Jumat, 17 Desember 2010
LELAKI TUA DAN LAUT
( The Old Man and The Sea )
Penulis : Ernest Hemingway
Penerjemah : Yuni Kristianingsih Pramudhaningrat
Penerbit : Serambi
Cetakan : I , Mei 2008
Tebal : 145 halaman
Cukup lama juga aku menunggu kehadiran novel ini dalam edisi bahasa Indonesia. Dan akhirnya penantianku terbayar karena novel ini akhirnya muncul di stand Serambi sewaktu IKAPI menyelenggarakan pesta buku dari tanggal 27 Juni hingga 5 Juli 2009. Ngomong-ngomong aku juga menyukai cover bukunya yang merupakan karikatur dari tokoh utama novel itu ditambah lagi permainan warna yang mampu mendramatisir isi ceritanya.
Tidak heran jika Hemingway banyak dianugerahi penghargaan sastra yang sangat prestisius karena dia seorang yang mumpuni dalam mengungkapkan semua imajinasi dan rasa ke dalam kata. Contohnya saja novel yang baru selesai aku baca ini, “ Lelaki Tua dan Laut “ yang sarat makna meski disampaikan secara ringan tanpa banyak metafor yang terkadang membuat kita ( agak ) sulit untuk mencernanya.
Alkisah di daerah teluk Kuba tinggallah seorang nelayan tua bernama Santiago. Ia bersahabat dengan seorang anak laki-laki remaja bernama Manolin. Manolin sangat menyayangi Santiago karena selain lelaki itu telah sebatang kara, ia tidak sungkan-sungkan membagi kepandaiannya dalam melaut kepada Manolin. Begitu pula sebaliknya Santiago, hidupnya yang sepi seakan mencair jika ada Manolin, lagi pula hanya Manolin yang perduli dengan dirinya semenjak isterinya telah tiada. Keduanya juga sangat menyukai olahraga baseball. Saking akrabnya hubungan mereka membuat Santiago menganggap Manolin seperti anak kandungnya sendiri yang tak pernah dimiliki. Santiago juga tidak segan-segan mengajak Manolin untuk melaut. Mereka selalu merasa bahagia meski terkadang pulang melaut tanpa hasil.
Tetapi kebahagiaan itu harus terhenti karena empat puluh hari kemudian orang tua Manolin melarang anaknya melaut bersama Santiago. Orang Tua Manolin men-cap Santiago sebagai Salao, yaitu orang yang tersial dari yang tersial karena selalu pulang melaut dengan tangan kosong. Manolin kemudian bergabung dengan kapal pencari ikan lainnya yang lebih berhasil. Meski demikian perhatian Manolin terhadap segala kebutuhan Santiago tidaklah berkurang karena dia tidak tega membiarkan orang tua itu menderita. Mereka sering bertukar cakap dan sangat bersemangat bila sudah membicarakan pemain baseball favorit Santiago yang bernama Di Magio yang ayahnya juga berprofesi sebagai nelayan.
Meskipun Manolin tidak bisa lagi menyertainya melaut, Santiago tetap menjalankan rutinitasnya sebagai nelayan. Santiago sangat menyadari bahwa semakin lanjut usianya maka perlahan-lahan keberuntungan seolah-olah juga menjauh darinya, mungkin faktor fisik yang bermain disini tetapi Santiago tetap sabar dengan pekerjaan dan laut yang dicintainya. Dan sampailah dihari ke-85, ia masih melaut sendiri tetapi kali ini Santiago memilih tempat yang agak jauh untuk memasang umpannya dengan harapan dewi fortuna akan mendekatinya. Menjelang tengah hari umpannya bergerak dan itu adalah pertanda bahwa kali ini dia pasti pulang membawa ikan. Tetapi setelah mengetahui bahwa hasil tangkapannya kali ini sangat istimewa besarnya, dia memasang strategi agar dapat menaklukkannya. Seekor ikan Marlin raksasa telah memakan umpannya. Ia tidak menarik ikan itu karena tenaganya kalah jauh dengan ikan itu, malah sebaliknya Marlin raksasa itu yang membawa sampannya kesana-kemari. Selama dua hari Santiago adu kekuatan dan kesabaran dengan “ si marlin “ dengan cara menahan tegangan tali kail yang dililitkan ke tubuhnya. Selain tenaganya terkuras Santiago juga mengalami cedera, meski demikian dia bahagia karena membayangkan bahwa kesialannya akan segera berakhir. Setelah dua hari Marlin raksasa berputar-putar mengelilingi sampan karena ia juga kepayahan dan frustasi. Santiago tidak menyia-nyiakan peluang itu dan ia membunuh Marlin raksasa itu ketika ikan itu keluar dari laut.
Santiago bangga sekali dengan hasil tangkapannya dan ia mengikat Marlin itu pada sampannya untuk dibawa pulang. Santiago gembira bukan main dan angan-angannyapun melambung tinggi, ia membayangkan berapa uang yang akan ia peroleh dari ikan Marlin raksasa itu. Kegembiraan itu membuat Santiago lupa diri meski hanya di dalam hati. Ia menganggp ikan itu adalah segalanya dan tidak ada yang berhak selainnya. Ia lupa jika Tuhan dan alampun ikut berperan dalam keberhasilannya. Perjuangan Santiago ternyata belum berakhir karena dalam perjalanan pulang, ikan Marlin hasil tangkapannya menarik perhatian berbagai macam ikan hiu. Dan Santiago harus berjuang mati-matian untuk mempertahankannya meski akhirnya dia harus kalah.
Ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari cerita ini. Pertama tentang kesabaran dan perjuangan. Jika kita ingin berhasil mendapatkan atau meraih sesuatu yang kita damba-dambakan kita harus memperjuangkannya dan selalu bersabar dalam prosesnya. Kedua adalah keberhasilan seseorang itu ditentukan oleh beberapa faktor. Pertama tentu saja tingkat kapabilitas yang datangnya dari dalam diri seseorang, misalnya tingkat keahlian dan intelektual seseorang. Kedua faktor eksternal yang datangnya dari lingkungan sekitar kita karena alam semesta mempunyai kekuatan dan cara untuk menyeimbangkan berbagai macam kehidupan yang ada di dalamnya dari ketimpangan. Dan yang terakhir dan yang paling penting dan paling utama adalah faktor spiritual yang datangnya dari Tuhan yaitu Allah SWT. Bahwa segala tindak-tanduk kita hendaknya atas kuasa Allah karena Dialah Yang Maha Menentukan, Dialah Raja Dari segala Raja di Semesta Alam Jagad Raya ini.
Membaca karya Hemingway ini aku jadi teringat dengan kata-kata Budi Dharma bahwa setiap karya sastra yang baik pada hakikatnya adalah kisah berkecamuknya pikiran dan pandangan orang-orang yang tidak malu-malu mengakui siapa mereka sebenarnya. Dan Santiagopun dengan segala keterbatasan dan kelebihannya mampu berkata dan berlaku jujur.
~* Rienz *~
Diposting oleh
atik
di
11:57:00 AM
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Cerita Buku,
Ernest Hemingway
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar