Penulis : Chuck Palahniuk
Penerjemah : Budi Warsito
Penerbit : Jalasutra
Tebal : x + 285 Halaman
“… memperoleh perhatian Tuhan karena berbuat jahat lebih baik
dari pada tidak memperoleh perhatian sama sekali.
Mungkin karena kebencian Tuhan lebih baik
daripada ketidakpedulian-Nya.”
(hal. 191)
Jika ada yang bertanya, apa yang menjadi pertimbanganku memilih novel ini sebagai teman di akhir pekan, mungkin kalian bisa menemukan jawabannya di cover bagian belakang novel ini.
Yups…
Komentar-komentar itu menstimulus keingintahuanku.
Seberapa ganjilkah? Sepekat apa kegelapannya? Sesadis apa kekejamannya? Sesedih apa kemuramannya? Sedahsyat apa guncangannya? atau separah apa daya rusaknya terhadap syaraf?....
Semua Tanya itu menggelayut riang dikepalaku.
Kata demi kata… Kalimat demi kalimat… paragraf demi paragraf… bab demi bab…
Ya Tuhan… benar-benar bacaan yang tak biasa…
Sebenarnya tema yang diangkat oleh Chuck Palahniuk adalah fenomena sosial yang sering terjadi disekeliling kita. Tetapi cara penyajiannya yang tidak biasa bahkan terkesan aneh, “sinting“ bahkan menjijikkan ini membuat novel ini layak mendapat apresiasi yang tidak biasa.
Dewasa ini keberadaan single parent khususnya single mother di sekitar kita sudah tidak asing selain itu masyarakat juga lebih dewasa menyikapinya. Tetapi bagaimana kondisi psikis anak yang dibesarkan oleh single mom? Seperti apa laki-laki yang dibesarkan dalam budaya feminis (matriarchal)? Bisakah anak laki-laki menjadi maskulin tanpa campur tangan seorang ayah atau laki-laki lain dalam keluarga? Banyak yang sudah membahasnya termasuk dalam novel ini.
“ Aku, aku mengenal ayahku selama kurang-lebih enam tahun, tapi aku tidak mengingat apapun. Ayahku, ia memulai sebuah keluarga baru di kota baru setiap kurang-lebih enam tahun. Itu bukan keluarga melainkan lebih seperti membuka kantor cabang. “ (hal. 59)
Mungkin kalimat ini bisa dijadikan salam pembuka untuk mengenal sosok si tokoh utama yang juga berperan sebagai narator dalam novel ini. Kalimat itu sepertinya menunjukkan kemarahan, kebingungan juga keputus-asaan dan sang narator menceritakan kisahnya secara “flashback”.
Si tokoh utama memperkenalkan dirinya dengan nama “Joe“. Joe bekerja sebagai pegawai di sebuah persahaan otomotif. Ia yang bertanggung jawab untuk menarik produk-produk cacat yang telah beredar di konsumen dengan menggunakan metode rasio manfaat/biaya (benefit/cost, B/C). Beban kerja yang berat ditambah seringnya melakukan perjalan bisnis ke berbagai kota membuat Joe mengalami kelelahan secara phisik dan mental. Ia merasa jenuh dan stress yang akhirnya berkembang menjadi insomnia.
Suatu hari ia mendatangi seorang dokter untuk membantu masalah insomnia-nya. Dokter itu mengatakan; “…Insomnia hanyalah gejala dari sesuatu yang lebih besar. Cari apa yang salah. Dengarkan tubuhmu”. Dokter itu memberikan alternative tang bersifat tradisional sedangkan Joe membutuhkan sesuatu yang lebih instant. Akhirnya dokter itu menyarankan agar Jo mendatangi sebuah klub motivasi pagi para penderita kanker tertis bernama Remaining Man Together yang jadwal pertemuannya setiap minggu sore. Mungkin maksud dokter itu supaya Joe bisa mengambil hal-hal positif untuk mengobati rasa sakitnya karena insomnia. Tetapi ternyata tidak demikian yang dipikirkan oleh Joe.
Berawal dari Remaining Man Together kegiatan Joe dimalam hari bertambah dengan memasuki klub-klub motivasi lainnya. Mungkin kegiatan inilah yang kemudian menstimulasi pembelahan jiwa dan karakter Joe karena disetiap klub yang dimasukinya ia selalu menggunakan nama samaran, seperti; Bob, Paul, David atau Terry. Sebenarnya Joe tidak mengalami sagala hal yang diderita oleh para anggota klub tersebut. Ia sengaja berbohong untuk mengobati insomnianya. Kegiatan yang penuh tipuan itu berlangsung selama dua tahun. Di sebuah klub akhirnya Joe bertemu dengan Marla Singer, seorang perempuan kesepian yang menggunakan trik kotor yang sama untuk mengobati krisis jiwanya. Joe tidak menyukai Marla karena perempuan itu seperti cermin dari semua kebohongannya. Untuk mengatasi masalah mereka akhirnya Joe dan Marla melakukan negosiasi agar mereka tetap dapat menghadiri acara klub-klub motivasi tanpa harus bertemu satu dengan lainnya untuk menghindari konfrontasi. Meski demikian mereka tetap hidup dengan berbagai kegelisahaan dan kekosongan.
