Ada menu yang sangat aku sukai disana. Menu itu hadir di MASK setiap hari Senin. Menu itu bernama Tasawuf yang disajikan oleh Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA dengan sangat syahdu hingga menggetarkan ruang kalbuku juga jamah yang hadir disana.
Berikut ini adalah sekelumit perkenanalanku dengan Tasawuf yang aku import dari website-nya Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA di http://www.nasaruddinumar.com

Pengertian Tasawuf
Membaca dua kalimat syahadat dengan penuh kesadaran, bukan karena ikut-ikutan, memiliki makna spiritual yang amat besar, di antaranya adalah :
[1] mampu memperbaharui makna spiritualitas keislaman, sehingga bagi yang mengucapkannya digambarkan seperti bayi yang baru lahir.
[2] Dalam kehidupan sejarah generasi muslim awal, ikrar kalimat syahadat telah menghanguskan dosa-dosa para sahabat, seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Semua dosa-dosa mereka diampuni, sehingga masa lampaunya diputihkan setelah ia berikrar syahadat.
[3] Secara sosiologis, sangat dimungkinkan di antara kita menjadi muslim disebabkan oleh lingkungan kehidupan kita. Oleh karena orang tua kita muslim, secara ex officio diri kita menjadi muslim sehingga kita tergolong sebagai muslim keturunan. Oleh karena itu, Rasulallah SAW menegaskan, jaddidû îmânakum bikalimati lâ ilâha illa allâh ["Perbaharuilah iman kalian dengan mengucapkan, "la ilâha illa Allâh"] (H.R Ahmad). Atas dasar ini, dua kalimat syahadat dalam tradisi agama Islam menjadi kalimat yang amat sakral.
Di samping kalimat syahadat, lafad istighfar pun memiliki makna spiritual yang strategis. Sebab, dengan mengucapkan lafad istighfar, sebagai ekspresi taubat kepada Allah SWT, akan mampu menolong kita untuk menapaki jejak-jejak yang benar dan sekaligus membersihkan diri kita di masa lampau.
Dengan merasakan makna spiritual dua kalimat syahadat dan istitigfar yang amat mendalam sebagai langkah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, itu adalah salah satu dari upaya untuk memahami pengertian tasawuf. Pada dasarnya, tasawuf adalah upaya untuk mendekatkan diri kita sedekat-dekatnya kepada Allah SWT. Upaya mendekatkan diri ini tidak hanya dengan ruku’ atau sujud dalam gerakan-gerakan shalat, tetapi juga memerlukan rasa hati yang sangat mendalam sehingga merasakan kehadiran Allah SWT. Dengan demikian, dalam bertasawuf diperlukan pendekatan khusus yang dilakukan, lebih daripada yang biasa.
Namun demikian, kegiatan tasawuf jangan dibayangkan terlalu susah. Semua bentuk upaya yang dilakukan untuk menjalin hubungan yang sangat intensif dengan Pencipta berarti kita melakukan kegiatan tasawuf.
Materi Pengajian
Materi yang akan dibahas dalam pengajian ini bersumber dari sebuah buku yang sangat monumental dan sangat populer di seluruh dunia, khususnya dunia Islam, yaitu kitab Ihyâ ‘ulûm al-dîn. Karya ini telah diterjemahkan ke hampir seluruh bahasa dunia. Bahkan, buku ini telah menjadi bahan kajian, bukan hanya oleh mahasiswa Islam, tetapi juga oleh mahasiswa-mahasiswa agama lain.
Ihya artinya menghidupkan kembali; sedangkan ‘ulûm al-dîn berarti ilmu-ilmu keagamaan. Jadi, Ihyâ ‘ulûm al-dîn memiliki arti menghidupkan kembali ilmu-ilmu keagamaan.
Kitab ini ditulis oleh seorang tokoh yang sangat terkenal, yaitu Abu Hâmid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazâli—terkadang ditambahkan dengan al-Syafi’i dan al-Naisaburri–yang lebih populer dengan nama Imam al-Ghazali. Ia biasa dijuluki dengan sebutan hujjah al-Islâm (referensi Islam).
Imam al-Ghazali adalah sosok ulama yang sangat penting dalam sejarah Islam. Ia lahir di kota Tuz, Persia—sekarang terletak di sekitar Iran—pada tahun 450 H dan wafat pada tahun 505 H, bertepatan dengan tahun 1058-1111 M.
