Chitra Banerjee Divakaruni
Penerjemah : Gita Yuliani K.
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan : Jakarta, februari 2004
Tebal : 272 Halaman
Hal pertama yang aku suka dari novel ini adalah covernya, gambar gunung-gemunung, keong dan sepasang mata dengan dasar coklat. Menarik, tidak terlalu kanak-kanak dan sesuai dengan isi cerita. Novel ini sebenarnya juga tidak terlalu tebal, tetapi ukuran huruf yang digunakannya dalam penulisannya ( yang aku rasa ) disesuaikan dengan selera anak-anak, membuat novel ini boros halaman.
Aku pernah menemukan kalimat yang sangat menarik dalam sebuah buku, tapi sayang sekali aku tak ingat buku apa yang aku baca, siapa pengarangnya atau kapan dan dimana tepatnya ku temukan kalimat itu. Kalimat itu berbunyi :
Rahasia memberikan keajaiban yang kita inginkan ; kebahagiaan, kesehatan, kesejahteraan juga kedamaian.
Bila kita bias melihatnya dalam benak, percayalah kita akan dapat menggenggamnya.
Kiranya itulah kesan pertama yang aku rasakan setelah membaca salah satu karya Chitra Banerjee Divakaruni. Terlalu biasa memang tetapi sudah seharusnya setiap individu bertanggung jawab dengan kedamaian, harapan dan kehormatannya masing-masing.
Di Kolkata tinggallah seorang anak bernama Anand. Meski masih berusia dua belas tahun, dia mempunyai tanggung jawab yang besar untuk bisa membahagiakan ibu dan adik perempuannya, Meera. Sebelumnya keluarga Anand hidup bahagia tetapi setelah ayahnya merantau ke Dubai untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik, hidup mereka menjadi pincang karena secara tiba-tiba ayahnya menghilang tanpa kabar. Diakhir kisah diceritakan bahwa ayahnya menghilang karena ia dijebloskan ke penjara atas kesalahan yang tidak diperbuatnya. Untuk kelangsungan hidup keluarganya, Anand bekerja di kedai teh milik Haru. Haru bukanlah seorang majikan yang baik karena dia selalu menyiksa Anand secara lahir dan bathin.
Suatu hari di depan kedai teh hadir seorang tua yang berpenampilan lusuh. Merasa terganggu dengan kehadiran Orang itu, Haru memaki dan mengusirnya. Melihat kejadian itu jiwa kemanusiaan Anand terusik dan akhirnya dia meluangkan waktu untuk berbaik hati kepada Orang Tua itu dengan segelas the dan bebearpa potong kue. Ternyata orang tua adalah seseorang yang istimewa. Ia bernama Abhaydatta dan dia sedang dalam tugas untuk melindungi sebuah keong yang menjadi “ magic-mascot “ persaudaraan para penyembuh yang mendiami Lembah Perak di sekitar Himalaya. Keong itu bukanlah keong biasa karena benda itu dapat berbicara serta mengeluarkan kekuatan magis dan sangat berbahaya jika benda itu bias dikuasai oleh orang jahat. Melihat bakat, kebaikan serta ketulusan hati anak itu, Abhaydatta kemudian menawarkan sebuah petualangan yang selama ini hanya menjadi fantasi dan misteri bagi Anand.
Berawal dari pertemuan di kedai teh itulah hidup Anand kemudian berubah. Bersama Abhaydatta dan Nisha, gadis kecil yang tinggal di kolong kios minuman, Anand memulai hari-harinya sebagai “ pembawa keong “. Bertiga, mereka berpetualang dari kota yang satu ke kota yang lain untuk melepaskan diri dari kekuatan jahat Surabhanu yang ingin menguasai keong dan merusak kedamaian Lembah Perak. Mereka berusaha sekuat tenaga membawa keong itu ke tempatnya semula di Lembah Perak. Petualangan menuju Lembah Perak bukanlah perjalanan yang mudah dan menyenangkan karena Surabhanu dengan segala tipu dayanya berusaha menggagalkan misi mereka dan mengambil alih keong itu.
Meski pada akhirnya kebaikan selalu menjadi pemenangnya tetapi bukan berarti petualangan Anand sudah berhenti. Karena dalam diri Anand sendiri timbul pertentangan yang sangat berpengaruh pada masa depannya.
Dari alur ceritanya The Conch Bearer termasuk dalam novel anak-anak tetapi nilai-nilai kebajikan yang ingin disampaikan oleh penulisnya bersifat universal, yaitu tetang kasih sayang dan tanggung jawab terhadap diri dan lingkungannya. Hal itu bisa dilihat pada halaman 203, ketika para penyembuh mengajukan pertanyaan sewaktu Anand merasa frustasi dengan nasib Abhaydatta dan Nisha. Para Penyembuh bertanya,
“ Yang mana diantara ketiga kebajikan ini yang paling penting, kejujuran, kesetiaan atau welas asih ? “
Dan dalam kebimbangannya ternyata Anand mempunyai jawaban yang sangat jitu,
“ Aku tidak bisa hanya memilih satu. Ketiga kebajikan itu saling terkait-tidak ada yang bisa hadir tanpa yang lain. Tanpa salah satu, yang lain kehilangan bumbu. Kejujuran tanpa welas asih terlalu kasar untuk menghasilkan yang baik. Welas asih tanpa kesetiaan tidak mempunyai kekuasaan, maka kau tidak bisa menolong yang kau kasihi. Kesetiaan tanpa kejujuran mungkin bisa menyebabkan kau mengikuti orang yang salah, atau tujuan yang salah “.
Hhhmmm… Aku rasa ini jawaban yang sangat hebat buat anak berusia dua belas tahun. Tapi mungkin hiduplah telah menempanya menjadi pribadi yang tegar dan sensitive.
Secara keseluruhan novel ini bagus tetapi ada bagian yang mengingatkan aku dengan novelnya J. K Rowling yang pertama; Harry Potter and The Sorcerer’s Stone.
*~ Rienz ~*
0 komentar:
Posting Komentar