Sosok Tyler Durden mulai muncul dari dalam diri Joe ketika ia sedang menikmati liburan akhir musim panas di pantai LAX. Joe mengenal Tyler sebagai seorang yang sangat bebas dengan ide-ide ekstrim. Tyler bekerja sebagai operator proyektor paruh waktu dari sebuah perusahaan dan ia juga mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pelayan pada pesta-pesta jamuan makan malam di hotel. Suatu hari rumah Joe terbakar dan kemudian ia tinggal bersama Tyler yang menyewa sebuah rumah di Paper Street. Sebelumnya Joe harus bernegosiasi dengan Tyler agar ia bersedia membantunya. Joe berkata; “…Bebaskan aku Tyler, dari menjadi sempurna dan mapan”.
Lalu Tyler mengajukan syarat; “Aku ingin kau memukulku sekeras mungkin”.
Inilah cikal bakal “Fight Club”. Apa yang dilakukan oleh Joe dan Tyler menarik minat banyak laki-laki. Menurutku Fight Club berisi orang-orang yang mempunyai benang merah derita dan karakter yang hampir sama sehingga keberadaan klub itu cepat meluas dan membesar. Sebagai pendiri Tyler menyusun peraturan yang harus ditaati oleh seluruh anggota Fight Club dengan harga mati. Peraturan Fight Club adalah:
- Jangan berbicara tentang Fight Club.
- Jangan berbicara tentang Fight Club.
- Jika seseorang telah mengatakan berhenti atau menyerah baik itu berpura-pura atau tidak , maka pertarungan harus berakhir.
- Dua orang dalam tiap pertarungan dan setiap pertemuan satu pertarungan bagi yang telah siap.
- Tanpa sepatu dan baju dalam setiap pertarungan.
- Pertarungan berlangsung selama yang dibutuhkan.
- Jika kamu baru bergabung di Fight Club maka kamu harus bertarung
( Bab 6, hal.56-60)
Kemudian menyusul dua peraturan tambahan yaitu;
- Tidak ada seorangpun yang menjadi pusat perhatian dari Fight Club kecuali dua orang petarung.
- Fight Club akan selalu menjadi klub yang bebas.
Awalnya aku mengira novel ini bercerita tentang persahabatan antara dua orang pria dewasa yang mempunyai nasib, latar belakang dan karakter yang hampir sama tetapi ketika Marla hadir diantara keduanya, aku langsung mengubah opiniku. Setelah ku simak ulang ternyata Tyler adalah Joe dan Joe adalah Tyler. Seperti kisah ”Sybill” kepribadian Joe terbelah dalam sosok Tyler yang lebih maskulin, kharismatik, bebas dan penuh dengan ide-ide gila.
“Tyler dan Marla tak pernah berada di ruangan yang sama. Aku tak pernah melihat mereka pada saat bersamaan.” (Hal. 80)
Karena Marla Singer mengenal Joe maka secara tidak langsung ia juga diperkenalkan dengan sosok Tyler. Menurut cerita Marla Singer adalah seorang wanita dengan kondisi kejiwaan yang agak terganggu. Suatu malam Marla menghubungi Joe untuk meminta pertolongan tetapi saat itu Joe tengah berubah menjadi Tyler sehingga pribadi Tyler-lah yang datang ke tempat tinggal Marla Singer dan menggagalkan usaha bunuh diri yang akan dilakukan oleh wanita itu.
Karena keberadaan Fight Club sudah meluas ke berbagai kota dan anggotanya juga sudah banyak maka Tyler melanjutkan proyeknya dengan mendirikan “Project Mayhem”. Project Mayhem bertujuan untuk menggulingkan peradaban dan anggotanya sebagian besar terdiri dari anggota Fight Club.
“… Project Mayhem akan menghancurkan peradaban hingga kita bisa menbangun suatu dunia yang lebih baik.” ( Hal.167)
Project Mayhem bermarkas di rumah sewaan Tyler di Paper Street dan kegiatan utamanya adalah membuat sabun dari lemak manusia yang bahan dasarnya diambil dari tempat pembuangan limbah rumah sakit. Project Mayhem ini juga mempunyai aturan yang mutlak harus dipatuhi oleh setiap anggotanya.
- Kau tak boleh bertanya apapun.
- KAu tak boleh bertanya apapun.
- Tak ada alasan.
- Tak ada kebohongan.
- Kau harus mempercayai Tyler.
(Bab 16, Hal. 156-168)
Awalnya Project Mayhem ini membuat Joe nyaman dan Tyler pun selalu memotivasi anggotanya bahwa mereka mempunyai kekuatan untuk mengontrol sejarah dan menguasai dunia. Tetapi setelah Robert Paulson (Bob), teman Joe di Klub Remaining Man Together meninggal ditembak oleh polisi, Joe berusaha untuk menghentikan Project Mayhem karena ia menyadari lambat laun kegiatan organisasi mereka meresahkan dan cenderung mengarah pada anarkisme. Apalagi ketika musuh Project Mayhem, utusan walikota untuk urusan daur ulang bernama Patrick Madden terbunuh, Joe semakin menyadari penyakitnya.