Kitab Ihyâ ‘ulûm al-dîn ini ditulis oleh Al-Ghazali di Damsyik. Bahkan, menurut catatan sejarah, karya ini ditulis di atas puncak menara masjid, tanpa guru dan tanpa buku referensi, dengan melibatkan rasa spiritual yang sangat mendalam. Dalam banyak hal, karya apapun yang diciptakan oleh manusia dengan melibatkan aspek-aspek rohani yang sangat dalam, pasti akan monumental. Tujuh keajaiban dunia, misalnya, adalah karya-karya spiritual. Ka’bah tetap kokoh sejak umur manusia sampai sekarang. Piramida di Mesir yang dibangun atas kepercayaan spiritual Mesir Kuno bahwa surga dapat dirasakan ketika rohani dan jasmani tetap utuh, itu hingga kini masih tegar. Dalam keyakinan orang Mesir Kuno, roh dan jasad dianggap sama nilainya. Ini berbeda dengan anggapan orang Romawi Kuno yang menganggap bahwa roh sangat mulia, sementara badan diibaratkan seperti penjara. Oleh karena itu, jasad Fir’aun sampai sekarang masih utuh. Demikian pula Candi Borobudur di negeri kita, Menara Miring di Italia, dan Tembok China yang dipercayai bukan hanya membatasi musuh, tetapi juga roh jahat, itu semua hingga kini sangat monumental. Oleh karena kitab Ihyâ ‘ulûm al-dîn ini ditulis dengan melibatkan rasa spiritual yang amat mendalam maka ia menjadi karya monumental.
Meskipun Ihyâ ‘ulûm al-dîn ini sering dikatakan sebagai buku tasawuf, sesungguhnya di dalamnya tidak murni hanya menyinggung tasawuf. Ada unsur fiqh, teologi, dan akhlak di dalamnya. Oleh karena itu, Ihyâ ‘ulûm al-dîn ini sangat penting untuk dikaji.
Dalam pengajian ini, tidak semua apa yang tercantum dalam Ihya ‘ulum al-din ini akan dijelaskan, tetapi dimungkinkan sekitar 60-70 % saja. Sisanya 30 % merupakan pengembangan-pengambangan dari buku-buku lain. Oleh karena al-Ghazali juga adalah manusia biasa, tentu tidak luput dari kekurangan. Sangat dimungkinkan terdapat konsep-konsep dalam Ihyâ ‘ulûm al-dîn yang sudah tidak relevan lagi untuk dikembangkan dalam konteks sekarang, sehingga perlu diberi catatan-catatan.
Perlu diketahui bahwa jangan sampai kita terjebak ke dalam fanatisme terhadap Ihyâ ‘ulûm al-dîn atau kepada Al-Ghazali. Jadikanlah, kajian tentang Ihyâ ‘ulûm al-dîn ini sebagai entry point (titik masuk) untuk memperoleh pengetahuan dan pencerahan-pencerahan, sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat dimana kita berada.
Sosok Al-Ghazali
Jangan difigurkan bahwa al-Ghazali itu berjenggot, berjubah dan selalu berada di masjid. Seringkali kita membayangkan orang, semisal al-Ghazali, dengan stigma seperti ini. Asumsi kita mengenai mereka adalah bahwa mereka sebagai sosok yang tinggal di masjid, bertasbih panjang dan besar. Padahal, citra tokoh seperti itu tidaklah sepenuhnya benar. Misalnya, ulama madzhab paling tua adalah Imam Abû Hanîfah. Imam ini memiliki banyak wajah, tergantung buku mana yang kita baca. Kalau di Indonesia, Imam Abû Hanîfah lebih populer sebagai seorang fuqahâ, karena memang Islam di Indonesia adalah Islam fiqh yang selalu mencari buku-buku yang terkait dengan fiqh; sehingga pada gilirannya imam Abu Hanifah ini lebih populer sebagai ulama fiqh. Jarang sekali kita membaca bahwa Imam Abû Hanîfah juga adalah seorang kontraktor. Diceritakan bahwa ketika ada tender pembangunan benteng Baghdad—kota penting pada waktu itu—di antara sekian banyak pemborong waktu itu, yang menang adalah Abû Hanîfah. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, yang kita kenal dengan madzhab ini, dia melakukan studi banding sampai ke Mawâra al-Nahr (Transeksonia)—sebuah negara yang sekarang dikenal dengan negara bekas jajahan Uni Soviet.
