturahmi kepada mereka”.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam wafat,
Syafiyyah merasa terasing ditengah kaum muslimin yang masih menganggapnya
wanita Yahudi. Meski demikian, beliau tetap berkomitmen pada islam dan
mendukung perjuangan Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam. Syafiyyah wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu
Sufyan dan dikebumikan di Baqi’.
Maimunah
Binti Al-Harits
Maimunah adalah isteri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam setelah
Khadijah yang mencintai beliau dengan tulus selama mengarungi bahtera rumah
tangga bersama. Dialah satu-satunya wanita yang ikhlas menyerahkan dirinya
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam ketika keluarganya hidup dalam kebiasaan jahiliyah. Allah SWT
berfirman tetang hal ini dan memberikan kesaksiannya terhadap keikhlasan
Maimunah kepada Allah SWT dan Rasulnya,
سُوۡرَةُ
الاٴحزَاب
يَـٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّبِىُّ إِنَّآ أَحۡلَلۡنَا لَكَ أَزۡوَٲجَكَ ٱلَّـٰتِىٓ ءَاتَيۡتَ
أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتۡ يَمِينُكَ مِمَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَيۡكَ
وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّـٰتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ
خَـٰلَـٰتِكَ ٱلَّـٰتِى هَاجَرۡنَ مَعَكَ وَٱمۡرَأَةً۬ مُّؤۡمِنَةً إِن وَهَبَتۡ
نَفۡسَہَا لِلنَّبِىِّ إِنۡ أَرَادَ ٱلنَّبِىُّ أَن يَسۡتَنكِحَہَا خَالِصَةً۬
لَّكَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۗ قَدۡ عَلِمۡنَا مَا فَرَضۡنَا عَلَيۡهِمۡ فِىٓ
أَزۡوَٲجِهِمۡ وَمَا مَلَڪَتۡ أَيۡمَـٰنُهُمۡ لِكَيۡلَا يَكُونَ عَلَيۡكَ حَرَجٌ۬ۗ
وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا (٥٠)
Surah GOLONGAN YANG BERSEKUTU
Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah
menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan
hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam
peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan [demikian pula] anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan
anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu
dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min.
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang
isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi
kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS
Al-Ahzaab [33] : 50)
Dalam riwayat dikisahkan bahwa
sebelum Maimunah dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam, ia telah menikah dengan laki-laki musyrik yang mati
dalam keadaan syirik dan menjanda di usia 26 tahun. Setelah suaminya meninggal,
maimunah dengan leluasa dapat menyatakan keimanan dan kecintaannya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam,
sehingga dengan suka rela ia menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam untuk
dinikahi.
Maimunah memperlakukan isteri-isteri
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
yang lain dengan baik dan penuh penghormatan dengan tujuan mendapatkan
keridhaan hati Nabi SAW semata. Aisyah menggambarkan Maimunah sebagai berikut,
“Demi Allah SWT, Maimunah adalah wanita yang baik kepada kami dan selalu
menjaga silaturahmi diantara kami”.
Maimunah dikenal dengan kezuhudannya, ketaqwaannya dan sikapnya yang
selalu ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diceritakan pula bahwa
penguasaan ilmu beliau juga sangat luas.
Maimunah adalah isteri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallami yang terakhir.
Sehari-hari beliau menyibukkan diri dengan beribadah dan tenggelam dalam zikir
kepada Allah SWT. Di rumahnya beliau mengasuh seorang yatim bernama Ubaidillah
al-Khaulani. Dan menurut riwayat Maimunah wafat di usia 80 tahun.
Wallahu a’lam bishshawab…
Sumber :
Majalah AULIA ~ Inspirasi Wanita ,
No. 12 Tahun IX Rajab 1433 – Sya’ban 1433 [ Juni 2012 ]
Halaman 26-41, Naskah Meutia Rahmi.
0 komentar:
Posting Komentar