“Kita bukan dua orang yang berbeda, singkatnya, ketika kau bangun, kau yang mengontrol, dank au bias memanggil dirimu dengan nama apapun, tetapi tepat setelah kau tidur, aku mengambil alih, dan kau menjadi Tyler Durden”. (Hal.229)
Joe juga disibukkan dengan kegilaan Tyler yang lain karena target selanjutnya adalah meruntuhkan symbol kemapanan, sebuah gedung tertinggi bernama Parker-Morris. Sebenarnya yang menjadi tujuan Tyler adalah meruntuh Museum Sejarah yang berdiri di samping gedung Parker-Morris. Ia menganggap museum itu sebagai hasil budaya masyarakat yang penuh kemunafikan dan kegagalan.
Meskipun terlambat akhirnya Joe menyadari bahwa dirinya mempunyai kepribadian ganda. Ia berusaha keras untuk menghentikan kekuasaan Tyler terutama pada dirinya. Dengan bantuan Marla Joe mencoba menyusun kembali kepingan kepribadiannya. Akhirnya di atap gedung Parker-Morris, Joe berhadapan dengan Tyler. Setelah mempermalukan Joe yang menodongkan pistol ke mulutnya sendiri, Tyler meninggalkan Joe bersama seperangkat bom. Nomun bom itu urung meledak karena komposisinya salah. Marla datang ke atap bersama anggota klub-klub yang sering mereka datangi untuk menolong Joe. Tetapi sepertinya semua sia-sia karena itu hanya halusinasi Joe saja.
Beberapa saat kemudian Joe terbangun disebuah sakit (kemungkinan rumah sakit jiwa). Dan Joe mempecayai bahwa dirinya sudah meninggal dan saat ini sedang berada di surga. Joe merasa masih berhubungan dengan Marla dan anggota Project Mayhem juga masih mengharapkan kehadirannya untuk meneruskan perjuangan mereka yang terhenti.
Jadi kesimpulannya adalah, bahwa ternyata kepribadian Joe itu terbelah menjadi tiga. Yang pertama menjadi Tayler Durden yang mewakili sisi maskulin, bebas dengan mobilitas yang tinggi dan cenderung anarkis. Yang kedua menjadi Marla Singer yang mewakili sisi feminin, meski agak kelam tetapi menyukai kedamaian. Dan yang ketiga Joe yang menjadi dirinya sendiri.
Jujur saja aku mengalami kesulitan memahami novel ini. Pertama karena alurnya yang sangat cepat dan yang kedua karena gaya bahasanya (mungkinkah ada distorsi dalam proses penerjemahannya?).
Yang paling mengasyikkan dari novel ini adalah banyak ide-ide aneh, menjijikkan dan ekstrem yang dituangkan secara detil. Contohnya saja cara pembuatan bom dari jus jeruk beku, diet cola atau dengan kotoran kucing, lalu cara pembuatan sabun dari lemak hasil liposunction. Lelucon tentang Kokpit dan kondom juga ada (hal.48). Bahkan hal yang paling menjijikkan dari petualangan mereka adalah bersin di atas masakan atau mengencingi dan memuncratkan sperma ke dalam sup hangat siap santap (yeaxxx….)
Tetapi ada juga informasi berguna seperti cara kerja proyektor film dan cara mengganti gulungannya (hal.25) dan guna soda api untuk melancarkan saluran pembungan yang tersumbat (hal.93).
Penulis novel ini bernama lengkap Charles Michael Palahniuk (Pasco Washington 21 February 1961) dan ini adalah novel pertamanya (1996). Selain sukses dipasaran, berdasarkan informasi yang diambil dari wikipedia novel ini juga mendapat The 1997 Pacific Northwest Booksellers Association Award dan The 1997 Oregon Book Award for Best Novel.
Chuck Palahniuk termasuk dalam jajaran penulis Generation X dengan gejala edgy (sesuatu yang sebaiknya tidak untuk ditebak). Dalam berkarya ia mempunyai gaya pemberontak yang khas, yang kemudian dinamai gejala Wry Athmosphere, semacam segala sesuatu yang serba “ngaco”.
Kesuksesan Fight Club mendapat sambutan dari seorang sutradara bernama David Fincher yang memindahkan ceritanya ke dalam pita seluloid pada tahun 1999. Film ini dibintangi oleh Brad Pitt dan Edward Norton dan sukses di pasaran. Sayang aku belum sempat nonton filmnya.
Dengan semua kelebihan dan kekurangan yang ada pada novel ini, aku sangat menikmati setiap detilnya. Satu hal yang patut dicermati bahwa tidak selamanya kemapanan itu membawa kebahagiaan. Karena dengan kemapanan hidup jadi membosankan, jenuh dan kurang berirama. Kondisi itu tentu saja bisa menimbulkan presenden buruk karena orang bosan bisa menjadi liar dan tidak terkontrol.
~*Rienz*~
1 komentar:
pijam novelnya donk :)
Posting Komentar