Dalam membangun tembok ini, Abû Hanîfah melakukan studi banding untuk mencari benteng mana yang paling kokoh, sehingga dilakukan sintesa. Di kota Baghdad, dibangunlah sebuah benteng yang digambar, dibangun, dan ditender oleh seorang ulama fiqh terkenal, yaitu Imam Abû Hanîfah. Sayang sekali benteng tersebut harus roboh karena memang Baghdad sejak dulu selalu menjadi arena penghancuran, bahkan jauh sebelum Islam datang.
Kalau melihat masyarakat kuno (5000 SM), Baghdad adalah kota yang paling tua di dunia, yang dulu dikenal dengan kota Mesopotamia. Mesopotamia ini telah ada pada tahun 5000 SM. Diceritakan bahwa di kota ini ada seorang penguasa yang sangat digjaya yang bernama Sarogon from Akhad. Di kota itu terjadi perpecahan yang disebabkan oleh adanya semacam rumah ibadah palsu. Perpecahan berakhir setelah adanya rumah ibadah yang asli. Mungkin ini ada kaitannya dengan ayat dalam surat al-Imran, “inna awwala baytin wudi’a linnâsi lalladzî bibakkata mubârakan wahudan lil ‘âlamîn.” Kisah ini menunjukkan bahwa Ka’bah adalah bangunan suci pertama yang ada di atas muka bumi ini.
Pada tahun 3000 SM, ada masyarakat Bilalama yang hidup di Baghdad. Masyarakat Bilalama juga hancur karena perang saudara. Sekitar tahun 2000 SM berikutnya, terdapat kitab suci yang dikenal dengan Kode Hammurabi, yaitu kitab suci yang ada pada masyarakat Mesopotamia, sekarang Baghdad, ketika itu. 1500 tahun kemudian, lahir lagi Kode Asyiria, yaitu hukum Asyiria. Tidak lama kemudian, di masyarakat itu berangsur-angsur lahir kitab Zabur, Taurat, Injil yang turun di sekitar Palestina dan Al-Qur’an yang turun di Makkah, kawasan Timur Tengah. Tartar atau tentara Mongol juga menghancurkan kota Baghdad. Bahkan, sampai sekarang ini, kota Baghdad juga dihancurkan. Dengan demikian, kota yang sangat sering mengalami kehancuran adalah kota Baghdad, mulai 5000 SM sampai 2004 sekarang ini.
Kembali kepada Imâm Abu Hanîfah, ia adalah seorang pemborong yang tentu saja tidak hanya mengurus masjid, melainkan juga melakukan kegiatan lain, seperti kunjungan ke berbagai kota besar di negara lain. Di dalam kitab sejarah Al-Dzahâb, dijelaskan bahwa Imâm Abu Hanîfah adalah seorang tailor (pengusaha konveksi). Ia memiliki kios besar yang terletak di pasar Baghdad. Sebagai seorang tukang jahit, hampir dipastikan ia berpenampilan necis (baca: rapi). Oleh karena itu, jangan dianggap bahwa lantaran Imâm Abu Hanîfah adalah seorang fuqaha, maka ia tinggal di masjid, tidak memikirkan dunia dan hanya mementingkan akhirat semata.
Dalam konteks di atas, tasawuf tidak mesti harus lari dari dunia. Selama ini, orang mengajak bertasawuf, tetapi dengan meninggalkan dunia. Ini kurang tepat. Sebab, bagaimana mungkin bisa mencapai akhirat, jika kehidupan dunianya berantakan. Dijelaskan, dalam hadits, al-dunya mir’ah al âkhirah, yang artinya dunia itu adalah pemandangan indah untuk akhirat. Bagaimana mungkin bisa sukses menjadi hamba yang baik, tanpa menggunakan pakaian yang bersih. Tidak sah shalat seseorang, ketika pakaian yang dikenakan itu tidak bersih dan suci. Untuk membeli pakaian sekarang ini mahal, sehingga harus ada materi yang cukup. Secara filosofis, tidak mungkin seseorang dapat masuk surga kalau ia gagal menjadi khalifah. Oleh karena itu, kita juga harus mempunyai kehidupan yang teratur. Untuk teratur, tentu harus mengakui adanya politik-politik yang benar. Jadi jangan menjauhi dunia. Yang terpenting adalah adanya keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Demikian pula dengan Imam Syafi’i. Siapa yang tidak kenal dengan Imam Syafi’i? Beliau adalah imam madzhab yang paling banyak penganutnya di Indonesia, Pakistan dan Mesir. Sekalipun sebagai seorang imam madzhab dan sufi, Imam Syâfi’i mempunyai riwayat hidup yang sangat mobile. Kalau kita baca kitab fiqh-nya Imam Syâfi’i, memang luar biasa. Satu di antara karyanya yang sekarang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan menjadi rujukan pada abad-abad ke-19 dalam perumusan hukum internasional yang sekarang diakui oleh PBB, ternyata hampir dikatakan sebagai duplikasi karya Imam Syâfi’i. Untuk menyusun hukum internasional tentu memerlukan studi banding ke bebrapa negara. Imam Syâfi’I merupakan seorang tokoh yang sering bepergian sehingga karya-karyanya kita kenal dengan “qaul qadîm” dan “qaul jadîd”. Dia hampir sudah mengunjungai seluruh negara Islam pada masanya. Jadi ini juga merupakan ciri khas ulama terdahulu, yaitu suka bepergian.
Ada sebuah ayat yang mengisyaratkan kepada kita bahwa betapa pentingnya berjalan di permukaan bumi, yaitu: fashîrû fi al-ardhi fandzurû kaifa kâna al-mukadzdzibîn (banyaklah berjalan di atas muka bumi ini). Kalau dulu, memang harus berjalan benar, atau paling tidak memakai unta untuk melihat permukaan bumi ini. Sekarang, dengan adanya televisi, kita bisa berjalan di atas permukaan bumi ini. Dalam pengertian ini, kita melihat pemandangan di muka bumi ini tanpa harus secara fisik pergi meninggalkan Indonesia. Al-Ghazali yang kita bahas dalam pengajian ini juga sama. Di mana ada guru terkenal, di situ dia pergi.
Kitab Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn dapat dianggap sebagai oase spiritual yang mampu menyirami kegersangan dan kekeringan hidup masyarakat modern ini. Kita membutuhkan Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn untuk memberikan siraman rohani di tengah masyarakat yang gersang itu.
Mengapa Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn (ilmu pengetahuan) ini menjadi penting? Sebab, ilmu pengetahuan seringkali dimanfaatkan oleh para politisi, sehingga Imam Al-Ghazali pun membagi ulama menjadi dua: ulama-ulama dunia (ulamâ al-dunyâ) dan ulama-ulama akhirat (ulamâ al-âkhirah). Yang dimaksud dengan ulamâ al-dunyâ adalah ulama yang senantiasa mengabdikan dirinya kepada para raja atau para penguasa. Raja “memesan” fatwa kepada ulama maka ulama pun berfatwa sesuai dengan keinginan sang raja. Dengan demikian, ulamâ al-dunyâ mempunyai kelemahan sehingga seringkali disebut dengan ulamâ as-su, yaitu ulama yang memperbudak dirinya kepada hal-hal material (duniawi). Hal ini berbeda dengan ulamâ al-âkhirah, yaitu ulama yang senantiasa bebas nilai. Tidak terikat oleh salah-satu rezim, tetapi dia akan memihak pada substansi ajaran Al-Qur’an.
Satu di antara popularitas Al-Ghazali adalah kemampuannya dalam melakukan perenungan-perenungan. Perenugannya telah menghasilkan ilmu-ilmu yang genuine dan original. Di dalam Al-Qur’ân, hâdist, kitab-kitab kuning banyak sekali tokoh yang muncul secara otodidak. Semua nama-nama yang disebutkan tadi, hampir tidak ada jebolan pendidikan formal. Pada umumnya mereka itu mencari sendiri, mencari ke mana ilmu pengetahuan itu ada. Berdasarkan riwayat hidup Al-Ghazali, kita bisa menemukan rahasia bagaimana dia memperoleh ilmu pengetahuan. Al-Ghazali banyak menghabiskan waktu malam untuk belajar. Di siang hari, dia menghabiskan waktunya untuk mengabdi kepada masyarakat, mencari dan menyelesaikan persoalan dunia. Di malam hari, dia menunggu-nunggu, sampai dia berkata, “Ya Allah, mengapa malam ini begitu cepat berlalu?” Kemudian ketika matahari terbit, dia mengatakan: “Ya Allah mengapa terlalu cepat siang itu muncul. Aku masih ingin menikmati malam yang sangat indah ini.” Begitu pentingnya arti malam bagi Al-Ghazali sampai muncul sebuah syair, “man thalaba al-ûlâ syahirallayâli” (barangsiapa yang menuntut ketinggian, martabat di sisi Allah tentunya, hendaklah ia banyak berjaga-jaga di waktu malam). Jangan mengisi malam-malam kita dengan tidur lebih banyak. Alangkah ruginya kita menjadi hamba Tuhan, kalau malam itu hanya untuk tidur dan tidak digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Malam memang gelap, hitam, tetapi bukankah malam itu menjanjikan ketenangan, kesyahduan, kerinduan, kehangatan, dan kekhusyuan. Malam menyebabkan jarak antara hamba dengan Tuhannya akan lebih dekat. Tuhan lebih dekat di malam hari kepada hamba-Nya, maka do’a akan lebih cepat sampai di waktu malam.
Nabi menerima wahyu pertama di tengah malam, di dalam gua yang gelap gulita. Di tempat itulah Muhammad dilantik sebagai nabi. Tidak lama kemudian turun ayat kedua dan bersamaan dengan itu sekaligus Nabi Muhammad dilantik oleh Allah sebagai rasul. Pelantikannya sebagai rasul, juga dilakukan pada malam hari yang gelap-gulita. Isra’ Mi’raj Rasulallah SAW juga terjadi pada malam hari. Oleh karena begitu istimewanya arti sebuah malam, Rasulallah SAW bernah bersabda, “Seandainya saya tidak khawatir umatku untuk mendirikan shalat malam, maka akan saya anjurkan umatku untuk menunda shalat ‘isyanya sampai waktu tengah malam. Saya khawatir kalau saya menyuruh shalat ‘isya pada malam hari, maka jangan-jangan Allah akan mewajibkan shalat isya’ pada tengah malam hari.” Mengenai shalat isya ini muncul dua pendapat. Di satu pihak mengatakan shalat ‘isya lebih utama dilakukan pada tengah malam. Sedangkan pendapat lain mengatakan, shalat ‘isya lebih baik dilakukan pada awal waktu.
Salah satu kekhususan kitab Ihya ulûm al-dîn terletak pada makna spiritualnya, misalnya tentang zakat. Zakat diposisikan sebagai upaya untuk melatih jiwa kita agar rela mengorbankan sesuatu yang kita miliki untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Latihan untuk mencintai Tuhan adalah dengan memberikan apa yang kita cintai kepada orang lain. Begitu pula pada pembahasan mengenai thaharah. Barangkali yang selama ini kita lakukan hanya sekedar melepaskan kewajiban fiqhiyah semata, yaitu seringkali hanya dianggap sebagai pembersihan lahir. Hal ini berbeda dengan pendapat Al-Ghazali dalam karyanya ini, bahwa setiap perintah Tuhan mempunyai makna lahir dan makna batin. Makna lahir dapat kita temukan dalam keterangan-keterangan kitab fiqh, sedangkan makna batin dapat ditemukan dalam kitab-kitab tasawuf.
Di Indonesia pengaruh fiqh sangat kuat. Akibatnya, aspek-aspek spiritual tidak terlalu mengemuka. Sekaranglah saatnya, kita bersama-sama mengkaji dan mendalami makna spiritual dari sebuah perintah yang bersifat zhahir. Wudlu misalnya, mengapa wudlu didiktekan langsung oleh Allah, sementara shalatnya tidak? Makna zhahir wudlu adalah, “tidak sah shalat seseorang ketika wudlunya belum sempurna, misalnya karena ada sesuatu yang menghalangi air untuk sampai ke kulit (anggota tubuh yang wajib dibasuh pada saat wudlu, seperti cat).” Pada aspek zhahir atau fiqh, hanya dilihat dari sah atau batalnya saja. Akan tetapi, dalam pendekatan tasawuf akan ditemukan makna batin, yaitu bahwa organ tubuh yang harus dibasuh sewaktu berwudlu menurut Al-Ghazali, itu semua adalah organ tubuh yang sering berdosa.
Baron Omar Rolf Ehren Fels, seorang pakar, menulis disertasi tentang wudlu. Dia seorang neurolog dan sekaligus psikiater. Dalam salah satu penelitiannya yang berupa disertasi ditemukan, bahwa pusat kesadaran manusia terletak pada muka, tangan dan kaki. Kalau seseorang syarafnya lemah, maka orang tersebut akan ngantuk, loyo dan tidak bergairah. Membasuh angota-anggota badan tadi (dalam berwudlu) dengan air segar akan pulih sekian persen. Yang menarik dari disertasi itu adalah rekomendasinya yang menegaskan bahwa seharusnya wudlu itu bukan hanya milik umat Islam, tetapi juga milik umat manusia secara keseluruhan.
Kalau orang hatinya bersih, maka mata hatinya mampu melihat hakikat yang sebenarnya dari setiap perintah Tuhan. Ulama-ulama dulu bisa membedakan antara air yang sudah digunakan untuk berwudlu dengan air yang belum dipergunakan untuk berwudlu. Ada statemen yang mengatakan, bahwa tetesan air wudlu itu lebih hitam daripada tinta hitam,sehingga tidak boleh menggunakan air musta’mal. ?
------------------------------------------------------------------------------------
Aku merasa artikel Pengantar Tasawuf ini masih koma tapi memang hanya sampai disini yang disajikan Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA di websitenya ( mungkin belum ada pembebahruan lahi karena kesibukan beliau )
~* Rienz *~

2 komentar:
PEMIKIRAN TENTANG TUHAN
Ummat islam mengenal kalimat tauhid dengan sebutan Laa ilaha illallah. Kalimat tauhid adalah kalimat prinsip yang meng-Esa-kan Tuhan yang artinya “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Apakah anda akan mengatakan didalam keyakinan anda bahwa ALLAH adalah TUHAN?. Jika anda berkeyakinan bahwa Allah adalah Tuhan maka anda telah mempersekutukan Tuhan dengan Allah!.
Allah adalah Allah dan Tuhan adalah Tuhan. Kita tidak bisa menerima begitu saja kalimat tauhid “tidak ada Tuhan selain Allah” secara harfiah tanpa memahami eksistensinya. Dalam alqur’an surat An-Nur ayat 35 telah dijelaskan defenisi tentang Allah adalah:
Pernyataan dimaksud telah tertulis jelas, terang dan tegas didalam alqur’an Surat Al Imran ayat 18 sebagai berikut:
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Pernyataan di atas adalah pernyataan penting yang datangnya dari Allah sendiri, dimana Allah mengingkari dirinya sebagai Tuhan. Jika Allah adalah Tuhan tentu ayat di atas akan berbunyi “Allah menyatakan tidak ada Tuhan melainkan Allah” atau “Allah menyatakan tidak ada Tuhan melainkan Aku”. Ayat di atas berkata “Allah menyatakan tidak ada Tuhan melainkan Dia”. Kata “Dia” adalah kata tunjuk. Allah menunjuk “Dia”. Allah adalah subyek yang menunjuk dan “Dia” adalah obyek yang ditunjuk. Obyek yang ditunjuk inilah yang dimaksud dengan Tuhan. Tuhan Yang menegakkan keadilan.
http://satriopiningitmuncul.wordpress.com/category/perjanjian-tuhan-dengan-kainqabil-bag-1/
PEMIKIRAN TENTANG TUHAN
Ummat islam mengenal kalimat tauhid dengan sebutan Laa ilaha illallah. Kalimat tauhid adalah kalimat prinsip yang meng-Esa-kan Tuhan yang artinya “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Apakah anda akan mengatakan didalam keyakinan anda bahwa ALLAH adalah TUHAN?. Jika anda berkeyakinan bahwa Allah adalah Tuhan maka anda telah mempersekutukan Tuhan dengan Allah!.
Allah adalah Allah dan Tuhan adalah Tuhan. Kita tidak bisa menerima begitu saja kalimat tauhid “tidak ada Tuhan selain Allah” secara harfiah tanpa memahami eksistensinya. Dalam alqur’an surat An-Nur ayat 35 telah dijelaskan defenisi tentang Allah adalah:
Pernyataan dimaksud telah tertulis jelas, terang dan tegas didalam alqur’an Surat Al Imran ayat 18 sebagai berikut:
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Pernyataan di atas adalah pernyataan penting yang datangnya dari Allah sendiri, dimana Allah mengingkari dirinya sebagai Tuhan. Jika Allah adalah Tuhan tentu ayat di atas akan berbunyi “Allah menyatakan tidak ada Tuhan melainkan Allah” atau “Allah menyatakan tidak ada Tuhan melainkan Aku”. Ayat di atas berkata “Allah menyatakan tidak ada Tuhan melainkan Dia”. Kata “Dia” adalah kata tunjuk. Allah menunjuk “Dia”. Allah adalah subyek yang menunjuk dan “Dia” adalah obyek yang ditunjuk. Obyek yang ditunjuk inilah yang dimaksud dengan Tuhan. Tuhan Yang menegakkan keadilan.
http://satriopiningitmuncul.wordpress.com/category/perjanjian-tuhan-dengan-kainqabil-bag-1/
Posting Komentar